Surat Yasin Ayat 43-44: Pelajaran dari Bahtera Nuh dan Kapal Titanic
loading...
A
A
A
Surat Yasin ayat 43-44 mengingatkan kita akan kuasa dan tujuan Allah SWT menyelamatkan manusia dari musibah di perjalanan selama berada di dalam bahtera Nabi Nuh AS . Prof Quraish Shihab membandingkan hal tersebut dengan kapal Titanic yang bernasib sebaliknya.
Allah SWT berfirman:
Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami tenggelamkan mereka, maka tiadalah bagi mereka penolong dan tidak pula mereka diselamatkan.
Tetapi (Kami selamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai kepada suatu ketika. ( QS Yasin : 43-44)
Muhammad Husain al-Thabathaba'i dalam kitab tafsir "al-Mizan fi Tafsir al-Quran" menjelaskan bahwa nasib orang-orang dan binatang-binatang yang ada di atas bahtera Nabi Nuh itu sepenuhnya berada di tangan Allah SWT.
"Apabila Allah berkehendak, bisa saja mereka semua tenggelam dan tak terselamatkan, namun Dia berkehendak sebaliknya. Itu semua tiada lain merupakan rahmat Allah SWT," ujarnya.
Sedangkan Ibn Asyur dalam tafsirnya "al-Tahrîr wa al-Tanwîr" menjelaskan, ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya. Ayat sebelumnya membicarakan belas kasih Allah SWT yang telah menyelamatkan mereka yang menaiki kapal Nabi Nuh AS . Nah ayat ini kemudian memperingatkan bahwa Allah SWT berkuasa mengubah nikmat tersebut menjadi musibah.
Pola ungkapan ini merupakan ciri khas al-Qur’an di mana komposisi pesan ayat senantiasa berimbang. Ayat yang mengandung pesan anjuran (targhib) selalu diiringi dengan dengan ayat yang mengandung peringatan (tarhib) atau sebaliknya. Sehingga seseorang tidak merasa besar ketika diberi kenikmatan dan tidak pula putus asa dari turunnya rahmat.
Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah menambahkan, kata “sarikh“ berasal dari kata “sarakha” yang berarti berteriak minta tolong. Kata “sarikh” sendiri berarti orang yang diteriaki untuk dimintai pertolongan.
Orang yang terjebak dalam bahaya di perjalanan biasanya tidak memiliki siapa pun untuk dimintai pertolongan. Hanya Allah lah satu-satunya yang bisa mendengarkan teriakannya dan menyelamatkannya dari musibah yang sedang dihadapi.
Menariknya, dalam menjelaskan ayat ini Quraish menyinggung tragedi tenggelamnya kapal Titanic. Berdasarkan ceritanya disebutkan bahwa sebelum berlayar, perancang kapal sesumbar mengatakan bahwa Tuhan pun tak kuasa membuat kapal besarnya tersebut karam. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Kejadian ini menunjukkan betapa angkuhnya manusia serta betapa besarnya kuasa Allah SWT dalam menentukan nasib mereka.
Semua aktivitas perjalanan memang lumrahnya dilakukan dengan sukar dan berisiko mengalami kecelakaan atau musibah, terlebih ketika berlayar di lautan lepas. Terkait hal itu, Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar mengatakan bahwa tidak ada yang lebih dapat memahami pesan ayat ini melebihi para pelaut itu sendiri yang sering mengalami kondisi antara hidup dan mati pada saat berlayar mengarungi samudra luas.
Selanjutnya pada ayat ke 44 dikatakan bahwa tujuan manusia diselamatkan dari musibah berkaitan dengan dua hal, yakni sebagai rahmat dan untuk memberikan kesenangan hidup lebih. Nawawi al-Bantani dalam "Tafsir Al Munir Marah Labib" menjelaskan, adakalanya orang yang diselamatkan sudah diketahui Allah bahwa ia akan beriman, maka selamatnya ia adalah sebuah rahmat dari Allah SWT.
Adakalanya pula orang yang diselamatkan tersebut merupakan orang yang dalam ilmu Allah akan mendustakan kebenaran, maka tujuan dia diselamatkan ialah supaya dapat merasakan kesenangan hidup lebih lama sampai selesai masanya dan kemudian dia akan mendapatkan balasan yang lebih pedih pula.
Ini yang dinamakan oleh ulama sebagai istidraj. Oleh karena itu menurut Nawawi al-Bantani, keselamatan dari musibah duniawi tidaklah berarti positif selamanya, ia dapat berarti malapetaka apabila tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas iman yang lebih baik.
Adapun yang dimaksud dengan kata “ila hin” (sampai waktunya), Ath-Thabari mengutip dari Qatadah bahwa maksudnya ialah “ilal maut” (sampai kematiannya). Maka siapa saja yang diberikan kesempatan hidup, hendaknya ia mengisi sisa umurnya sebaik mungkin sebelum tiba ajalnya.
Allah SWT berfirman:
وَإِن نَّشَأْ نُغْرِقْهُمْ فَلَا صَرِيخَ لَهُمْ وَلَا هُمْ يُنقَذُونَ
إِلَّا رَحْمَةً مِّنَّا وَمَتَاعًا إِلَىٰ حِينٍ
إِلَّا رَحْمَةً مِّنَّا وَمَتَاعًا إِلَىٰ حِينٍ
Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami tenggelamkan mereka, maka tiadalah bagi mereka penolong dan tidak pula mereka diselamatkan.
Tetapi (Kami selamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai kepada suatu ketika. ( QS Yasin : 43-44)
Muhammad Husain al-Thabathaba'i dalam kitab tafsir "al-Mizan fi Tafsir al-Quran" menjelaskan bahwa nasib orang-orang dan binatang-binatang yang ada di atas bahtera Nabi Nuh itu sepenuhnya berada di tangan Allah SWT.
"Apabila Allah berkehendak, bisa saja mereka semua tenggelam dan tak terselamatkan, namun Dia berkehendak sebaliknya. Itu semua tiada lain merupakan rahmat Allah SWT," ujarnya.
Sedangkan Ibn Asyur dalam tafsirnya "al-Tahrîr wa al-Tanwîr" menjelaskan, ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya. Ayat sebelumnya membicarakan belas kasih Allah SWT yang telah menyelamatkan mereka yang menaiki kapal Nabi Nuh AS . Nah ayat ini kemudian memperingatkan bahwa Allah SWT berkuasa mengubah nikmat tersebut menjadi musibah.
Pola ungkapan ini merupakan ciri khas al-Qur’an di mana komposisi pesan ayat senantiasa berimbang. Ayat yang mengandung pesan anjuran (targhib) selalu diiringi dengan dengan ayat yang mengandung peringatan (tarhib) atau sebaliknya. Sehingga seseorang tidak merasa besar ketika diberi kenikmatan dan tidak pula putus asa dari turunnya rahmat.
Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah menambahkan, kata “sarikh“ berasal dari kata “sarakha” yang berarti berteriak minta tolong. Kata “sarikh” sendiri berarti orang yang diteriaki untuk dimintai pertolongan.
Orang yang terjebak dalam bahaya di perjalanan biasanya tidak memiliki siapa pun untuk dimintai pertolongan. Hanya Allah lah satu-satunya yang bisa mendengarkan teriakannya dan menyelamatkannya dari musibah yang sedang dihadapi.
Menariknya, dalam menjelaskan ayat ini Quraish menyinggung tragedi tenggelamnya kapal Titanic. Berdasarkan ceritanya disebutkan bahwa sebelum berlayar, perancang kapal sesumbar mengatakan bahwa Tuhan pun tak kuasa membuat kapal besarnya tersebut karam. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Kejadian ini menunjukkan betapa angkuhnya manusia serta betapa besarnya kuasa Allah SWT dalam menentukan nasib mereka.
Semua aktivitas perjalanan memang lumrahnya dilakukan dengan sukar dan berisiko mengalami kecelakaan atau musibah, terlebih ketika berlayar di lautan lepas. Terkait hal itu, Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar mengatakan bahwa tidak ada yang lebih dapat memahami pesan ayat ini melebihi para pelaut itu sendiri yang sering mengalami kondisi antara hidup dan mati pada saat berlayar mengarungi samudra luas.
Selanjutnya pada ayat ke 44 dikatakan bahwa tujuan manusia diselamatkan dari musibah berkaitan dengan dua hal, yakni sebagai rahmat dan untuk memberikan kesenangan hidup lebih. Nawawi al-Bantani dalam "Tafsir Al Munir Marah Labib" menjelaskan, adakalanya orang yang diselamatkan sudah diketahui Allah bahwa ia akan beriman, maka selamatnya ia adalah sebuah rahmat dari Allah SWT.
Adakalanya pula orang yang diselamatkan tersebut merupakan orang yang dalam ilmu Allah akan mendustakan kebenaran, maka tujuan dia diselamatkan ialah supaya dapat merasakan kesenangan hidup lebih lama sampai selesai masanya dan kemudian dia akan mendapatkan balasan yang lebih pedih pula.
Ini yang dinamakan oleh ulama sebagai istidraj. Oleh karena itu menurut Nawawi al-Bantani, keselamatan dari musibah duniawi tidaklah berarti positif selamanya, ia dapat berarti malapetaka apabila tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas iman yang lebih baik.
Adapun yang dimaksud dengan kata “ila hin” (sampai waktunya), Ath-Thabari mengutip dari Qatadah bahwa maksudnya ialah “ilal maut” (sampai kematiannya). Maka siapa saja yang diberikan kesempatan hidup, hendaknya ia mengisi sisa umurnya sebaik mungkin sebelum tiba ajalnya.
(mhy)