Surat Yasin Ayat 71-73: Hewan Ternak, Anugerah Allah Taala yang Patut Disyukuri

Jum'at, 04 Februari 2022 - 07:34 WIB
loading...
Surat Yasin Ayat 71-73: Hewan Ternak, Anugerah Allah Taala yang Patut Disyukuri
Surat Yasin ayat 71-73 berisi tentang kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia berupa hewan-hewan ternak agar kita bersyukur. (Foto/Ilustrasi: Dok. SINDOnews)
A A A
Surat Yasin ayat 71-73 berisi tentang kenikmatan yang Allah berikan kepada manusia berupa hewan-hewan ternak agar kita bersyukur. Pada kelompok ayat sebelumnya juga telah disebutkan anugerah diutusnya seorang Rasul dan al-Qur’an sebagai nikmat terbesar dari Allah SWT.

Allah SWT berfirman:

اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّا خَلَقْنَا لَهُمْ مِّمَّا عَمِلَتْ اَيْدِيْنَآ اَنْعَامًا فَهُمْ لَهَا مٰلِكُوْنَ
وَذَلَّلْنٰهَا لَهُمْ فَمِنْهَا رَكُوْبُهُمْ وَمِنْهَا يَأْكُلُوْنَ
وَلَهُمْ فِيْهَا مَنَافِعُ وَمَشَارِبُۗ اَفَلَا يَشْكُرُوْنَ


Dan tidakkah mereka melihat bahwa Kami telah menciptakan hewan ternak untuk mereka, yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami, lalu mereka menguasainya?”

“Dan Kami menundukkannya (hewan-hewan itu) untuk mereka; lalu sebagiannya untuk menjadi tunggangan mereka dan sebagian untuk mereka makan.”

“Dan mereka memperoleh berbagai manfaat dan minuman darinya. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?” ( QS Yasin : 71-73)



Ketiga ayat di atas secara garis besar berbicara mengenai nikmat Allah SWT yang telah dianugerahkan kepada manusia. Secara fitrah, Allah menjadikan sebagian hewan tunduk kepada manusia. Khususnya adalah an’am (اَنْعَام) yang berarti hewan ternak. Itulah nikmat yang dianugerahkan kepada manusia.

Secara tegas Allah memilih diksi an’am (اَنْعَام) yang berarti hewan ternak. Semua mufasir sepakat bahwa yang dimaksud hewan ternak di sini adalah unta, sapi dan kambing.

Satu contoh, Ibnu Jarir ath-Thabari mengutip riwayat dari Ibnu Zayd. Suatu ketika Ibnu Zayd ditanya seseorang terkait ayat ini, “Apakah yang dimaksud dengan an’am itu adalah unta?”

Ibnu Zayd menjawab, “Ya.”

Orang tadi bertanya lagi, “Bagaimana dengan sapi bukankah ia juga termasuk hewan ternak? Tidak masuk kategori yang dimaksud dalam ayat ini?”

Ibnu Zayd kemudian menjawab, “Unta, sapi, domba, kambing dan seluruh kategori hewan ternak.”

Untuk menafsirkan ayat 72, Ibnu Jarir ath-Thabari mengutip riwayat dari Qatadah bahwasanya yang dimaksud pada ayat tersebut adalah fungsi hewan ternak itu sendiri.

Mereka (orang zaman dulu) bepergian menggunakan hewan ternaknya seperti unta yang merupakan fungsi pertama sebagai kendaraan. Kedua fungsi hewan ternak sebagai pakan, yaitu mereka memakan daging-dagingnya.

Seperti pada ayat 72, ayat 73 pun ath-Thabari mengutip pendapat Qatadah. Menurutnya, pada ayat 73 ini, Allah SWT lebih memerinci fungsi dari hewan ternak. Yang dimaksud dengan manfaat-manfaat (manafi’) adalah manfaat lain selain dua fungsi pertama yaitu manusia bisa mendapatkan benang wol dari hewan domba dan biri-biri. Kemudian fungsi lainnya manusia juga bisa minum susu yang dihasilkan hewan ternak.



Sedangkan Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar membaginya dalam dua jenis. Pertama, jenis hewan ternak yang bisa kendarai dan dimakan, yaitu unta, kerbau, sapi, domba, dan kambing. Kedua, jenis binatang yang hanya bisa dikendarai yaitu kuda, keledai dan baghal, yaitu hasil kawin silang antara kuda betina dan keledai jantan. Pembagian ini sebagaimana telah tergambar jelas dalam ayat 72 di atas.

Dalam al-Dur al-Mansur, Suyuti mengutip riwayat dari Qatadah yang menyatakan bahwa Allah menjadikan hewan-hewan tersebut tunduk kepada manusia. Ketundukan itu dibuktikan dengan mudahnya menjadikannya sebagai alat transportasi.

Saking mudahnya sampai-sampai Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Karim membuat ilustrasinya. Ia mengatakan bahwa seandainya seorang anak kecil mendatangi seekor unta, secara otomastis unta tersebut akan diam dan patuh. Atau seandainya sebuah kereta dengan 100 ekor unta dikusiri oleh seorang anak kecil, 100 unta itu akan menurut.

Lebih dari itu, diksi manafi’ (مَنَافِعُ) pada ayat 73 menurut Wahbah Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir menyatakan adanya manfaat lain yang bisa diolah oleh manusia. Misalnya dari kulitnya dan juga bulu-bulunya.

Sedangkan Imam al-Qusyairi mengatakan lafaz aydiina pada penggalan ayat 71 di atas bisa bermakna tawassu’ yang artinya memperluas. Pengertiannya adalah bahwa Allah SWT menciptakan hewan ternak kemudian meluaskan manfaatnya untuk manusia.

Manusia bisa mendapatkan berbagai macam kebutuhannya dari hewan ternak mulai dari sandang, pangan, kendaraan dan lain-lain. Meski begitu, sifat dari orang-orang yang kufur nikmat selalu saja merasa kurang dan tidak bisa bersyukur.

Al-Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf menerangkan bahwa Allah SWT telah menciptakan hewan ternak, manusia tidak memliki kuasa atas penciptaan tersebut. Namun demikian, Allah SWT kemudian memberikan kepemilikan tersebut kepada manusia agar manusia bisa mengelola hewan ternak dengan sebaik-baiknya dalam bentuk kemanfaatan, bukan untuk eksploitasi.



Sedangkan kata aydii, menurut M Quraish Shihab , merupakan bentuk jamak dari kata yadun yang secara umum dimaknai dengan tangan. Quraish Shihab menerangkan bahwa secara majazi kata itu juga bisa bermakna kekuasaan atau nikmat. Maksud dari ayat tersebut, adalah untuk menggambarkan betapa penciptaan binatang ternak menjadi bagian dari nikmat yang besar dan bukti kuasa Allah SWT.

Menurut Qurasih Shihab, ayat di atas menggarisbawahi tiga jenis hewan ternak saja: unta, sapi, dan kambing, karena ketika ayat ini diturunkan, ketiga binatang inilah yang menjadi lambang kekayaan dan kemakmuran mereka.

Didahulukannya lafaz falahum laha atas kata maalikuun menurut Quraish Shihab bertujuan untuk menekankan dan menghadirkan manfaat dan nilai binantang ini dalam benak mitra bicara sebelum mengingatkan mereka akan kepemilikannya.

Penggunaan bentuk nakirah (indefinite) pada kata maalikuun, bagi Quraish, juga menggambarkan betapa luasnya kepemilikan manusia yang dianugerahkan Allah SWT. Meskipun hewan ternak lebih besar dan lebih kuat dari manusia, tetapi manusia mampu untuk menundukkannya atas izin Allah SWT.

Dari berbagai macam manfaat dari anugerah Allah SWT itu sudah sepantasnya manusia bersyukur. Salah satu bentuk syukur itu adalah meng-esakanNya. Tidak ada yang bisa menundukkan hewan-hewan yang tenaganya melebihi manusia itu kecuali Allah SWT namun sayang kebanyakan manusia tidak bersyukur, sebagaiman ungkapan akhir ayat 73.



Meskipun kalimat terakhir dalam ayat 73 tersebut berbentuk istifham (pertanyaan), namun maknanya adalah menetapkan. Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa kalimat tersebut mengindikasikan keheranan atas kebutaan yang dialami orang-orang muysrik waktu itu. Jelas-jelas nikmat itu ada di depan mata tapi mengapa mereka tidak sadar.

Memang pada awalnya surah Yasin ayat 71-73 ini bertujuan untuk menegur orang-orang musyrik pada zaman Nabi Muhammad SAW yang tidak bersyukur atas nikmat Allah. Meski begitu ayat ini masih relevan dengan masa kini dan akan terus relevan selamanya.

Melalui surat Yasin ayat 71-73 ini Allah SWT menegur kita agar senantiasa bersyukur atas nikmat serta mengesakan Allah SWT. Nikmat-nikmat itu Allah gambarkan begitu jelas kepada kita agar kita menjadi pribadi yang selalu bersyukur dan berterimakasih.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1171 seconds (0.1#10.140)