QS. Al-Anbiya Ayat 3

لَاهِيَةً قُلُوۡبُهُمۡ‌ ؕ وَاَسَرُّوا النَّجۡوَى‌ۖ الَّذِيۡنَ ظَلَمُوۡا ‌ۖ هَلۡ هٰذَاۤ اِلَّا بَشَرٌ مِّثۡلُكُمۡ‌ ۚ اَفَتَاۡتُوۡنَ السِّحۡرَ وَاَنۡتُمۡ تُبۡصِرُوۡنَ
Laahiyatan quluubuhum; wa asarrun najwal laziina zalamuu hal haazaa illaa basharum mislukum afataa tuunas sihra wa antum tubsiruun
Hati mereka dalam keadaan lalai. Dan orang-orang yang zhalim itu merahasiakan pembicaraan mereka, "(Orang) ini (Muhammad) tidak lain hanyalah seorang manusia (juga) seperti kamu. Apakah kamu menerima sihir itu padahal kamu menyaksikannya?"
Juz ke-17
Tafsir
Hati mereka dalam keadaan lalai dari Al-Qur’an, sibuk dengan kehi-dupan dunia yang tak bermakna. Mereka tidak memikirkan pesan Al-Qur’an. Dan orang-orang yang zalim di antara pemuka Quraisy itu merahasiakan pembicaraan mereka, yang menggambarkan penolakan mereka beriman kepada Nabi Muhammad, “Orang ini (Muhammad) tidak lain hanyalah seorang manusia juga seperti kamu. Apakah kamu menerima sihir Muhammad itu, ayat-ayat Al-Qur’an, padahal kamu menyaksikan bahwa yang diucapkannya itu benar-benar sihir?”
Dalam ayat ini Allah menerangkan apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka, yaitu pembicaraan di antara mereka yang disembunyikan terhadap orang lain, mengenai Rasulullah, di mana mereka mengatakan kepada sesamanya, bahwa Muhammad adalah manusia biasa seperti mereka, dan bahwa apa yang disampaikannya kepada mereka hanyalah sihir belaka. Ini merupakan salah satu dari usaha mereka untuk menghasut orang banyak agar tidak memperhatikan ayat-ayat Al-Qur'an yang disampaikan Rasulullah kepada mereka. Karena menurut anggapan mereka, Muhammad saw adalah manusia biasa, seperti manusia yang lain. Ia juga makan, minum serta hidup berkeluarga, bekerja dan berusaha untuk mencari rezeki, sedang ayat-ayat yang disampaikannya adalah sihir belaka, oleh sebab itu dia tidak patut untuk didengar, diperhatikan dan ditaati.

Akan tetapi dari ucapan mereka bahwa ayat-ayat itu adalah sihir, sebenarnya mencerminkan suatu pengakuan, bahwa ayat-ayat tersebut adalah suatu yang menakjubkan mereka, dan mereka merasa tidak mampu untuk menandinginya. Hanya saja, karena mereka ingin menghalangi orang lain untuk mendengarkan ayat-ayat tersebut serta mengambil pelajaran daripadanya, maka mereka menamakannya sihir, supaya orang lain menjauhinya.

Ucapan orang musyrikin di atas menunjukkan bahwa mereka menolak kenabian Muhammad dengan dua cara. Pertama, dengan mengatakan bahwa Rasul haruslah dari kalangan malaikat, bukan dari kalangan manusia, padahal Muhammad adalah manusia juga, karena mempunyai sifat dan tingkah laku yang sama dengan manusia lainnya. Kedua, dengan mengatakan bahwa ayat-ayat yang disampaikannya adalah semacam sihir, bukan wahyu dari Allah.

Kedua macam tuduhan itu mereka rahasiakan di antara sesama mereka, sebagai usaha untuk mencari jalan yang paling tepat untuk meruntuhkan agama Islam. Hal itu mereka rahasiakan karena sudah menjadi kecenderungan bagi manusia, bahwa mereka tidak akan mengajak musuh-musuh mereka berunding dalam mencari upaya untuk merusak dan membinasakan musuh-musuh itu.
sumber: kemenag.go.id
Keterangan mengenai QS. Al-Anbiya
Surat Al Anbiyaa' yang terdiri atas 112 ayat, termasuk golongan surat Makkiyyah. Dinamai surat ini dengan al anbiyaa'(nabi-nabi), karena surat ini mengutarakan kisah beberapa orang nabi. Permulaan surat Al Anbiyaa' menegaskan bahwa manusia lalai dalam menghadapi hari berhisab, kemudian berhubung adanya pengingkaran kaum musyrik Mekah terhadap wahyu yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. maka ditegaskan Allah, kendatipun nabi-nabi itu manusia biasa, akan tetapi masing-masing mereka adalah manusia yang membawa wahyu yang pokok ajarannya adalah tauhid, dan keharusan manusia menyembah Allah Tuhan Penciptanya. Orang yang tidak mau mengakui kekuasaan Allah dan mengingkari ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi itu, akan diazab Allah didunia dan di akhirat nanti. Kemudian dikemukakan kisah beberapa orang nabi dengan umatnya. Akhirnya surat itu ditutup dengan seruan agar kaum musyrik Mekah percaya kepada ajaran yang dibawa Muhammad s.a.w supaya tidak mengalami apa yang telah dialami oleh umat-umat yang dahulu.