Keunikan Masjid Bingkudu di Kabupaten Agam
A
A
A
MASJID Bingkudu (kadang dieja atau ditulis Masjid Bengkudu dan disebut juga dengan Masjid Jamik Bingkudu) adalah salah satu masjid tertua di Indonesia.
Masjid dengan arsitektur khas Minangkabau ini terletak di Jorong Bingkudu, Nagari Canduang Koto Laweh, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Saat didirikan, bangunan masjid ini terbuat dari bahan kayu, mulai dari lantai, tiang, hingga dinding masjid.
Pemerhati sejarah yang juga Dosen STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh Fikrul Hanif Sufyan pernah melakukan riset tentang Sejarah Masjid Tua di Sumatera Barat, salah satunya Masjid Bingkudu. Riset tersebut dilakukan bersama dengan Prof Azrin dari Fakulti Teknik Universiti Kebangsaan Malaysia.
Hasil riset itu menyebutkan, Masjid Bingkudu dibangun pada tahun 1813, diprakarsai oleh tokoh masyarakat dari tujuh nagari, yakni Canduang, Koto Laweh, Lasi Tuo, Lasi Mudo, Pasanehan, Bukik, dan Batabuah. Masjid ini memiliki luas sekitar 21x21 meter dengan tinggi 37,5 meter.
Hampir semua material yang dipergunakan untuk membuat masjid ini terdiri dari kayu, seperti lantai, dinding, maupun tiang-tiangnya. Tiang Macu (tiang besar di tengah ruangan) masjid ini diambil dari Bayuah Kenagarian Tanjuang Alam, Kabupaten Tanah Datar.
Tiang dibawa dengan cara digotong secara estafet oleh masyarakat melalui Koto Tinggi sampai di Masjid Bingkudu. Jalur pengangkutan tiang masjid inilah yang menjadi pembuka jalan (hubungan) antara Batusangkar dengan Baso (Kabupaten Agam), sampai kini.
Atap masjid ini pun unik, dari awal berundak tiga, terbuat dari susunan ijuk. Bangunan ini saat didirikan menggunakan sistem pasak. Artinya, tidak satu pun dari komponen penyusun masjid ini yang dilekatkan satu sama lain dengan menggunakan paku.
Selain itu, pada bagian depan ruang utama terdapat mimbar tua yang tahun pembuatannya dapat dirujuk dari tulisan angka 1316 Hijriah (sekitar tahun 1906) pada bagian mahkota mimbar.
Mimbar berbentuk huruf "L" tersebut terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan tangga naik dan tangga turun yang sengaja dibuat terpisah. Tangga naik dibuat menghadap ke depan, sedangkan tangga turun mengarah ke samping.
Lampu-lampu minyak yang yang terpajang pada setiap sudut masjid rata-rata juga sudah menjadi barang antik, karena telah berumur ratusan tahun.
Selain itu, pada pekarangan masjid juga terdapat sebuah menara dengan ketinggian 30 meter, dengan tangga naik berbentuk spiral.
Seperti kebanyakan masjid yang ada, di atas menara ini dahulu terdapat Cenang (Gong) Besar yang dibunyikan setiap datang waktu salat. Menara ini juga digunakan untuk mengumandangkan azan, terutama saat belum ada pengeras suara.
Di dekat jalan ke arah menara terdapat sebuah Tabuah (beduk) Besar yang dibunyikan setiap sebelum azan.
Di bagian luar masjid tampak tiga kolam ikan, serta satu kolam besar untuk berwudu. Dahulu, air kolam yang digunakan untuk berwudu ini dialirkan dengan bambu sepanjang 175 meter dari mata air yang diambil dari tanah milik Datuak Tan Tuah dari suku Selayan di Lurah.
Dikutip dari Wikipedia, masjid ini telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Agam sebagai cagar budaya pada tahun 1989. Pada tahun 1991, masjid ini dipugar secara keseluruhan.
Selain digunakan sebagai aktivitas ibadah umat Islam dan sarana pendidikan agama bagi pelajar, Masjid Bingkudu juga digunakan sebagai Kantor Pusat Tim Koordinasi Pemberantasan Kemiskinan Jorong Bingkudu.
Masjid dengan arsitektur khas Minangkabau ini terletak di Jorong Bingkudu, Nagari Canduang Koto Laweh, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Saat didirikan, bangunan masjid ini terbuat dari bahan kayu, mulai dari lantai, tiang, hingga dinding masjid.
Pemerhati sejarah yang juga Dosen STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh Fikrul Hanif Sufyan pernah melakukan riset tentang Sejarah Masjid Tua di Sumatera Barat, salah satunya Masjid Bingkudu. Riset tersebut dilakukan bersama dengan Prof Azrin dari Fakulti Teknik Universiti Kebangsaan Malaysia.
Hasil riset itu menyebutkan, Masjid Bingkudu dibangun pada tahun 1813, diprakarsai oleh tokoh masyarakat dari tujuh nagari, yakni Canduang, Koto Laweh, Lasi Tuo, Lasi Mudo, Pasanehan, Bukik, dan Batabuah. Masjid ini memiliki luas sekitar 21x21 meter dengan tinggi 37,5 meter.
Hampir semua material yang dipergunakan untuk membuat masjid ini terdiri dari kayu, seperti lantai, dinding, maupun tiang-tiangnya. Tiang Macu (tiang besar di tengah ruangan) masjid ini diambil dari Bayuah Kenagarian Tanjuang Alam, Kabupaten Tanah Datar.
Tiang dibawa dengan cara digotong secara estafet oleh masyarakat melalui Koto Tinggi sampai di Masjid Bingkudu. Jalur pengangkutan tiang masjid inilah yang menjadi pembuka jalan (hubungan) antara Batusangkar dengan Baso (Kabupaten Agam), sampai kini.
Atap masjid ini pun unik, dari awal berundak tiga, terbuat dari susunan ijuk. Bangunan ini saat didirikan menggunakan sistem pasak. Artinya, tidak satu pun dari komponen penyusun masjid ini yang dilekatkan satu sama lain dengan menggunakan paku.
Selain itu, pada bagian depan ruang utama terdapat mimbar tua yang tahun pembuatannya dapat dirujuk dari tulisan angka 1316 Hijriah (sekitar tahun 1906) pada bagian mahkota mimbar.
Mimbar berbentuk huruf "L" tersebut terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan tangga naik dan tangga turun yang sengaja dibuat terpisah. Tangga naik dibuat menghadap ke depan, sedangkan tangga turun mengarah ke samping.
Lampu-lampu minyak yang yang terpajang pada setiap sudut masjid rata-rata juga sudah menjadi barang antik, karena telah berumur ratusan tahun.
Selain itu, pada pekarangan masjid juga terdapat sebuah menara dengan ketinggian 30 meter, dengan tangga naik berbentuk spiral.
Seperti kebanyakan masjid yang ada, di atas menara ini dahulu terdapat Cenang (Gong) Besar yang dibunyikan setiap datang waktu salat. Menara ini juga digunakan untuk mengumandangkan azan, terutama saat belum ada pengeras suara.
Di dekat jalan ke arah menara terdapat sebuah Tabuah (beduk) Besar yang dibunyikan setiap sebelum azan.
Di bagian luar masjid tampak tiga kolam ikan, serta satu kolam besar untuk berwudu. Dahulu, air kolam yang digunakan untuk berwudu ini dialirkan dengan bambu sepanjang 175 meter dari mata air yang diambil dari tanah milik Datuak Tan Tuah dari suku Selayan di Lurah.
Dikutip dari Wikipedia, masjid ini telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Agam sebagai cagar budaya pada tahun 1989. Pada tahun 1991, masjid ini dipugar secara keseluruhan.
Selain digunakan sebagai aktivitas ibadah umat Islam dan sarana pendidikan agama bagi pelajar, Masjid Bingkudu juga digunakan sebagai Kantor Pusat Tim Koordinasi Pemberantasan Kemiskinan Jorong Bingkudu.
(zik)