Merasakan Salat Subuh di Mesjid Berusia 180 Tahun
A
A
A
SEPERTI halnya bangunan masjid agung di daerah lain yang dibangun pada masa Kerajaan Islam, sudah dipastikan di bagian depannya terdapat sebuah lapangan yang dijadikan alun-alun fasilitas perkantoran atau Pendopo, hingga fasilitas penunjang lainnya. Begitupun Mesjid Agung Manonjaya yang dibangun pada masa Bupati Wiradadaha VIII pada tahun 1837 bersamaan dengan perpindahannya Ibu Kota dari Sukaraja yang dulu bernama Pasir Panjang ke Harjawinangun yang kini dikenal dengan Manonjaya.
Kendati waktu masih menunjukkan pukul 04.00 WIB atau sekitar 30 menit lagi menjelang azan subuh, namun kawasan pusat Kota Kecamatan Manonjaya sudah terasa ramai sejak dimasuki dari wilayah perbatasan Kota Tasikmalaya. Geliat pagi itu muncul setiap hari dari sebuah pasar yang juga ikut tumbuh seiring perpindahan pusat pemerintahan pada masa itu, padahal pasar ini terbakar pada Maret 2017 silam dan kini terlihat para pedagangnya menempati kios-kios darurat di sana.
Lantunan ayat suci Al Qur’an terdengar dari pengeras suara saat memasuki halaman masjid yang berdiri megah di areal lahan seluas 1.250 meter persegi dan telah dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya atau cultural heritage oleh Badan Arkeologi RI tertanggal 1 September 1975 tersebut.
Namun di dalam masjid nampak masih sepi dan hanya terdapat 2 orang jamaah saja, baru setelah raungan sirine imsak diperdengarkan satu persatu jamaah kemudian berdatangan dan terus bertambah banyak setelah azan subuh berkumandang meski sebagian besar didominasi oleh para orangtua.
Selesai salat subuh berjamaah, para orang tua kemudian memilih duduk ke pinggir menempel tembok dan sebagian memilih bersandar kepada 10 tiang kokoh di ruang utama masjid yang mengadopsi desain Eropa dengan arsitektur Sunda dan Jawa tersebut.
Sedangkan seorang remaja pengurus masjid kemudian melantunkan shalawat, sebagai tanda memanggil Jemaah yang hendak mengikuti kuliah shubuh yang kemudian sebagian memasuki masjid meskipun lebih banyak memilih duduk diteras masjid yang juga megah dengan adanya tiang-tiang kokoh penyangga.
"Di sini penceramahnya telah terjadwal dan dilakukan pemberitahuan terlebih dahulu sebelumnya, kali ini dari BKMM Kecamatan Manonjaya Ustadzah Hj Dadah yang datang dan membahas tema peran penting perempuan. Setiap subuh diikuti lebih dari 100 jamaah mulai anak-anak, dewasa, dan orang tua, dan paling lama sejam hingga pukul 06.00 WIB juga selesai," ungkap Pengurus DKM Mesjid Agung Manonjaya Rusliana.
Masjid Agung Manonjaya, merupakan salah satu masjid tertua di Tasikmalaya dan memiliki keunikan tersendiri. Terdapat sedikitnya 60 tiang penyangga didalamnya, 4 menara yang berada di kedua sisi, di mana ruangan yang terdiri dari serambi depan yang menghadap alun-alun, kemudian ruang salat perempuan atau pawestren yang berada di samping kiri, serta serambi belakang yang sebelumnya dipergunakan untuk kegiatan mengaji anak-anak disana.
"Keunikan lainnya dari masjid ini adalah adanya Mustaka atau Memolo yang dipercaya merupakan peninggalan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan yang disimpan di bagian atap tertinggi masjid. Meskipun memolo ini merupakan kekhasan bangunan masjid di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur pada masa hindu, tetapi memang diadaptasi pada pembangunannya di masa itu," jelas Rusliana.
Masjid ini sempat ambruk akibat bencana, mulai gempa pada tahun 1977, meletusnya Gunung Galunggung pada tahun 1982, hingga Gempa pada 2 September 2009 yang mengakibatkan bangunan masjid harus mendapatkan perbaikan. Renovasi dilakukan, namun tetap tidak meninggalkan bentuk aslinya yang terus dipertahankan hingga saat ini termasuk khasnya warna hijau dan putih yang mendominasi.
Kendati waktu masih menunjukkan pukul 04.00 WIB atau sekitar 30 menit lagi menjelang azan subuh, namun kawasan pusat Kota Kecamatan Manonjaya sudah terasa ramai sejak dimasuki dari wilayah perbatasan Kota Tasikmalaya. Geliat pagi itu muncul setiap hari dari sebuah pasar yang juga ikut tumbuh seiring perpindahan pusat pemerintahan pada masa itu, padahal pasar ini terbakar pada Maret 2017 silam dan kini terlihat para pedagangnya menempati kios-kios darurat di sana.
Lantunan ayat suci Al Qur’an terdengar dari pengeras suara saat memasuki halaman masjid yang berdiri megah di areal lahan seluas 1.250 meter persegi dan telah dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya atau cultural heritage oleh Badan Arkeologi RI tertanggal 1 September 1975 tersebut.
Namun di dalam masjid nampak masih sepi dan hanya terdapat 2 orang jamaah saja, baru setelah raungan sirine imsak diperdengarkan satu persatu jamaah kemudian berdatangan dan terus bertambah banyak setelah azan subuh berkumandang meski sebagian besar didominasi oleh para orangtua.
Selesai salat subuh berjamaah, para orang tua kemudian memilih duduk ke pinggir menempel tembok dan sebagian memilih bersandar kepada 10 tiang kokoh di ruang utama masjid yang mengadopsi desain Eropa dengan arsitektur Sunda dan Jawa tersebut.
Sedangkan seorang remaja pengurus masjid kemudian melantunkan shalawat, sebagai tanda memanggil Jemaah yang hendak mengikuti kuliah shubuh yang kemudian sebagian memasuki masjid meskipun lebih banyak memilih duduk diteras masjid yang juga megah dengan adanya tiang-tiang kokoh penyangga.
"Di sini penceramahnya telah terjadwal dan dilakukan pemberitahuan terlebih dahulu sebelumnya, kali ini dari BKMM Kecamatan Manonjaya Ustadzah Hj Dadah yang datang dan membahas tema peran penting perempuan. Setiap subuh diikuti lebih dari 100 jamaah mulai anak-anak, dewasa, dan orang tua, dan paling lama sejam hingga pukul 06.00 WIB juga selesai," ungkap Pengurus DKM Mesjid Agung Manonjaya Rusliana.
Masjid Agung Manonjaya, merupakan salah satu masjid tertua di Tasikmalaya dan memiliki keunikan tersendiri. Terdapat sedikitnya 60 tiang penyangga didalamnya, 4 menara yang berada di kedua sisi, di mana ruangan yang terdiri dari serambi depan yang menghadap alun-alun, kemudian ruang salat perempuan atau pawestren yang berada di samping kiri, serta serambi belakang yang sebelumnya dipergunakan untuk kegiatan mengaji anak-anak disana.
"Keunikan lainnya dari masjid ini adalah adanya Mustaka atau Memolo yang dipercaya merupakan peninggalan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan yang disimpan di bagian atap tertinggi masjid. Meskipun memolo ini merupakan kekhasan bangunan masjid di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur pada masa hindu, tetapi memang diadaptasi pada pembangunannya di masa itu," jelas Rusliana.
Masjid ini sempat ambruk akibat bencana, mulai gempa pada tahun 1977, meletusnya Gunung Galunggung pada tahun 1982, hingga Gempa pada 2 September 2009 yang mengakibatkan bangunan masjid harus mendapatkan perbaikan. Renovasi dilakukan, namun tetap tidak meninggalkan bentuk aslinya yang terus dipertahankan hingga saat ini termasuk khasnya warna hijau dan putih yang mendominasi.
(bbk)