Apakah Boleh Mengalihkan Zakat ke Tempat Lain?
A
A
A
Pertanyaan:
Saya tinggal di suatu tempat, taraf hidup masyarakatnya baik, jarang sekali ada fakir miskin yang berhak menerima zakat. Apakah boleh saya bayarkan zakat kepada kerabat saya yang membutuhkan dan mereka tinggal di tempat lain?
Jawaban:
Diriwayatkan oleh sekelompok ahli hadis bahwa ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah berkata kepadanya, “Jika mereka taat kepadaku, maka ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah Swt mewajibkan zakat kepada mereka dalam harta mereka. Diambil dari orang-orang yang mampu di antara mereka dan diserahkan kepada orang-orang yang fakir diantara mereka”.
Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain bahwa ia diangkat menjadi amil zakat, ketika ia kembali, ia ditanya, “Dimanakah hasil zakat?”. Ia menjawab, “Apakah untuk harta kamu mengutusku? Kami mengambilnya sesuai seperti yang kami lakukan pada masa Rasulullah SAW dan kami membaginya seperti kami membagikannya dulu”. (Baca Juga: Bolehkah Mengeluarkan Zakat Sebelum Waktunya?)
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan, ia nyatakan sebagai hadis hasan, bahwa Abu Juhaifah berkata, “Seorang amil zakat pada masa Rasulullah datang kepada kami. Ia mengambil zakat dari orang-orang yang mampu diantara kami dan ia membagikannya kepada orang-orang fakir di antara kami”.
Berdasarkan riwayat-riwayat ini para fuqaha’ (ahli Fiqh) berdalil bahwa zakat dibagikan kepada orang-orang fakir di negeri bersangkutan. Mereka berbeda pendapat tentang hukum mengalihkan zakat ke negeri lain setelah mereka ber-Ijma’ bahwa boleh hukumnya mengalihkan zakat ke negeri lain jika negeri tempat pengutipan zakat tersebut tidak membutuhkannya.
Menurut Mazhab Hanafi: makruh mengalihkan zakat, kecuali jika pengalihan tersebut kepada kerabat yang membutuhkan, karena dalam hal itu terkandung menyambung silaturahim, atau kepada kelompok masyarakat yang lebih membutuhkan daripada para fakir di negeri tempat pemungutan zakat, atau pengalihan tersebut mengandung maslahat bagi kaum muslimin, atau dari Darulharb ke Dar Islam, atau pengalihan tersebut untuk para penuntut ilmu, atau zakat tersebut dibayarkan sebelum masanya diwajibkan, artinya dibayarkan sebelum masa Haul. Maka dalam semua kondisi ini tidak dimakruhkan mengalihkan zakat. (Maktabah Syamilah).
Menurut Mazhab Syafi’i: tidak boleh mengalihkan zakat dari suatu negeri ke negeri lain, wajib dibagi ke negeri tempat zakat tersebut dipungut dari muzakki yang telah sampai Haul. Jika tidak ada mustahik zakat, maka dialihkan ke negeri yang di negeri tersebut terdapat mustahik zakat.
Dalil mereka dalam masalah ini adalah hadis Mu’adz di atas. Seperti yang disebutkan Abu ‘Ubaid bahwa Mu’adz datang dari Yaman setelah Rasulullah meninggal dunia, Umar mengembalikannya. Ketika Mu’adz mengirimkan sebagian harta zakat, Umar tidak menerimanya. Umar menolaknya lebih dari satu kali meskipun Mu’adz menjelaskan bahwa tidak ada mustahik zakat yang mengambilnya.
Menurut Mazhab Maliki: tidak mengalihkan zakat ke negeri lain, kecuali jika sangat dibutuhkan, maka Imam mengambil zakat tersebut dan menyerahkannya kepada orang-orang yang membutuhkannya. Ini berdasarkan pemikiran dan ijtihad, seperti yang mereka nyatakan.
Menurut Mazhab Hanbali: tidak boleh mengalihkan zakat ke negeri lain yang jaraknya sejauh jarak Qashar salat. Zakat dibagikan di negeri zakat tersebut dikutip dan negeri sekitarnya yang berada di bawah jarak Qashar salat.
Ibnu Qudamah al-Hanbali berkata, “Jika seseorang menentang pendapat ini dan ia mengalihkan zakatnya, zakatnya tetap sah menurut pendapat mayoritas ulama. Jika seseorang tinggal di suatu tempat dan hartanya di tempat lain, maka zakatnya dibagi di negeri tempat hartanya berada, karena para mustahik di tempat tersebut melihatnya. Jika hartanya berada di beberapa tempat, maka zakatnya ditunaikan di setiap negeri tempat harta tersebut berada. Ini berlaku pada zakat Mal.
Sedangkan zakat Fitrah dibagi di tempat orang-orang yang berzakat, karena zakat tersebut adalah zakat dirinya, bukan zakat hartanya. Berdasarkan ini saya nyatakan kepada penanya, jika ada mustahik zakat di tempat ia tinggal, maka zakat dibagikan kepada mustahik yang ada di tempat tersebut, demikian menurut jumhur fuqaha’. Tidak boleh dialihkan ke kerabatnya yang membutuhkan. (Baca Juga: Zakat Fitrah Pakai Apa? Ini Penjelasan Lengkap Habib Ahmad)Sedangkan Abu Hanifah membolehkan pengalihan zakat disebabkan alasan tersebut, di antaranya adalah untuk silaturahim atau sangat membutuhkan, menurut Abu Hanifah itu boleh dilakukan, ia melihat kepada maslahat yang kuat. (Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, juz. II, hal. 531-532 dan Nail al-Authar karya asy-Syaukani, juz. IV, hal. 161).
(Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar)
(Dikutip dari Buku “30 Fatwa Seputar Ramadhan” yang disusun Ustaz Abdul Somad. Ustaz Abdul Somad memilih fatwa tiga ulama besar al-Azhar; Syekh ‘Athiyyah Shaqar, Syekh DR Yusuf al-Qaradhawi dan Syekh DR Ali Jum’ah, karena keilmuan dan manhaj al-Washatiyyah (moderat) yang mereka terapkan dalam fatwanya)
Saya tinggal di suatu tempat, taraf hidup masyarakatnya baik, jarang sekali ada fakir miskin yang berhak menerima zakat. Apakah boleh saya bayarkan zakat kepada kerabat saya yang membutuhkan dan mereka tinggal di tempat lain?
Jawaban:
Diriwayatkan oleh sekelompok ahli hadis bahwa ketika Rasulullah SAW mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah berkata kepadanya, “Jika mereka taat kepadaku, maka ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah Swt mewajibkan zakat kepada mereka dalam harta mereka. Diambil dari orang-orang yang mampu di antara mereka dan diserahkan kepada orang-orang yang fakir diantara mereka”.
Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain bahwa ia diangkat menjadi amil zakat, ketika ia kembali, ia ditanya, “Dimanakah hasil zakat?”. Ia menjawab, “Apakah untuk harta kamu mengutusku? Kami mengambilnya sesuai seperti yang kami lakukan pada masa Rasulullah SAW dan kami membaginya seperti kami membagikannya dulu”. (Baca Juga: Bolehkah Mengeluarkan Zakat Sebelum Waktunya?)
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan, ia nyatakan sebagai hadis hasan, bahwa Abu Juhaifah berkata, “Seorang amil zakat pada masa Rasulullah datang kepada kami. Ia mengambil zakat dari orang-orang yang mampu diantara kami dan ia membagikannya kepada orang-orang fakir di antara kami”.
Berdasarkan riwayat-riwayat ini para fuqaha’ (ahli Fiqh) berdalil bahwa zakat dibagikan kepada orang-orang fakir di negeri bersangkutan. Mereka berbeda pendapat tentang hukum mengalihkan zakat ke negeri lain setelah mereka ber-Ijma’ bahwa boleh hukumnya mengalihkan zakat ke negeri lain jika negeri tempat pengutipan zakat tersebut tidak membutuhkannya.
Menurut Mazhab Hanafi: makruh mengalihkan zakat, kecuali jika pengalihan tersebut kepada kerabat yang membutuhkan, karena dalam hal itu terkandung menyambung silaturahim, atau kepada kelompok masyarakat yang lebih membutuhkan daripada para fakir di negeri tempat pemungutan zakat, atau pengalihan tersebut mengandung maslahat bagi kaum muslimin, atau dari Darulharb ke Dar Islam, atau pengalihan tersebut untuk para penuntut ilmu, atau zakat tersebut dibayarkan sebelum masanya diwajibkan, artinya dibayarkan sebelum masa Haul. Maka dalam semua kondisi ini tidak dimakruhkan mengalihkan zakat. (Maktabah Syamilah).
Menurut Mazhab Syafi’i: tidak boleh mengalihkan zakat dari suatu negeri ke negeri lain, wajib dibagi ke negeri tempat zakat tersebut dipungut dari muzakki yang telah sampai Haul. Jika tidak ada mustahik zakat, maka dialihkan ke negeri yang di negeri tersebut terdapat mustahik zakat.
Dalil mereka dalam masalah ini adalah hadis Mu’adz di atas. Seperti yang disebutkan Abu ‘Ubaid bahwa Mu’adz datang dari Yaman setelah Rasulullah meninggal dunia, Umar mengembalikannya. Ketika Mu’adz mengirimkan sebagian harta zakat, Umar tidak menerimanya. Umar menolaknya lebih dari satu kali meskipun Mu’adz menjelaskan bahwa tidak ada mustahik zakat yang mengambilnya.
Menurut Mazhab Maliki: tidak mengalihkan zakat ke negeri lain, kecuali jika sangat dibutuhkan, maka Imam mengambil zakat tersebut dan menyerahkannya kepada orang-orang yang membutuhkannya. Ini berdasarkan pemikiran dan ijtihad, seperti yang mereka nyatakan.
Menurut Mazhab Hanbali: tidak boleh mengalihkan zakat ke negeri lain yang jaraknya sejauh jarak Qashar salat. Zakat dibagikan di negeri zakat tersebut dikutip dan negeri sekitarnya yang berada di bawah jarak Qashar salat.
Ibnu Qudamah al-Hanbali berkata, “Jika seseorang menentang pendapat ini dan ia mengalihkan zakatnya, zakatnya tetap sah menurut pendapat mayoritas ulama. Jika seseorang tinggal di suatu tempat dan hartanya di tempat lain, maka zakatnya dibagi di negeri tempat hartanya berada, karena para mustahik di tempat tersebut melihatnya. Jika hartanya berada di beberapa tempat, maka zakatnya ditunaikan di setiap negeri tempat harta tersebut berada. Ini berlaku pada zakat Mal.
Sedangkan zakat Fitrah dibagi di tempat orang-orang yang berzakat, karena zakat tersebut adalah zakat dirinya, bukan zakat hartanya. Berdasarkan ini saya nyatakan kepada penanya, jika ada mustahik zakat di tempat ia tinggal, maka zakat dibagikan kepada mustahik yang ada di tempat tersebut, demikian menurut jumhur fuqaha’. Tidak boleh dialihkan ke kerabatnya yang membutuhkan. (Baca Juga: Zakat Fitrah Pakai Apa? Ini Penjelasan Lengkap Habib Ahmad)Sedangkan Abu Hanifah membolehkan pengalihan zakat disebabkan alasan tersebut, di antaranya adalah untuk silaturahim atau sangat membutuhkan, menurut Abu Hanifah itu boleh dilakukan, ia melihat kepada maslahat yang kuat. (Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, juz. II, hal. 531-532 dan Nail al-Authar karya asy-Syaukani, juz. IV, hal. 161).
(Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar)
(Dikutip dari Buku “30 Fatwa Seputar Ramadhan” yang disusun Ustaz Abdul Somad. Ustaz Abdul Somad memilih fatwa tiga ulama besar al-Azhar; Syekh ‘Athiyyah Shaqar, Syekh DR Yusuf al-Qaradhawi dan Syekh DR Ali Jum’ah, karena keilmuan dan manhaj al-Washatiyyah (moderat) yang mereka terapkan dalam fatwanya)
(rhs)