Menggelorakan Semangat Resolusi Jihad Kiyai Hasyim Asy'ari

Rabu, 23 Oktober 2019 - 12:37 WIB
Menggelorakan Semangat...
Menggelorakan Semangat Resolusi Jihad Kiyai Hasyim Asy'ari
A A A
KH Miftahur Rahman el-Banjary
Pengasuh Ponpes Sibtul Amin, Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur

Hari Santri Nasional yang jatuh setiap 22 Oktober sejatinya berangkat dari spirit resolusi Jihad yang digelorakan oleh KH Hasyim Asy'ari pada tanggal 22 Oktober 1945 agar para santri melakukan perlawanan atas hegenomi kolonial NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang mencoba kembali menjajah Indonesia.

Kiyai Hasyim Asy'ari menegaskan bahwa hukum membela Tanah air adalah fardhu 'ain (kewajiban yang bersifat perseorangan) bagi setiap orang muslim di Indonesia. Serangan jihad yang dikobarkan Kiyai Hasyim Asy'ari membakar semangat para santri arek-arek Surabaya untuk menyerang Markas Brigade 49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.

Jenderal Mallaby pun tewas bersama 2.000 pasukan Inggris dalam pertempuran 3 hari berturut-turut dari tanggal 27 hingga 29 Oktober 1945. Serangan itu membuat Angkatan Perang Inggris marah, hingga berujung pada peristiwa 10 November 1945 yang kemudian diperingati Hari Pahlawan. Demikian peran para santri dalam perjuangan merebut kemerdekaan tidak bisa dinafikan.

Dalam konteks Indonesia, peran pesantren tidak hanya sebatas pendidikan, melainkan juga perjuangan kemerdekaan. Hal itu pernah disimpulkan oleh peneliti Asia Tenggara, Harry J Benda, dalam bukunya yang membahas masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dia menekankan, sejarah Islam Indonesia adalah sejarah perluasan peradaban Santri serta pengaruhnya bagi kehidupan beragama, sosial, serta politik Indonesia.

Perjuangan Sang Kyai, bukan hanya soal kekuatan fisik dan senjata atau strategi intelektual semata. Tetapi juga, upaya bathin melalui sejumlah wirid serta perlawanan kultural. Salah satu strategi kultural yang dilakukan oleh kalangan pesantren ia mengeluarkan fatwa sebagai wujud patriotisme dan wadah pergerakan nasional.

Di tengah kegairahan umat Islam untuk berhaji, tiba-tiba KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa bahwa melakukan ibadah haji saat ini hukumnya haram. Sang Kyai menegaskan bahwa ibadah haji memang sebuah kewajiban bila syarat dan rukunnya terlengkapi.

Sementara saat ini, Indonesia dalam keadaan perang. Kapal sebagai sarana tranportasi haji belum dimiliki oleh bangsa Indonesia. Karena itu, bila pergi haji naik kapal milik orang kafir (Belanda), maka hukumnya haram dan hajinya tidak sah.

Fatwa itu dikeluarkan Sang Kyai ketika Gubernur Hindia Belanda, Van der Plass mengeluarkan kebijakan politik yang sangat licik pada masa-masa revolusi antara tahun 1946-1948. Seolah-olah Belanda ingin menolong umat Islam dengan mengumumkan bahwa bagi umat Islam yang hendak melaksanakan ibadah haji akan disediakan fasilitas selengkapnya dan dijamin keamanannya.

Namun dibalik kebijakan itu, sesunguhnya terselip tipu muslihat dan sekadar intrik politik untuk meraup simpati dari umat Islam Indonesia saja. Padahal jika dilihat dari kebijakan pemerintah Hindia-Belanda pada masa itu, sangatlah bernafsu untuk kembali menancapkan cengkraman kekuasaannya.

Tentu saja, tawaran tersebut menarik untuk Islam Indonesia untuk mendaftarkan haji mengingat beberapa tahun sebelumnya pemberangkatan haji selalu dikekang dengan berbagai pembatasan yang ketat yang dilakukan oleh Belanda serta terganggu oleh peperangan.

Kyai Hasyim Asyari tahu bahwa tujuan Van der Plass membantu umat Islam dalam menjalankan rukun Islam itu bukan untuk menolong, tetapi sebuah tipu muslihat untuk mengalihkan kesetian pada bangsa sendiri. Haji politis semacam itu tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Kyai Hasyim Asy'ari.

Sebagai seorang imam yang berpengaruh, maka fatwanya yang kontroversial itu tetap diikuti. Fatwa itu membuat umat Islam tertegun, tetapi bagaimana pun dengan hujjah-nya yang kuat dan sesuai nalar, maka seberat apapun fatwa itu mesti ditaati. Sehingga umat Islam banyak yang membatalkan perjalanan hajinya.

Tentu saja hal itu membuat Belanda geram, bukan karena usaha pelayarannya tidak laku, tetapi lebih penting lagi usahanya gagal dalam mempengaruhi hati umat Islam agar tidak memihak pada Republik pimpinan Soekarno-Hatta. Sejumlah fatwa yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari, pemimpin besar NU dan pemimpin besar bangsa Indonesia juga menjadi energi perlawanan terhadap kolonialisme.

Misalnya ketika mengharamkan santri memakai pakaian yang menyerupai Belanda yang terbukti efektif menggerakkan perlawanan secara luas. Fatwa itu hanya berlaku pada konteks saat itu, bagaimana Kiai Hasyim Asy'ari melihat propaganda Belanda melalui borjuisme kolonial lewat busana.

Dari sini kita bisa memahami bahwa pesan historis dari peringatan Hari Santri adalah pesan perjuangan dan perlawanan anti kolonialisme, komunisme, marxisme, sekulerisme, liberalisme, pluralisme dan pemikiran yang bertentangan dengan roh Islam. Santri harus terus berani menggelorakan semangat perlawanan jihad atas upaya-upaya yang merusak Islam, baik dari dalam maupun dari luar.

Para santri sejatinya bukan anti modernisme, selama modernisme membawa pada hal-hal yang bersifat positif, peningkatan teknologi, serta kemajuan berpikir demi kemaslahatan Islam. Namun, jika modernisme yang diikuti justru bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam dan kultur kesantrian itu sendiri, tentu sikap tegas menolak budaya itu harus mampu ditunjukkan secara berani, elegan dan bermartabat.

Seorang santri sangat menghargai arti perbedaan agama dan keyakinan. Sikap menerima keanekaragaman pluralitas berbagai agama dan kepercayaan yang ada di bumi Nusantara ini adalah sebuah keniscayaan.

Namun, bukan berarti seorang santri harus memiliki pandangan pluralisme yang menganggap semua agama itu sama, sama benarnya, sama tujuan akhirnya, apalagi mengikuti ritual ibadah mereka, tentu hal ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dan hal ini, sama saja mencederai serta menodai nilai-nilai semangat resolusi jihad yang digelorakan oleh KH Hasyim Asy'ari.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1359 seconds (0.1#10.140)