Imam Lapeo, ulama kharismatik Mandar (I)
A
A
A
Sindonews.com - Imam Lapeo atau KH Muhammad Thahir adalah salah satu ulama kharismatik di Tanah Mandar, Sulawesi Barat (Sulbar). Beliau adalah ulama besar dan penyebar Islam yang tak kenal menyerah dalam menanamkan prinsip-prinsip tauhid, akhlak dan keilmuan Islam di Tanah Mandar.
Beliau lahir dari pasangan Muhammad dan Ikaji, di Pambusuang, Kabupaten Polewali Mandar pada tahun 1939, pada masa pemerintahan Raja Balanipa ke 41. Ia dididik dan dibesarkan dalam kehidupan beragama Islam bermadzhab Syafi’i Ahlusunnati Wal Jama’ah.
Imam Lapeo sama dengan manusia-manusia lain. Punya dambaan, obsesi, cita-cita dan pada mulanya mencari tahu apa-apa yang diperlukan untuk diperbuat. Jiwa patriotisme, berani menanggung resiko serta berbagai macam cobaan telah ia lakukan.
Melihat kehidupan dan tingkat pendidikan masyarakat, beliau selalu ingin bertemu, menanggung serta merasakan apa yang dialaminya. Selalu ingin berhubungan, baik di kala senang apalagi kala susah atau mengalami krisis. Beliau berkunjung kepada mereka untuk mencari tahu tentang apa yang mereka alami.
Pada masa muda sampai tua, beliau sangat senang merantau sampai ke Pulau Jawa, Sumatera, Semenajung Malaka dan utamanya di Pulau Sulawesi sendiri baik kediaman suku Bugis, Makassar, Toraja, Massenrempullu, Timur Tengah, hingga Mekkah.
Sebagai seorang yang peka dan haus akan ilmu keagamaan, tentu saja Imam Lapeo dalam pengembaraannya telah bersentuhan serta dipengaruhi oleh paham-paham dan pemikiran kaum pembaharu. Namun yang memantapkan niat Imam Lapeo untuk melakukan pembaruan sosial dan keagamaan adalah pertemuannya dengan seorang Ulama besar dari Yaman, yaitu Sayyid Alwi Jalaluddin Bin Sahal.
Dari ulama yang kemudian menjadi gurunya itu, Imam Lapeo memperoleh motivasi untuk memberantas kejahilan, penyimpangan pelaksanaan dan pemahaman agama serta menggalakkan pelaksanaan agama yang benar dalam masyarakat, khususnya di Mandar.
Bahkan, Imam Lapeo juga berkehendak untuk melawan dan mengusir penjajah Belanda. Beliau berkhawalat selama 40 hari agar mendapat kekuatan dalam berperang. Dalam bersunyi-sunyi itu, beliau didatangi oleh suara menyatakan: “Permintaanmu dikabulkan, hanya saja pemerintahan sebangsamu tidak berperilaku jujur akan menyengsarakan rakyat bangsamu..!” . “Lebih baik membina mereka dalam cara menjalankan misi di situ. Air kali mengalir ke arah timur. Beliau perkirakan inilah Lapeo tempatnya bermuara Lembang Laliko,”. (Ini dikutip dari buku perjalanan hidup Imam Lapeo yang dituliskan oleh cucunya Syarifuddin Muhsin yang sekarang Imam di Mesjid Nuruttaubah Lapeo).
Dengan bekal ilmu dan wawasan Islam yang didapatkannya selama di perantauannya, Imam Lapeo kemudian melaksanakan dakwah Islam di Mandar dengan mempraktikkan metode-metode perjuangan kaum pembaharu baik struktural maupun kultural.
Pada level struktural yang dilakukan Imam Lapeo adalah dengan keterlibatannya dalam mempertahankan Kemerdekaan bangsa, dan bergabung dengan Organisasi Kebaktian Rahasia Islam (KRIS) Muda bersama Andi Depu, RA daud, AR Tamma dan lainnya. Beliau turut berjuang menentang kesewenang-wenangan NICA Belanda yang ingin mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia dan mengancam kedaulatan bangsa dan agama.
Perjuangan Imam Lapeo dalam menentang penjajahan dan kesewenang-wenangan, adalah tipikal kaum pembaharu yang berusaha mempersatukan ummat Islam dalam satu ke Khalifahan untuk melawan dominasi dan eksploitasi Barat.
Seperti Ibnu Taimiyah dengan menggelorakan semangat Amal Ma’ruf Nahi Mungkar, menentang penjajah Moghul. Kemudian Jamaluddin Al Afgani mengambil inspirasi dari ayat Allah: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri."
Sementara, pada level kultural keagamaan, Imam Lapeo telah mendrikan lembaga pendidikan Pesantren yang bernama Pesantren Addiniyah Al Islamiyah Ahlussunnah Wal Jamaah di tahun 1920 an di Desa Lapeo, Campalagian. Pesantren yang didirikan Imam Lapeom pada saat itu merupakan bentuk pesantren modern. Sistem pendidikannya bersifat madrasah yang mengajarkan pendidikan Agama dan juga pendidikan umum.
Dari kedua gerakan yang telah dilakukan Imam Lapeo itu dapat disimpulkan, bahwa beliau adalah salah satu eksponen pembaharu sosial keagamaan di Tanah Air. Namun dalam upaya pembaharuannya itu, beliau tetap menghargai budaya dan adat istiadat Mandar. Hal itu ditunjukkan kesediaan beliau untuk menghadiri dan berceramah pada upacara-upacara atau pesta-pesta adat, seperti perkawinan, kematian, maupun pesta panen.
Di masa hidupnya, Imam Lapeo menikah hingga tiga kali yang dianugerahi sebanyak 10 anak. Dalam pernikahannya, istri pertama Imam Lapeo, Sitti Rugayah dianugerahi delapan anak. Sementara, istri kedua (Siti Khadijah) dan ketiga (Hj Hunainah), masing-masing dianugerahi seorang anak.
Beliau lahir dari pasangan Muhammad dan Ikaji, di Pambusuang, Kabupaten Polewali Mandar pada tahun 1939, pada masa pemerintahan Raja Balanipa ke 41. Ia dididik dan dibesarkan dalam kehidupan beragama Islam bermadzhab Syafi’i Ahlusunnati Wal Jama’ah.
Imam Lapeo sama dengan manusia-manusia lain. Punya dambaan, obsesi, cita-cita dan pada mulanya mencari tahu apa-apa yang diperlukan untuk diperbuat. Jiwa patriotisme, berani menanggung resiko serta berbagai macam cobaan telah ia lakukan.
Melihat kehidupan dan tingkat pendidikan masyarakat, beliau selalu ingin bertemu, menanggung serta merasakan apa yang dialaminya. Selalu ingin berhubungan, baik di kala senang apalagi kala susah atau mengalami krisis. Beliau berkunjung kepada mereka untuk mencari tahu tentang apa yang mereka alami.
Pada masa muda sampai tua, beliau sangat senang merantau sampai ke Pulau Jawa, Sumatera, Semenajung Malaka dan utamanya di Pulau Sulawesi sendiri baik kediaman suku Bugis, Makassar, Toraja, Massenrempullu, Timur Tengah, hingga Mekkah.
Sebagai seorang yang peka dan haus akan ilmu keagamaan, tentu saja Imam Lapeo dalam pengembaraannya telah bersentuhan serta dipengaruhi oleh paham-paham dan pemikiran kaum pembaharu. Namun yang memantapkan niat Imam Lapeo untuk melakukan pembaruan sosial dan keagamaan adalah pertemuannya dengan seorang Ulama besar dari Yaman, yaitu Sayyid Alwi Jalaluddin Bin Sahal.
Dari ulama yang kemudian menjadi gurunya itu, Imam Lapeo memperoleh motivasi untuk memberantas kejahilan, penyimpangan pelaksanaan dan pemahaman agama serta menggalakkan pelaksanaan agama yang benar dalam masyarakat, khususnya di Mandar.
Bahkan, Imam Lapeo juga berkehendak untuk melawan dan mengusir penjajah Belanda. Beliau berkhawalat selama 40 hari agar mendapat kekuatan dalam berperang. Dalam bersunyi-sunyi itu, beliau didatangi oleh suara menyatakan: “Permintaanmu dikabulkan, hanya saja pemerintahan sebangsamu tidak berperilaku jujur akan menyengsarakan rakyat bangsamu..!” . “Lebih baik membina mereka dalam cara menjalankan misi di situ. Air kali mengalir ke arah timur. Beliau perkirakan inilah Lapeo tempatnya bermuara Lembang Laliko,”. (Ini dikutip dari buku perjalanan hidup Imam Lapeo yang dituliskan oleh cucunya Syarifuddin Muhsin yang sekarang Imam di Mesjid Nuruttaubah Lapeo).
Dengan bekal ilmu dan wawasan Islam yang didapatkannya selama di perantauannya, Imam Lapeo kemudian melaksanakan dakwah Islam di Mandar dengan mempraktikkan metode-metode perjuangan kaum pembaharu baik struktural maupun kultural.
Pada level struktural yang dilakukan Imam Lapeo adalah dengan keterlibatannya dalam mempertahankan Kemerdekaan bangsa, dan bergabung dengan Organisasi Kebaktian Rahasia Islam (KRIS) Muda bersama Andi Depu, RA daud, AR Tamma dan lainnya. Beliau turut berjuang menentang kesewenang-wenangan NICA Belanda yang ingin mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia dan mengancam kedaulatan bangsa dan agama.
Perjuangan Imam Lapeo dalam menentang penjajahan dan kesewenang-wenangan, adalah tipikal kaum pembaharu yang berusaha mempersatukan ummat Islam dalam satu ke Khalifahan untuk melawan dominasi dan eksploitasi Barat.
Seperti Ibnu Taimiyah dengan menggelorakan semangat Amal Ma’ruf Nahi Mungkar, menentang penjajah Moghul. Kemudian Jamaluddin Al Afgani mengambil inspirasi dari ayat Allah: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri."
Sementara, pada level kultural keagamaan, Imam Lapeo telah mendrikan lembaga pendidikan Pesantren yang bernama Pesantren Addiniyah Al Islamiyah Ahlussunnah Wal Jamaah di tahun 1920 an di Desa Lapeo, Campalagian. Pesantren yang didirikan Imam Lapeom pada saat itu merupakan bentuk pesantren modern. Sistem pendidikannya bersifat madrasah yang mengajarkan pendidikan Agama dan juga pendidikan umum.
Dari kedua gerakan yang telah dilakukan Imam Lapeo itu dapat disimpulkan, bahwa beliau adalah salah satu eksponen pembaharu sosial keagamaan di Tanah Air. Namun dalam upaya pembaharuannya itu, beliau tetap menghargai budaya dan adat istiadat Mandar. Hal itu ditunjukkan kesediaan beliau untuk menghadiri dan berceramah pada upacara-upacara atau pesta-pesta adat, seperti perkawinan, kematian, maupun pesta panen.
Di masa hidupnya, Imam Lapeo menikah hingga tiga kali yang dianugerahi sebanyak 10 anak. Dalam pernikahannya, istri pertama Imam Lapeo, Sitti Rugayah dianugerahi delapan anak. Sementara, istri kedua (Siti Khadijah) dan ketiga (Hj Hunainah), masing-masing dianugerahi seorang anak.
(azh)