Hilangnya tradisi bom & dung di Masjid Kauman
A
A
A
Sindonews.com - Warga sekitar Masjid Agung Kauman Magelang, tidak lagi dapat menyaksikan tradisi bom udara atau dung saat menjelang buka puasa. Tradisi unik yang dilaksanakan takmir masjid setempat, itu punah akibat pemerintah melarang membunyikan petasan, pada beberapa tahun.
Jauhari (80), seorang Takmir Masjid Agung Kauman Magelang mengatakan, istilah bom diambil dari nama petasan yang berbentuk bola. Sebelum dinyalakan, petasan ini diletakkan di dalam sebuah tabung yang diarahkan ke atas atau udara.
"Setelah itu, bom akan meluncur keatas diiringi dengan suara dentuman seperti suara bom," terang Jauhari, ketika ditemui di rumahnya, di Kampung Kauman, Kota Magelang, Rabu (10/7/2013).
Kebiasaan menyulut petasan ini, kemudian menjadi tradisi warga di sekitar Masjid Kauman. Secara turun temurun, tradisi ini selalu dilakukan ditiap datang bulan Ramadan.
Bom itu ramai-ramai dinyalakan di tengah lapangan alun-alun depan masjid tua. Suara dentuman yang keras itu, konon bisa terdengar hingga di seluruh pelosok Kota Magelang. Masyarakat setempat, mengenalnya dengan suara “dung”.
“Suara itu lah yang oleh warga Magelang menjadi satu-satunya tanda berbuka puasa,” ujar pria yang sudah menjadi Takmir Masjid Agung Magelang sejak tahun 1956 itu.
Menurut Jauhari, dia tidak tahu persis awal mula tradisi ini dilakukan. Sebab, sebelum dia lahir, tradisi ini sudah diturunkan oleh warga pendahulunya.
Selama dia menjadi takmir, sekitar 60 petasan dia beli dari Surabaya, untuk melaksanakan bom dan dung ini. Jumlah petasan itu, dibagi selama pelaksanaan bulan Ramadan, yakni 29-30 hari.
"Waktu itu harganya masih Rp5.000 persatuan. Tiap hari, selama Ramadan dinyalakan. Kalau belum habis, sisanya akan dinyalakan beramai-ramai pas Hari Raya Idul Fitri setelah salat Ied di alun-alun. Wah, senang dan ramai sekali waktu itu," kisahnya.
Namun, sejak ada pelarangan menyalakan petasan beberapa tahun lalu, tradisi bom itu juga ikut dilarang oleh pemerintah. Tradisi tersebut, kemudian diganti menggunakan sirine yang dipasang di atas tugu Water Torn di alun-alun. Tapi penggunaan sirine itu pun tidak berlangsung lama, karena sirine rusak dan tidak pernah diperbaiki hingga sekarang.
"Penanda berbuka puasa lantas diganti menggunakan tabuhan bedug dan suara Adzan melalui pengeras suara sampai sekarang," imbuhnya.
Ramadan tahun ini, dia mendapat desakan dari warga sekitar untuk menghidupkan kembali tradisi bom dan dung.
"Sekarang warga banyak yang kebingungan dan ragu-ragu jika hendak berbuka. Karena mendengar tanda berbuka dari berbagai media dengan waktu yang berbeda pula. Tapi kami tidak bisa berbuat banyak, karena masih ada larangan dan harus seijin walikota," ungkapnya.
Romlah, warga Sorobayan, Desa Banyuurip, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang, menceritakan meski jarak rumahnya dengan dengan Masjid Agung sekitar 4 kilometer. Namun suara "dung" atau sirine menjelang Maghrib jelas terdengar. Saat-saat menunggu suara itu, adalah sesuatu yang menyenangkan bagi warga, khususnya anak-anak.
"Dulu patokan waktu berbuka puasa ya suara dung atau sirine dari Masjid Agung Kauman. Kalau sekarang, sudah tidak ada lagi," terangnya.
Masjid Agung atau populer juga dengan Masjid Jami' Kauman Kota Magelang, ini sendiri cikal bakalnya berawal dari musala yang dibangun tahun 1650 oleh Kyai Mudzakir. Tahun 1779, oleh Danuningrat (Bupati ke-3 Magelang) dibangun menjadi masjid dan bertahan hingga sekarang.
Lalu, masjid yang jadi pusat penyiaran agama Islam di Magelang, itu mengalami pemugaran pada tahun 1935, sekaligus dibuat tembok pembatas. Tahun 1981, mendapat tambahan serambi dan menara yang dibangun oleh Bagus Panuntun, Wali Kota Magelang pada zaman itu.
Jauhari (80), seorang Takmir Masjid Agung Kauman Magelang mengatakan, istilah bom diambil dari nama petasan yang berbentuk bola. Sebelum dinyalakan, petasan ini diletakkan di dalam sebuah tabung yang diarahkan ke atas atau udara.
"Setelah itu, bom akan meluncur keatas diiringi dengan suara dentuman seperti suara bom," terang Jauhari, ketika ditemui di rumahnya, di Kampung Kauman, Kota Magelang, Rabu (10/7/2013).
Kebiasaan menyulut petasan ini, kemudian menjadi tradisi warga di sekitar Masjid Kauman. Secara turun temurun, tradisi ini selalu dilakukan ditiap datang bulan Ramadan.
Bom itu ramai-ramai dinyalakan di tengah lapangan alun-alun depan masjid tua. Suara dentuman yang keras itu, konon bisa terdengar hingga di seluruh pelosok Kota Magelang. Masyarakat setempat, mengenalnya dengan suara “dung”.
“Suara itu lah yang oleh warga Magelang menjadi satu-satunya tanda berbuka puasa,” ujar pria yang sudah menjadi Takmir Masjid Agung Magelang sejak tahun 1956 itu.
Menurut Jauhari, dia tidak tahu persis awal mula tradisi ini dilakukan. Sebab, sebelum dia lahir, tradisi ini sudah diturunkan oleh warga pendahulunya.
Selama dia menjadi takmir, sekitar 60 petasan dia beli dari Surabaya, untuk melaksanakan bom dan dung ini. Jumlah petasan itu, dibagi selama pelaksanaan bulan Ramadan, yakni 29-30 hari.
"Waktu itu harganya masih Rp5.000 persatuan. Tiap hari, selama Ramadan dinyalakan. Kalau belum habis, sisanya akan dinyalakan beramai-ramai pas Hari Raya Idul Fitri setelah salat Ied di alun-alun. Wah, senang dan ramai sekali waktu itu," kisahnya.
Namun, sejak ada pelarangan menyalakan petasan beberapa tahun lalu, tradisi bom itu juga ikut dilarang oleh pemerintah. Tradisi tersebut, kemudian diganti menggunakan sirine yang dipasang di atas tugu Water Torn di alun-alun. Tapi penggunaan sirine itu pun tidak berlangsung lama, karena sirine rusak dan tidak pernah diperbaiki hingga sekarang.
"Penanda berbuka puasa lantas diganti menggunakan tabuhan bedug dan suara Adzan melalui pengeras suara sampai sekarang," imbuhnya.
Ramadan tahun ini, dia mendapat desakan dari warga sekitar untuk menghidupkan kembali tradisi bom dan dung.
"Sekarang warga banyak yang kebingungan dan ragu-ragu jika hendak berbuka. Karena mendengar tanda berbuka dari berbagai media dengan waktu yang berbeda pula. Tapi kami tidak bisa berbuat banyak, karena masih ada larangan dan harus seijin walikota," ungkapnya.
Romlah, warga Sorobayan, Desa Banyuurip, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang, menceritakan meski jarak rumahnya dengan dengan Masjid Agung sekitar 4 kilometer. Namun suara "dung" atau sirine menjelang Maghrib jelas terdengar. Saat-saat menunggu suara itu, adalah sesuatu yang menyenangkan bagi warga, khususnya anak-anak.
"Dulu patokan waktu berbuka puasa ya suara dung atau sirine dari Masjid Agung Kauman. Kalau sekarang, sudah tidak ada lagi," terangnya.
Masjid Agung atau populer juga dengan Masjid Jami' Kauman Kota Magelang, ini sendiri cikal bakalnya berawal dari musala yang dibangun tahun 1650 oleh Kyai Mudzakir. Tahun 1779, oleh Danuningrat (Bupati ke-3 Magelang) dibangun menjadi masjid dan bertahan hingga sekarang.
Lalu, masjid yang jadi pusat penyiaran agama Islam di Magelang, itu mengalami pemugaran pada tahun 1935, sekaligus dibuat tembok pembatas. Tahun 1981, mendapat tambahan serambi dan menara yang dibangun oleh Bagus Panuntun, Wali Kota Magelang pada zaman itu.
(san)