Ini Penyebab Penjualan Kembang Api Turun
A
A
A
JAKARTA - Tradisi kembang api saat bulan suci Ramadan seakan sulit dipungkiri. Salah satunya adalah maraknya pedagang kembang api di Pasar Asemka Lama, Tambora, Jakarta Barat.
Pasar yang terletak di bawah jembatan layang ini dipenuhi pedagang musiman mayoritas warga Garut, Jawa Barat. Mereka saling berlomba menarik pembeli dengan berbagai cara. Mulai kualitas sampai promo harga hadir mewarnai strategi penjualan para pedagang musiman tersebut.
"Pembeli rata-rata juga penjual eceran. Untuk itu kami tidak menjual harga mahal dan tidak juga bisa ditawar," kata Muhammad Soni (42), katanya saat ditemui di lapak dagangannya, Jumat 11 Juli 2014.
Pria yang sejak lulus SMA sudah berkecimpung berjualan kembang api itu mengeluhkan penjualan kembang api di bulan Ramadan tahun ini yang berbarengan dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan kenaikan anak sekolah. Sebab, pendapatanya mengalami penurunan dari tahun lalu sebesar 50 persen.
Bahkan, kata Soni, 40 lapak yang dibawahinya sekarang hanya sisa 20 lapak. Artinya, daya beli masyarakat untuk kembang api saat ini menurun.
"Memang sih masih untung, tapi ya menurun," ungkapnya yang enggan menyebutkan angka keuntungannya.
Kendati demikian, Soni mengaku optimis, Ramadan kali ini dapat mengejar target penjualan hingga Rp5 miliar. Sebab, saat ini dia juga telah memiliki banyak pesanan di luar kota seperti Batam, dan Papua selain di Bekasi, Depok dan Tangerang.
"Pengiriman ke daerah itu yang bikin omsetnya lumayan, kalau di lapak gini hanya beberapa saja yang beli partai besar," ungkapnya.
Kios Soni yang beratapkan jembatan dengan luas 5x5 meter itu terdapat berbagai jenis dan variasi kembang api yang didapatnya dari importir China. Sebagian besar jenis kembang api yang meletup ke udara, menembak ataupun meroket menghiasa kios Soni.
Mungkin tak ada yang mengira di lapak sekelas kaki lima, Soni juga menyediakan kembang api berkapasitas besar. Biasa digunakan untuk seremonial event besar. Harganya dibandrol Rp4,5-Rp5 juta untuk satu kotak berukuran besar.
Tidak ketinggalan, kembang api klasik yang menggunakan kawat itu tetap ada di lapaknya, meski banyak keluaran terbaru. Hal itu untuk melayani pembeli eceran.
"Di sini juga ada yang daya tembaknya bisa seribu kali, meletup selama kurang lebih 15 menit. Untuk yang lebih besar dari itu pun saya siap melayani," ujar Soni yang menyebutkan modal minimal pembelian dari importir kembang Api sebesar Rp1 miliar.
Sebelah kios Soni, Marifid (45), hanya mengikuti pekerjaan pamannya, Pandji sebagai penjual kembang api. Menurutnya, setiap Ramadan penjualan kembang api di Pasar Asemka kerap diserbu para pembeli dari daerah DKI Jakarta dan sekitarnya. Namun, dia juga melihat adanya penurunan pendapatan dengan adanya Pemilu serta kenaikan anak sekolah.
"Saya sih tidak tahu angkanya secara pasti, tapi kalau dengar bos lagi pembukuan setiap hari, omzet belum sama seperti tahun kemarin," ungkapnya.
Berbagai alasan pun diutarakan bosnya, kata dia, penurunan pendapatan disebabkan oleh pemilu dan kenaikan anak sekolah, dimana banyak pembeli yang sudah pulang kampung untuk memilih dan polisi terus memperketat keamanannya termasuk penjualan kembang api.
Sementara untuk anak sekolah, banyak masyarakat yang lebih memilih untuk membeli perlengkapan sekolah ketimbang berpesta kembang api.
"Untungnya berjualan kembang api ini kan barangnya bisa kembali dijual untuk tahun baru islam, tahun baru masehi dan natal,"kata Fifid yang mendapatkan upah sebesar Rp50.000 per hari saat menjual kembang api.
Pasar yang terletak di bawah jembatan layang ini dipenuhi pedagang musiman mayoritas warga Garut, Jawa Barat. Mereka saling berlomba menarik pembeli dengan berbagai cara. Mulai kualitas sampai promo harga hadir mewarnai strategi penjualan para pedagang musiman tersebut.
"Pembeli rata-rata juga penjual eceran. Untuk itu kami tidak menjual harga mahal dan tidak juga bisa ditawar," kata Muhammad Soni (42), katanya saat ditemui di lapak dagangannya, Jumat 11 Juli 2014.
Pria yang sejak lulus SMA sudah berkecimpung berjualan kembang api itu mengeluhkan penjualan kembang api di bulan Ramadan tahun ini yang berbarengan dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan kenaikan anak sekolah. Sebab, pendapatanya mengalami penurunan dari tahun lalu sebesar 50 persen.
Bahkan, kata Soni, 40 lapak yang dibawahinya sekarang hanya sisa 20 lapak. Artinya, daya beli masyarakat untuk kembang api saat ini menurun.
"Memang sih masih untung, tapi ya menurun," ungkapnya yang enggan menyebutkan angka keuntungannya.
Kendati demikian, Soni mengaku optimis, Ramadan kali ini dapat mengejar target penjualan hingga Rp5 miliar. Sebab, saat ini dia juga telah memiliki banyak pesanan di luar kota seperti Batam, dan Papua selain di Bekasi, Depok dan Tangerang.
"Pengiriman ke daerah itu yang bikin omsetnya lumayan, kalau di lapak gini hanya beberapa saja yang beli partai besar," ungkapnya.
Kios Soni yang beratapkan jembatan dengan luas 5x5 meter itu terdapat berbagai jenis dan variasi kembang api yang didapatnya dari importir China. Sebagian besar jenis kembang api yang meletup ke udara, menembak ataupun meroket menghiasa kios Soni.
Mungkin tak ada yang mengira di lapak sekelas kaki lima, Soni juga menyediakan kembang api berkapasitas besar. Biasa digunakan untuk seremonial event besar. Harganya dibandrol Rp4,5-Rp5 juta untuk satu kotak berukuran besar.
Tidak ketinggalan, kembang api klasik yang menggunakan kawat itu tetap ada di lapaknya, meski banyak keluaran terbaru. Hal itu untuk melayani pembeli eceran.
"Di sini juga ada yang daya tembaknya bisa seribu kali, meletup selama kurang lebih 15 menit. Untuk yang lebih besar dari itu pun saya siap melayani," ujar Soni yang menyebutkan modal minimal pembelian dari importir kembang Api sebesar Rp1 miliar.
Sebelah kios Soni, Marifid (45), hanya mengikuti pekerjaan pamannya, Pandji sebagai penjual kembang api. Menurutnya, setiap Ramadan penjualan kembang api di Pasar Asemka kerap diserbu para pembeli dari daerah DKI Jakarta dan sekitarnya. Namun, dia juga melihat adanya penurunan pendapatan dengan adanya Pemilu serta kenaikan anak sekolah.
"Saya sih tidak tahu angkanya secara pasti, tapi kalau dengar bos lagi pembukuan setiap hari, omzet belum sama seperti tahun kemarin," ungkapnya.
Berbagai alasan pun diutarakan bosnya, kata dia, penurunan pendapatan disebabkan oleh pemilu dan kenaikan anak sekolah, dimana banyak pembeli yang sudah pulang kampung untuk memilih dan polisi terus memperketat keamanannya termasuk penjualan kembang api.
Sementara untuk anak sekolah, banyak masyarakat yang lebih memilih untuk membeli perlengkapan sekolah ketimbang berpesta kembang api.
"Untungnya berjualan kembang api ini kan barangnya bisa kembali dijual untuk tahun baru islam, tahun baru masehi dan natal,"kata Fifid yang mendapatkan upah sebesar Rp50.000 per hari saat menjual kembang api.
(mhd)