Idulfitri: Proses Penyucian Diri dalam Bentuk Kejernihan Berpikir
Jum'at, 21 April 2023 - 13:31 WIB
Ibnu Jarir al-Thabari dalam kitab tafsir al-Thabari berpendapat idulfitri bermakna kepada proses penyucian diri dalam bentuk kejernihan berpikir dan berperilaku dalam keseharian. Dengan demikian, penyucian diri adalah suatu upaya yang sangat ditentukan oleh akhlak , etika sosial dari seorang individu. Artinya, tiap seorang muslim memiliki peran besar dalam melakukan aktualisasi moral dan perannya di masyarakat.
Konsep penyucian diri selama puasa setidaknya berkaitan dengan self-controlling (menahan diri) dari etika yang tercela.
Konsep penyucian diri, di mana ia berfondasi pada self-controlling, senada dengan penyucian diri ala para sufi. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa seorang muslim mengimplementasikan ketaatan pada ranah masyarakat yang ia kembali kepada ketenangan diri. Artinya berbuat baik sesama muslim pada idulfitri tidak lain adalah bentuk dari penyucian diri.
Pada dasarnya makna idul fitri merupakan akumulasi dari kebajikan selama bulan ramadan. Jika seseorang berbuat baik sesama secara istikamah ia akan memperoleh kesenangan diri. Hal ini sebagaimana dituliskan dalam firman Allah SWT “qad aflaha man tazakka”.
Menurut al-Thantawi tentang penjelasan tafsir ayat ini bahwa penyucian diri akan menyebabkan seseorang merasa senang dan bisa membagikan kesenangan kepada orang lain.
Bagai Bayi Baru Lahir
Pakar Tasawuf KH M Luqman Hakim menerangkan, anugerah agung dari Allah SWT ini diperoleh manusia setelah selama satu bulan menjalani puasa Ramadan dengan sebenar-benarnya sehingga memperoleh derajat takwa. Takwa ini kemudian ditingkatkan di hari-hari selanjutnya.
Pendidikan Allah di bulan puasa ialah agar seseorang keluar dari kemelut kegelapan alam asfala safilin kembali ke alam ahsanu taqwim.
“Banyak yang beriman ternyata hanya mimpi dan melamun beriman. Bukti iman itu aktivitas yang saleh bersama Allah menuju Allah Sang Pencipta amal,” jelas Kiai Luqman.
Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muhibbin Caringin, Bogor ini menyatakan, puasa telah menepiskan kebinatangan, kesetanan, jubah-jubah yang membawa seseorang merasa menjadi wakil Tuhan, dan syahwat-syahwat yang jadi hambatan serta menghijab atau menghalangi fitrah dari hakikatnya.
“Makna sejati bagai bayi suci (thiflul ma'ani) segera lahir kembali dari kandungan Cahaya Muhammad, akal sejati, ruh, dan alqolam,” ucap Direktur Sufi Center Jakarta ini.
Menurut Kiai Luqman, mereka yang tak kembali ke fitri hanya meraih hebatnya kegelapan yang diyakini kebajikan. Mereka deklarasikan kemaslahatan yang sebenarnya justru khancuran.
Mereka seperti mayat hidup tanpa ruh yang mengerikan. Mereka mengaku penegak agama tapi tak lebih seperti dajjal kecil penjual agama. “Takbiri nafsumu, takbiri duniawimu, takbiri setanmu dan iblismu, takbir akhiratmu, takbiri segala hal selain Allah. Engkau sudah di hadapan-Nya,” tuturnya.
Penulis buku Jalan Ma’rifat ini mengatakan, kemana pun seseorang menghadap, di sanalah Wajah Allah. Sampai manusia tak memandang sebesar dzarrah pun kecuali ada Allah, di balik, sebelum, sesudah, di atasnya, maupun di bawahnya. “Maka siapa pun yang di dunia matahatinya buta, di akhirat lebih buta lagi,” jelasnya.
Pesta fitrah berarti kemenangan melawan diri sendiri, setelah setahun akunya Iblis dan akunya Fir'aun menguasai ego manusia, dalam pengembangan SDM khayal imajiner: Aku bisa, aku kuat, aku hebat, aku berdaya, aku kuasa, aku lebih baik, dan berujung akulah Tuhanmu.
Seseorang yang kembali ke fitri ialah: bagai bayi di pangkuan ibunda tak bertanya, bagai bidadari suci dan perawan dari nafsani, bagai kertas putih biarkan Pena-Nya menulis, bagai kanvas biarkan Kuas-Nya melukis, bagai sunyi biarkan Kalam-Nya berbunyi, tak ada khayal dan imaji, tak ada hasrat dan cita. “Hanya Allah semata,” tandasnya.
Kembali Makan
Konsep penyucian diri selama puasa setidaknya berkaitan dengan self-controlling (menahan diri) dari etika yang tercela.
Konsep penyucian diri, di mana ia berfondasi pada self-controlling, senada dengan penyucian diri ala para sufi. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa seorang muslim mengimplementasikan ketaatan pada ranah masyarakat yang ia kembali kepada ketenangan diri. Artinya berbuat baik sesama muslim pada idulfitri tidak lain adalah bentuk dari penyucian diri.
Pada dasarnya makna idul fitri merupakan akumulasi dari kebajikan selama bulan ramadan. Jika seseorang berbuat baik sesama secara istikamah ia akan memperoleh kesenangan diri. Hal ini sebagaimana dituliskan dalam firman Allah SWT “qad aflaha man tazakka”.
Menurut al-Thantawi tentang penjelasan tafsir ayat ini bahwa penyucian diri akan menyebabkan seseorang merasa senang dan bisa membagikan kesenangan kepada orang lain.
Bagai Bayi Baru Lahir
Pakar Tasawuf KH M Luqman Hakim menerangkan, anugerah agung dari Allah SWT ini diperoleh manusia setelah selama satu bulan menjalani puasa Ramadan dengan sebenar-benarnya sehingga memperoleh derajat takwa. Takwa ini kemudian ditingkatkan di hari-hari selanjutnya.
Pendidikan Allah di bulan puasa ialah agar seseorang keluar dari kemelut kegelapan alam asfala safilin kembali ke alam ahsanu taqwim.
“Banyak yang beriman ternyata hanya mimpi dan melamun beriman. Bukti iman itu aktivitas yang saleh bersama Allah menuju Allah Sang Pencipta amal,” jelas Kiai Luqman.
Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muhibbin Caringin, Bogor ini menyatakan, puasa telah menepiskan kebinatangan, kesetanan, jubah-jubah yang membawa seseorang merasa menjadi wakil Tuhan, dan syahwat-syahwat yang jadi hambatan serta menghijab atau menghalangi fitrah dari hakikatnya.
“Makna sejati bagai bayi suci (thiflul ma'ani) segera lahir kembali dari kandungan Cahaya Muhammad, akal sejati, ruh, dan alqolam,” ucap Direktur Sufi Center Jakarta ini.
Menurut Kiai Luqman, mereka yang tak kembali ke fitri hanya meraih hebatnya kegelapan yang diyakini kebajikan. Mereka deklarasikan kemaslahatan yang sebenarnya justru khancuran.
Mereka seperti mayat hidup tanpa ruh yang mengerikan. Mereka mengaku penegak agama tapi tak lebih seperti dajjal kecil penjual agama. “Takbiri nafsumu, takbiri duniawimu, takbiri setanmu dan iblismu, takbir akhiratmu, takbiri segala hal selain Allah. Engkau sudah di hadapan-Nya,” tuturnya.
Penulis buku Jalan Ma’rifat ini mengatakan, kemana pun seseorang menghadap, di sanalah Wajah Allah. Sampai manusia tak memandang sebesar dzarrah pun kecuali ada Allah, di balik, sebelum, sesudah, di atasnya, maupun di bawahnya. “Maka siapa pun yang di dunia matahatinya buta, di akhirat lebih buta lagi,” jelasnya.
Pesta fitrah berarti kemenangan melawan diri sendiri, setelah setahun akunya Iblis dan akunya Fir'aun menguasai ego manusia, dalam pengembangan SDM khayal imajiner: Aku bisa, aku kuat, aku hebat, aku berdaya, aku kuasa, aku lebih baik, dan berujung akulah Tuhanmu.
Seseorang yang kembali ke fitri ialah: bagai bayi di pangkuan ibunda tak bertanya, bagai bidadari suci dan perawan dari nafsani, bagai kertas putih biarkan Pena-Nya menulis, bagai kanvas biarkan Kuas-Nya melukis, bagai sunyi biarkan Kalam-Nya berbunyi, tak ada khayal dan imaji, tak ada hasrat dan cita. “Hanya Allah semata,” tandasnya.
Kembali Makan