Soal Lebaran Ikut Saja Ulil Amri, Siapa Sejatinya Ulil Amri Itu?
Sabtu, 22 April 2023 - 09:25 WIB
"Soal lebaran kami ikut ulil amri ," tutur warganet, merujuk memilih menaati keputusan pemerintah yang mengumumkan lebaran 2023 pada Sabtu, 22 April 2023. Lalu siapa sejatinya ulil amri itu? Benarkan itu yang dimaksud adalah pemerintah?
Surat An-Nisa ayat 59 memang memberi perintah kepada kita kepada siapa kita harus taat. Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن
تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." ( QS An-Nisa : 59).
Sayyid Qutubdalam kitab Tafsir fi Dzilalil Qur’an mengatakan pada surat An-Nisa’ ayat 59, Allah SWT menjelaskan syarat iman dan batasan Islam. Dalam waktu yang sama dijelaskan pulalah kaidah Nidzam Asasi (peraturan pokok) bagi kaum muslimin, kaidah hukum dan sumber kekuasaan. Semuanya diawali dan diakhiri dengan menerimanya dari Allah saja, dan kembali kepadaNya saja mengenai hal-hal yang tidak ada nashnya.
Seperti urusan-urusan parsial yang terjadi dalam kehidupan manusia sepanjang perjalanan dan dalam generasi yang berbeda-beda pemikiran dan pemahaman dalam menanggapinya. Untuk itu semua, diperlukanlah timbangan yang mantab agar menjadi tempat kembalinya akal, pikiran, dan pemahaman mereka.
Sayyid Qutub mengatakan Allah SWT wajib ditaati di antara hak prerogatif uluhiyah ialah dalam menetapkan Syariat. Maka syariat Allah wajib dilaksanakan.
Orang-orang yang beriman wajib taat pula kepada Rasulullah SAW karena tugasnya adalah mengemban risalah dari Allah, karena itu menaati Rasulullah berarti menaati Allah. Dan Allah telah mengutus Rasul untuk membawa syariat dan menjelaskannya kepada manusia di dalam Sunahnya.
Sunah dan keputusan beliau dalam hal ini adalah bagian dari Syariat Allah yang wajib dilaksanakan. Iman itu ada atau tidaknya tergantung pada ketaatan dan pelaksanaan syariat ini.
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa selain taat kepada Allah SWT, RasulNya, dan juga ulil amri.
Hal ini membuktikan bahwa Allah pun mendukung ulil amri berhak untuk ditaati. Akan tetapi konteks pemaknaan ulil amri ini menyebabkan adanya perbedaan pendapat dari kalangan mufassir.
Menurut Sayid Qutub , ulil amri ialah seseorang yang ada di kalangan orang mukmin sendiri, yang telah memenuhi syarat iman dan batasan Islam yang dijelaskan dalam ayat itu, serta taat kepada Allah dan Rasul, dan juga yang mengesakan Allah SWT sebagai pemilik kedaulatan hukum dan hak membuat syariat bagi seluruh manusia, maka dia bisa datang dari kalangan ulama.
Sedangkan Quraish Shihab dalam tafsir Misbah berpendapat ulil amri ialah tidak harus orang yang mampu memimpin lembaga atau instasi, akan tetapi bisa jadi dia adalah perorangan yang memiliki tujuh syarat ulil amri.
Tujuh syarat tersebut ialah, muslim, laki-laki, merdeka, berakal, baligh, adil, dan berkemampuan (ahlul kifaah wa al qudrah). Maka, ulil amri ini bisa dia adalah seorang polisi yang mengemban tugas mengatur lalu lintas, dengan begitu polisi perlu juga untuk di taati.
Tafsir at-Thabari yang ditulis Abu Jafar Muhammad bin Jarir at-Thabari memang menyebutkan bahwa para ahli ta’wil berbeda pandangan mengenai arti ulil amri. Satu kelompok ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah umara. Ulama lain berpendapat mereka adalah ahlul ilmi wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan fiqih).
Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi menyebutkan bahwa ulil amri itu adalah umara, ahli hikmah, ulama, pemimpin pasukan dan seluruh pemimpin lainnya dan zuama yang manusia merujuk kepada mereka dalam hal kebutuhan dan kemaslahatan umum.
Surat An-Nisa ayat 59 memang memberi perintah kepada kita kepada siapa kita harus taat. Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن
تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." ( QS An-Nisa : 59).
Sayyid Qutubdalam kitab Tafsir fi Dzilalil Qur’an mengatakan pada surat An-Nisa’ ayat 59, Allah SWT menjelaskan syarat iman dan batasan Islam. Dalam waktu yang sama dijelaskan pulalah kaidah Nidzam Asasi (peraturan pokok) bagi kaum muslimin, kaidah hukum dan sumber kekuasaan. Semuanya diawali dan diakhiri dengan menerimanya dari Allah saja, dan kembali kepadaNya saja mengenai hal-hal yang tidak ada nashnya.
Seperti urusan-urusan parsial yang terjadi dalam kehidupan manusia sepanjang perjalanan dan dalam generasi yang berbeda-beda pemikiran dan pemahaman dalam menanggapinya. Untuk itu semua, diperlukanlah timbangan yang mantab agar menjadi tempat kembalinya akal, pikiran, dan pemahaman mereka.
Sayyid Qutub mengatakan Allah SWT wajib ditaati di antara hak prerogatif uluhiyah ialah dalam menetapkan Syariat. Maka syariat Allah wajib dilaksanakan.
Orang-orang yang beriman wajib taat pula kepada Rasulullah SAW karena tugasnya adalah mengemban risalah dari Allah, karena itu menaati Rasulullah berarti menaati Allah. Dan Allah telah mengutus Rasul untuk membawa syariat dan menjelaskannya kepada manusia di dalam Sunahnya.
Sunah dan keputusan beliau dalam hal ini adalah bagian dari Syariat Allah yang wajib dilaksanakan. Iman itu ada atau tidaknya tergantung pada ketaatan dan pelaksanaan syariat ini.
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa selain taat kepada Allah SWT, RasulNya, dan juga ulil amri.
Hal ini membuktikan bahwa Allah pun mendukung ulil amri berhak untuk ditaati. Akan tetapi konteks pemaknaan ulil amri ini menyebabkan adanya perbedaan pendapat dari kalangan mufassir.
Menurut Sayid Qutub , ulil amri ialah seseorang yang ada di kalangan orang mukmin sendiri, yang telah memenuhi syarat iman dan batasan Islam yang dijelaskan dalam ayat itu, serta taat kepada Allah dan Rasul, dan juga yang mengesakan Allah SWT sebagai pemilik kedaulatan hukum dan hak membuat syariat bagi seluruh manusia, maka dia bisa datang dari kalangan ulama.
Sedangkan Quraish Shihab dalam tafsir Misbah berpendapat ulil amri ialah tidak harus orang yang mampu memimpin lembaga atau instasi, akan tetapi bisa jadi dia adalah perorangan yang memiliki tujuh syarat ulil amri.
Tujuh syarat tersebut ialah, muslim, laki-laki, merdeka, berakal, baligh, adil, dan berkemampuan (ahlul kifaah wa al qudrah). Maka, ulil amri ini bisa dia adalah seorang polisi yang mengemban tugas mengatur lalu lintas, dengan begitu polisi perlu juga untuk di taati.
Tafsir at-Thabari yang ditulis Abu Jafar Muhammad bin Jarir at-Thabari memang menyebutkan bahwa para ahli ta’wil berbeda pandangan mengenai arti ulil amri. Satu kelompok ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah umara. Ulama lain berpendapat mereka adalah ahlul ilmi wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan fiqih).
Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi menyebutkan bahwa ulil amri itu adalah umara, ahli hikmah, ulama, pemimpin pasukan dan seluruh pemimpin lainnya dan zuama yang manusia merujuk kepada mereka dalam hal kebutuhan dan kemaslahatan umum.