Memaknai Keberkahan Ramadan (Tamat): 7 Pelajaran Berharga
Jum'at, 05 Mei 2023 - 18:18 WIB
Imam Shamsi Ali
Direktur Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation
Jumat, 21 April disepakati oleh Komunitas Muslim Amerika sebagai hari Idul Fitri. Baik yang memakai Mazhab ra'yi, lokal atau global, maupun yang memilih mazhab hisab atau kalkulasi sepakat bahwa hari itu adalah awal dari bulan Syawal. Sekaligus dipahami bahwa sehari sebelumnya adalah hari terakhir Ramadan. Maka hari itu (Jumat) adalah hari perayaan Idul Fitri.
Sebagaimana penentuan awal Ramadan, penentuan akhir Ramadan juga masih menjadi obyek perdebatan. Tapi kali ini nampaknya perdebatan itu hampir tidak ada. Seingat saya tidak satupun komunitas (masjid) di Amerika yang melakukan Idul Fitri pada hari selain Jumat.
Tapi bukan itu yang ingin saya sampaikan kali ini. Justru karena ini adalah catatan terakhir dari Ramadan tahun ini saya ingin menyampaikan beberapa kesimpulan penting dari "lessons learnt from Ramadan" (duruus Ramadhoniyah) yang telah berlangsung selama 29 hari itu. Saya menyebutnya pelajaran karena sejatinya Ramadan adalah madrasah totalitas bagi kita semua. Madrasah fisikal-material, madrasah intellektual, dan yang terpenting adalah madrasah spiritualitas dan khuluqiuah.
Pelajaran-pelajaran ini sekaligus menjadi poin-poin utama yang telah saya sampaikan pada khutbah Idul Fitri di daerah Jamaica Queens, New York. Menurut catatan sebagian, Idul Fitri Jamaica merupakan salah satu Idul Fitri terbesar di kota dunia ini. Sekitar 15.000 jamaah berkumpul di lapangan Sekolah Thomas Edison pagi itu.
Pelajaran-pelajaran Ramadan
Ada tujuan pelajaran penting yang saya sampaikan di khutbah Idul Fitri itu sebagai kesimpulan dari hasil madrasah Ramadhoniyah kali ini.
Pertama, bahwa Ramadan telah menjadi bulan keimanan (syahrul iman). Relasi antara puasa dan iman telah kita sampaikan beberapa waktu lalu. Yang ingin saya tekankan kali ini adalah bahwa dengan puasa Ramadan ini harusnya kita mampu mentransformasi keimanan kita dari keimanan yang pasif menjadi keimanan yang aktif. Keimanan yang sekedar kuat di rasa dan emosi menjadi keimanan yang solid membangun realita hidup.
Keimanan yang aktif itulah yang akan melahirkan berbagai karya (inovasi) kehidupan dalam berbagai bentuk dan pada segala levelnya. Baik pada aspek ritual ubudiyah maupun pada aspek mu'amalat sosial. Baik pada tingkatan personal maupun pada tingakatan kolektif (publik).
Salah satu makna keimanan yang aktif adalah kemampuan membangun rasa percaya diri (self trust) yang tinggi dalam menghadapi segala bentuk hiruk pikuk dan pergerakan kehidupan. Percaya diri seorang Muslim bukan karena perasaan superman. Tapi karena memiliki pegangan yang sangat kuat dalam menjalani kehidupan. Itulah yang disebut dengan al-'urwatul Wutsqo dalam Al-Qur'an.
Dengan self rust yang dimiliki oleh umat ini akan mengurangi rasa inferioritas perasaan minder) yang menjadi penyebab terjadinya ketakutan kepada selain Allah (termasuk so called world powers). Sekaligus mendorong untuk melakukan pembenahan diri dari segala ketertinggalan yang dialami umat ini dalam waktu yang sangat panjang.
Kedua, bahwa bulan Ramadan telah menjadi bulan hidayah (syahrul hidayah). Bulan diturunkannya Al-Qur'an untuk menjadi petunjuk bagi manusia (hudan linnaas). Dengan kenyataan ini tentu Ramadan telah mentransformasi kehidupan kita dari kehidupan yang tidak jelas menjadi kehidupan yang jelas. Dari kehidupan yang tidak menentu (confusion) menjadi kehidupan yang menentu (certainty).
Hidayah yang menjadi dasar keimanan harusnya juga tertransformasi dari hidayah pasif dalam hati dan rasa (emosi dan sentimen), dari tingkatan pemahaman (akal atau ilmu) menjadi hidayah aktif yang membawa kita kepada langkah-langkah kehidupan yang jelas.
Seperti yang pernah disampaikan, dunia kita penuh dengan paradoks. Manusia merasa pintar dan berilmu tapi semakin jahil dan bodoh dalam sikap dan prilaku. Manusia memiliki posesi (kepemilikan) yang banyak. Tapi manusia justeru semakin merasa khawatir dan kurang dalam hidupnya dari ke hari. Semakin banyak rumah sakit dan produksi obat-obatan. Semakin banyak pula orang yang sakit dan semakin ragam penyakit yang timbul. Demikian seterusnya.
Dengan situasi kehidupan manusia seperti inilah sejatinya hidayah hadir untuk mengarahkan kembali ke arah yang benar dan baik. Hidayah pada esensi ini dimaknai sebagai direction of life. Sehingga kehidupan manusia tidak saja jelas arahnya. Tapi juga memilki makna atau nilai yang tinggi. Nilai yang akan menjadi bekal kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di Akhirat.
Ketiga, bahwa bulan Ramadan telah menjadi bulan Ihsan. Ramadan mentransformasi hidup menusia dari hidup yang bertendensi egoistik menjadi hidup yang memiliki tendensi ihsan atau nilai-nilai kebaikan.
Ihsan adalah tingkatan tertinggi dari religiositas seseorang. Dari kesadaran Islam, terbangun iman, dan pada akhirnya tumbuh nilai ihsan dalam kehidupan. Ihsan itu memiliki dua sisi. Ada sisi vertikal. Yaitu terbangunnya kesadaran bersama Allah dalam setiap detak pergerakan nadi (an ta'budallah kaanaka taraahu...). Lalu ada sisi horizontalnya. Yaitu kesadaran jiwa untuk melakukan dan menyebarkan kebaikan kepada sesama makhluk Allah SWT.
Ramadan telah mentransformasi manusia menjadi insan-insan ihsan. Baik pada tataran vertikal dengan hati dan jiwa yang semakin sensitif dengan Al-Ma'iyah billah (kebersamaan dengan Allah). Dan tentunya juga pada tataran horizontal dengan terbangunnya kesadaran untuk terus berbuat baik kepada semua makhluk Allah SWT.
Direktur Jamaica Muslim Center
Presiden Nusantara Foundation
Jumat, 21 April disepakati oleh Komunitas Muslim Amerika sebagai hari Idul Fitri. Baik yang memakai Mazhab ra'yi, lokal atau global, maupun yang memilih mazhab hisab atau kalkulasi sepakat bahwa hari itu adalah awal dari bulan Syawal. Sekaligus dipahami bahwa sehari sebelumnya adalah hari terakhir Ramadan. Maka hari itu (Jumat) adalah hari perayaan Idul Fitri.
Sebagaimana penentuan awal Ramadan, penentuan akhir Ramadan juga masih menjadi obyek perdebatan. Tapi kali ini nampaknya perdebatan itu hampir tidak ada. Seingat saya tidak satupun komunitas (masjid) di Amerika yang melakukan Idul Fitri pada hari selain Jumat.
Tapi bukan itu yang ingin saya sampaikan kali ini. Justru karena ini adalah catatan terakhir dari Ramadan tahun ini saya ingin menyampaikan beberapa kesimpulan penting dari "lessons learnt from Ramadan" (duruus Ramadhoniyah) yang telah berlangsung selama 29 hari itu. Saya menyebutnya pelajaran karena sejatinya Ramadan adalah madrasah totalitas bagi kita semua. Madrasah fisikal-material, madrasah intellektual, dan yang terpenting adalah madrasah spiritualitas dan khuluqiuah.
Pelajaran-pelajaran ini sekaligus menjadi poin-poin utama yang telah saya sampaikan pada khutbah Idul Fitri di daerah Jamaica Queens, New York. Menurut catatan sebagian, Idul Fitri Jamaica merupakan salah satu Idul Fitri terbesar di kota dunia ini. Sekitar 15.000 jamaah berkumpul di lapangan Sekolah Thomas Edison pagi itu.
Pelajaran-pelajaran Ramadan
Ada tujuan pelajaran penting yang saya sampaikan di khutbah Idul Fitri itu sebagai kesimpulan dari hasil madrasah Ramadhoniyah kali ini.
Pertama, bahwa Ramadan telah menjadi bulan keimanan (syahrul iman). Relasi antara puasa dan iman telah kita sampaikan beberapa waktu lalu. Yang ingin saya tekankan kali ini adalah bahwa dengan puasa Ramadan ini harusnya kita mampu mentransformasi keimanan kita dari keimanan yang pasif menjadi keimanan yang aktif. Keimanan yang sekedar kuat di rasa dan emosi menjadi keimanan yang solid membangun realita hidup.
Keimanan yang aktif itulah yang akan melahirkan berbagai karya (inovasi) kehidupan dalam berbagai bentuk dan pada segala levelnya. Baik pada aspek ritual ubudiyah maupun pada aspek mu'amalat sosial. Baik pada tingkatan personal maupun pada tingakatan kolektif (publik).
Salah satu makna keimanan yang aktif adalah kemampuan membangun rasa percaya diri (self trust) yang tinggi dalam menghadapi segala bentuk hiruk pikuk dan pergerakan kehidupan. Percaya diri seorang Muslim bukan karena perasaan superman. Tapi karena memiliki pegangan yang sangat kuat dalam menjalani kehidupan. Itulah yang disebut dengan al-'urwatul Wutsqo dalam Al-Qur'an.
Dengan self rust yang dimiliki oleh umat ini akan mengurangi rasa inferioritas perasaan minder) yang menjadi penyebab terjadinya ketakutan kepada selain Allah (termasuk so called world powers). Sekaligus mendorong untuk melakukan pembenahan diri dari segala ketertinggalan yang dialami umat ini dalam waktu yang sangat panjang.
Kedua, bahwa bulan Ramadan telah menjadi bulan hidayah (syahrul hidayah). Bulan diturunkannya Al-Qur'an untuk menjadi petunjuk bagi manusia (hudan linnaas). Dengan kenyataan ini tentu Ramadan telah mentransformasi kehidupan kita dari kehidupan yang tidak jelas menjadi kehidupan yang jelas. Dari kehidupan yang tidak menentu (confusion) menjadi kehidupan yang menentu (certainty).
Hidayah yang menjadi dasar keimanan harusnya juga tertransformasi dari hidayah pasif dalam hati dan rasa (emosi dan sentimen), dari tingkatan pemahaman (akal atau ilmu) menjadi hidayah aktif yang membawa kita kepada langkah-langkah kehidupan yang jelas.
Seperti yang pernah disampaikan, dunia kita penuh dengan paradoks. Manusia merasa pintar dan berilmu tapi semakin jahil dan bodoh dalam sikap dan prilaku. Manusia memiliki posesi (kepemilikan) yang banyak. Tapi manusia justeru semakin merasa khawatir dan kurang dalam hidupnya dari ke hari. Semakin banyak rumah sakit dan produksi obat-obatan. Semakin banyak pula orang yang sakit dan semakin ragam penyakit yang timbul. Demikian seterusnya.
Dengan situasi kehidupan manusia seperti inilah sejatinya hidayah hadir untuk mengarahkan kembali ke arah yang benar dan baik. Hidayah pada esensi ini dimaknai sebagai direction of life. Sehingga kehidupan manusia tidak saja jelas arahnya. Tapi juga memilki makna atau nilai yang tinggi. Nilai yang akan menjadi bekal kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di Akhirat.
Ketiga, bahwa bulan Ramadan telah menjadi bulan Ihsan. Ramadan mentransformasi hidup menusia dari hidup yang bertendensi egoistik menjadi hidup yang memiliki tendensi ihsan atau nilai-nilai kebaikan.
Ihsan adalah tingkatan tertinggi dari religiositas seseorang. Dari kesadaran Islam, terbangun iman, dan pada akhirnya tumbuh nilai ihsan dalam kehidupan. Ihsan itu memiliki dua sisi. Ada sisi vertikal. Yaitu terbangunnya kesadaran bersama Allah dalam setiap detak pergerakan nadi (an ta'budallah kaanaka taraahu...). Lalu ada sisi horizontalnya. Yaitu kesadaran jiwa untuk melakukan dan menyebarkan kebaikan kepada sesama makhluk Allah SWT.
Ramadan telah mentransformasi manusia menjadi insan-insan ihsan. Baik pada tataran vertikal dengan hati dan jiwa yang semakin sensitif dengan Al-Ma'iyah billah (kebersamaan dengan Allah). Dan tentunya juga pada tataran horizontal dengan terbangunnya kesadaran untuk terus berbuat baik kepada semua makhluk Allah SWT.