Syarat-syarat Syar'i untuk Wanita yang Boleh Mengasuh Anak
Selasa, 20 Juni 2023 - 10:25 WIB
Umumnya mengasuh anak dilakukan oleh kaum wanita, baik untuk anak kandungnya maupun anak orang lain. Dalam Islam, seorang wanita yang akan mengasuh anak, ternyata ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Jika salah satu syarat ini tidak terpenuhi maka gugurlah haknya dalam mengasuh sang anak.
Dikutip dari kitab 'Ittihaafu Uli Al-Albab Bihuquuqi Ath-Thifli Wa Ahkamihi fi Su-ali Wa Jawab' karya Abu Abdullah Ahmad bin Ahmad Al-‘Isawi, dijelaskan bahwa syarat mengasuh anak ini terbagi dua, ada syarat yang sudah disepakati oleh para ulama dan ada juga syarat yang masih diperselisihkan.
Berikut syarat-syarat yang harus dipenuhi wanita yang akan mengasuh anak beserta penjelasannya:
“Kamu lebih berhak terhadap bayimu selama kamu belum menikah.” (HR. Abu Daud).
Tentunya hal ini jika ada kerabat bayi yang menggugat hak asuh wanita tersebut. Jika tidak ada kerabat bayi yang menggugatnya dan suaminya rela anak tersebut diasuh di rumahnya maka wanita itu boleh mengasuhnya.
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisa` : 14).
Dikhawatirkan anak yang diasuh akan tumbuh di atas agama dan pendidikan agama pengasuh kafir tersebut, sehingga setelah besar nanti sulit baginya untuk kembali ke Islam. Ini merupakan bahaya terbesar yang menimpa anak tersebut.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wasallam pernah bersabda,
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Syarat ini tidak disepakati oleh Madzhab Hanafi, Ibnul Qaasim dari madzhab Maliki dan Abu Tsaur.
Ibnul Qayyim berkata, “Pendapat yang benar dan dapat dipastikan bahwa takwa tidak termasuk syarat dalam pengasuhan, dan ini merupakan persyaratan yang sangat jauh. Seandainya takwa menjadi syarat dalam pengasuhan tentunya akan banyak sekali anak-anak yang tersia-siakan, karena ini merupakan syarat yang sulit dipenuhi oleh umat Islam.
Sejak munculnya islam hingga hari kiamat kelak, anak-anak orang fasiq tetap berada di bawah pengasuhan mereka dan tidak ada seorangpun di dunia ini yang bisa menggugat hak asuh mereka, padahal penduduk dunia ini mayoritasnya dari kalangan mereka.
Apakah pernah terjadi dalam sejarah Islam ada seseorang yang menggugat hak asuh seorang anak dari kedua tuanya atau salah satu dari orang tuanya karena alasan fasiq. Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam serta para sahabatnya tidak pernah melarang seorang fasiq menjaga dan mengasuh anaknya. Malah realitanya seorang ayah walaupun ia fasiq tetap berusaha untuk mengasuh anaknya dan tidak menyia-nyiakannya bahkan mengusahakan kebaikan untuk anak.
Meskipun ada juga yang nyeleneh dalam mengasuh anaknya, namun hal itu jarang terjadi. Jadi, syariat cukup menyerahkan masalah pengasuhan pada naluri bawaan. Apabila syariat menghapus hak asuh dan hak perwalian nikah terhadap orang-orang fasiq tentunya syariat telah menjelaskan tentang penghapusan hak ini, karena hal ini termasuk perkara yang terpenting untuk umat, dan tentu praktiknya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Untuk syarat keenam dan ketujuh, sebagian ulama tidak menyetujuinya sebagai syarat mengasuh anak.
Wallahu A'lam
Dikutip dari kitab 'Ittihaafu Uli Al-Albab Bihuquuqi Ath-Thifli Wa Ahkamihi fi Su-ali Wa Jawab' karya Abu Abdullah Ahmad bin Ahmad Al-‘Isawi, dijelaskan bahwa syarat mengasuh anak ini terbagi dua, ada syarat yang sudah disepakati oleh para ulama dan ada juga syarat yang masih diperselisihkan.
Berikut syarat-syarat yang harus dipenuhi wanita yang akan mengasuh anak beserta penjelasannya:
1. Berakal
Orang idiot dan gila tidak boleh diberi hak pengasuhan, karena dirinya saja tidak sanggup ia urus, bagaimana mungkin bisa mengurus orang lain.2. Telah Baligh
Anak kecil yang sudah sampai pada usia mumayyiz (sekitar 7 tahun) masih membutuhkan orang lain untuk mengasuh dan merawatnya. Oleh karena itu, ia tidak boleh diberi tugas untuk mengasuh dan merawat orang lain.3. Mampu mengasuh
Tidak ada hak pengasuhan atas wanita buta atau penglihatannya sudah lemah atau wanita pengidap penyakit menular, atau penyakit yang membuatnya lemah untuk melakukan tugas pengasuhan, atau wanita renta yang membutuhkan pertolongan orang lain, atau wanita yang tidak peduli terhadap urusan rumahnya dan sering meninggalkan rumah.4. Belum menikah
Apabila wanita tersebut telah menikah maka gugurlah hak asuhnya sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wasallam,أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِيْ
“Kamu lebih berhak terhadap bayimu selama kamu belum menikah.” (HR. Abu Daud).
Tentunya hal ini jika ada kerabat bayi yang menggugat hak asuh wanita tersebut. Jika tidak ada kerabat bayi yang menggugatnya dan suaminya rela anak tersebut diasuh di rumahnya maka wanita itu boleh mengasuhnya.
5. Beragama Islam
Anak seorang muslim tidak boleh diasuh oleh wanita yang kafir, karena pengasuhan sama seperti perwalian dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan hak perwalian kepada orang yang kafir. Allah berfirman,وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisa` : 14).
Dikhawatirkan anak yang diasuh akan tumbuh di atas agama dan pendidikan agama pengasuh kafir tersebut, sehingga setelah besar nanti sulit baginya untuk kembali ke Islam. Ini merupakan bahaya terbesar yang menimpa anak tersebut.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wasallam pernah bersabda,
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Syarat ini tidak disepakati oleh Madzhab Hanafi, Ibnul Qaasim dari madzhab Maliki dan Abu Tsaur.
6. Merdeka
Sebagian ulama yang bermadzhab Asy-Syafii, Hambali dan Maliki berpendapat bahwa seorang hamba telah menghabiskan waktunya untuk memenuhi hak tuannya, dengan begitu ia tidak akan bisa serius dalam mengasuh anak.7. Takwa
Ulama yang bermazhab Hambali, Asy-Syaafi’i dan lain-lain menambahkan syarat ini. Sebab orang yang fasiq tidak boleh diberi amanah untuk merawat anak karena disangsikan ia tidak bisa melaksanakan kewajiban-kewajibannya dalam mengasuh anak. Boleh jadi si anak akan tumbuh dewasa dengan perangai seperti perangai pengasuhnya yang buruk.Ibnul Qayyim berkata, “Pendapat yang benar dan dapat dipastikan bahwa takwa tidak termasuk syarat dalam pengasuhan, dan ini merupakan persyaratan yang sangat jauh. Seandainya takwa menjadi syarat dalam pengasuhan tentunya akan banyak sekali anak-anak yang tersia-siakan, karena ini merupakan syarat yang sulit dipenuhi oleh umat Islam.
Sejak munculnya islam hingga hari kiamat kelak, anak-anak orang fasiq tetap berada di bawah pengasuhan mereka dan tidak ada seorangpun di dunia ini yang bisa menggugat hak asuh mereka, padahal penduduk dunia ini mayoritasnya dari kalangan mereka.
Apakah pernah terjadi dalam sejarah Islam ada seseorang yang menggugat hak asuh seorang anak dari kedua tuanya atau salah satu dari orang tuanya karena alasan fasiq. Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam serta para sahabatnya tidak pernah melarang seorang fasiq menjaga dan mengasuh anaknya. Malah realitanya seorang ayah walaupun ia fasiq tetap berusaha untuk mengasuh anaknya dan tidak menyia-nyiakannya bahkan mengusahakan kebaikan untuk anak.
Meskipun ada juga yang nyeleneh dalam mengasuh anaknya, namun hal itu jarang terjadi. Jadi, syariat cukup menyerahkan masalah pengasuhan pada naluri bawaan. Apabila syariat menghapus hak asuh dan hak perwalian nikah terhadap orang-orang fasiq tentunya syariat telah menjelaskan tentang penghapusan hak ini, karena hal ini termasuk perkara yang terpenting untuk umat, dan tentu praktiknya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Untuk syarat keenam dan ketujuh, sebagian ulama tidak menyetujuinya sebagai syarat mengasuh anak.
Wallahu A'lam
(wid)