Badal Haji : Pengertian, Syarat dan Hukum
Kamis, 29 Juni 2023 - 16:24 WIB
Pengertian tentang Badal Haji perlu dipahami oleh setiap umat muslim, supaya dalam prakteknya nanti sesuaai dengan hukum yang berlaku dan tidak salah kaprah. Badal Haji merupakan kegiatan menghajikan orang yang belum haji karena tidak mampu secara fisik. Seperti terkena penyakit atau meninggal sebelum menunaikan ibadah tersebut.
Badal Haji ini umumnya dilakukan untuk mewakilkan atau menggantikan jemaah haji yang uzur secara jasmani dan rohani sehingga tidak dapat melaksanakan wukuf di Arafah .
Hadits yang berkaitan dengan badal haji ini salah satunya adalah riwayat dari Bukhari dan Muslim sebagai berikut.
"Dari Ibnu Abbas dari Al-Fadl: Seorang perempuan dari kabilah Khats'am bertanya kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji, tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?' Jawab Rasulullah: Kalau begitu lakukanlah haji untuk dia!"
Itulah mengapa badal haji ini diperbolehkan untuk dilakukan. Namun mewakili orang untuk menjalankan ibadah haji tidak boleh sembarangan dan harus sesuai syariat.
Syarat dan Hukum Badal Haji (H2)
Pada dasarnya empat ulama besar sepakat bahwa seseorang yang akan melakukan badal haji harus pernah menjalankan ibadah haji terlebih dahulu. Karena, bila belum menjalankan haji untuk dirinya, orang yang melakukan badal haji ini akan berdosa.
Hal tersebut berlandaskan hadits riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah berikut.
"Dari Ibnu Abbas pada saat melaksanakan haji, Rasulullah SAW mendengar seorang lelaki berkata, 'Labbaika 'an Syubrumah' Lalu Rasulullah bertanya, 'Siapa Syubrumah?' Lalu dijawab, 'Dia saudaraku atau kerabatku, wahai Rasulullah', jawab lelaki itu. 'Apakah kamu sudah pernah haji?' Rasulullah bertanya. 'Belum' jawabnya. 'Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubrumah' lanjut Rasulullah."
Untuk pelaksanaan badal haji sendiri sebenarnya sama seperti ibadah haji biasa. Hal yang membedakan antara keduanya adalah niat. Seseorang yang melaksanakan badal haji harus niat badal untuk seseorang (al hajju ‘an).
Terkait miqat badal haji, para fuqaha berbeda pendapat dalam menentukan batasannya. Mazhab Hanbali berpendapat bahwa orang yang membadalkan haji, wajib memulai ihramnya dari miqat negeri orang yang dibadalkan, kecuali biaya untuk badal haji tidak mencukupi, maka boleh dari miqat mana saja yang mudah.
Imam Atha’ bin Rabah berpendapat, jika orang yang nazar tidak berniat dari suatu tempat, maka orang yang akan membadalkan haji dapat memulai niat ihram dari miqatnya.
Sedangkan Imam Syafi’i menyatakan bahwa orang yang berkewajiban haji pertama kali (hujjatul Islam), tetapi diupahkan kepada orang lain, maka orang yang membadalkan harus berniat dari miqatnya orang yang dibadalkan tersebut.
Dalam masalah badal haji, peran negara dapat disamakan dengan peran ahli waris. Ketika ahli waris berkewajiban menghajikan atau membiayai haji maurutsnya, maka negara pun berkewajiban menghajikan atau membiayai haji jemaah.
Wallahu A'lam
Badal Haji ini umumnya dilakukan untuk mewakilkan atau menggantikan jemaah haji yang uzur secara jasmani dan rohani sehingga tidak dapat melaksanakan wukuf di Arafah .
Hadits yang berkaitan dengan badal haji ini salah satunya adalah riwayat dari Bukhari dan Muslim sebagai berikut.
"Dari Ibnu Abbas dari Al-Fadl: Seorang perempuan dari kabilah Khats'am bertanya kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji, tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?' Jawab Rasulullah: Kalau begitu lakukanlah haji untuk dia!"
Itulah mengapa badal haji ini diperbolehkan untuk dilakukan. Namun mewakili orang untuk menjalankan ibadah haji tidak boleh sembarangan dan harus sesuai syariat.
Syarat dan Hukum Badal Haji (H2)
Pada dasarnya empat ulama besar sepakat bahwa seseorang yang akan melakukan badal haji harus pernah menjalankan ibadah haji terlebih dahulu. Karena, bila belum menjalankan haji untuk dirinya, orang yang melakukan badal haji ini akan berdosa.
Hal tersebut berlandaskan hadits riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah berikut.
"Dari Ibnu Abbas pada saat melaksanakan haji, Rasulullah SAW mendengar seorang lelaki berkata, 'Labbaika 'an Syubrumah' Lalu Rasulullah bertanya, 'Siapa Syubrumah?' Lalu dijawab, 'Dia saudaraku atau kerabatku, wahai Rasulullah', jawab lelaki itu. 'Apakah kamu sudah pernah haji?' Rasulullah bertanya. 'Belum' jawabnya. 'Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubrumah' lanjut Rasulullah."
Untuk pelaksanaan badal haji sendiri sebenarnya sama seperti ibadah haji biasa. Hal yang membedakan antara keduanya adalah niat. Seseorang yang melaksanakan badal haji harus niat badal untuk seseorang (al hajju ‘an).
Terkait miqat badal haji, para fuqaha berbeda pendapat dalam menentukan batasannya. Mazhab Hanbali berpendapat bahwa orang yang membadalkan haji, wajib memulai ihramnya dari miqat negeri orang yang dibadalkan, kecuali biaya untuk badal haji tidak mencukupi, maka boleh dari miqat mana saja yang mudah.
Imam Atha’ bin Rabah berpendapat, jika orang yang nazar tidak berniat dari suatu tempat, maka orang yang akan membadalkan haji dapat memulai niat ihram dari miqatnya.
Sedangkan Imam Syafi’i menyatakan bahwa orang yang berkewajiban haji pertama kali (hujjatul Islam), tetapi diupahkan kepada orang lain, maka orang yang membadalkan harus berniat dari miqatnya orang yang dibadalkan tersebut.
Dalam masalah badal haji, peran negara dapat disamakan dengan peran ahli waris. Ketika ahli waris berkewajiban menghajikan atau membiayai haji maurutsnya, maka negara pun berkewajiban menghajikan atau membiayai haji jemaah.
Wallahu A'lam
(wid)