Wajah Asli AS: Mendukung Sepenuhnya Tindakan Israel Sejak Perang 1967
Kamis, 12 Oktober 2023 - 14:01 WIB
Wajah asli Amerika Serikat menjadi sangat jelas sejak Lyndon Baines Johnson (1908 – 1973) menjadi Presiden Amerika Serikat ke-36 (1963–1969). AS mendukung tindakan Israel dalam perang 1967. Kala itu, pasukan Israel berhasil merebut Kota Tua Yerusalem dari Yordania .
"Jangan lupa bahwa kami netral dalam kata-kata, pikiran, dan perbuatan," ujar Eugene Rostow, wakil menteri luar negeri AS, yang disebut Paul Findley sebagai omong kosong.
"Faktanya, pernyataan menyindir dari Eugene Rostow disambut dengan senyum pengertian oleh para pejabat AS sebab Amerika Serikat tidak pernah sama sekali bersikap netral dalam perang 1967," tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the US - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).
Pemerintahan Johnson sepenuhnya pro Israel. Dengan demikian ketika juru bicara Kementerian Luar Negeri Robert McCloskey mengucapkan kembali kepada media kata-kata Rostow menyangkut kenetralan pada hari pertama berlangsungnya perang, para wartawan tidak ada yang percaya.
Penegasan semacam itu, jika ditanggapi secara serius, merupakan suatu berita besar dan Associated Press dengan segera mengirim sebuah buletin khusus lewat kawat.
Reaksi terhadap pernyataan Rostow di kalangan orang-orang Amerika pendukung Israel adalah geram. Penulis pidato presiden John Roche begitu marah sehingga dia mengirim sebuah memo langsung kepada presiden untuk mengajukan protes.
"Saya sangat terkejut ketika menyadari bahwa ada suatu sentimen rahasia untuk mencium pantat Arab... Konsekuensi dari usaha untuk 'berbicara manis' dengan orang-orang Arab adalah mereka jadi sangat muak pada kita-dan kita membuat dukungan Yahudi di Amerika Serikat menjadi asing."
Dukungan kuat dari para penyokong Israel dalam pemerintahan Johnson menjadi tampak mencolok sejak hari-hari pertama perang itu. Dalam laporan ringkas Kementerian Luar Negeri tentang hari pertama pertempuran itu, penasihat kemanan nasional Walt Rostow, saudara lelaki Eugene, dengan sembrono menulis dalam sebuah Surat pengantar: "Bersama ini saya sertakan penjelasan, dengan sebuah peta, tentang serangan hari pertama."
Dalam kenyataannya, hubungan antara Amerika Serikat di bawah Presiden Johnson dan Israel demikian dekatnya sehingga kebijaksanaan yang diambil sering kali dikoordinasikan dengan Israel dengan mengorbankan orang-orang Arab.
McGeorge Bundy, yang bekerja sebagai penasihat khusus presiden, menyinggung tentang kedekatan kedua negara itu dalam sebuah memorandum untuk Johnson di tengah berlangsungnya perang ketika dia menyarankan agar presiden menyampaikan pidato untuk "menekankan bahwa kewajiban untuk memastikan kekuatan Israel dan menstabilkan wilayah Timur tengah merupakan kewajiban bagi bangsa-bangsa di wilayah tersebut.
Inilah doktrin Lyndon B. Johnson dan doktrin Israel yang baik, dan karenanya juga merupakan doktrin yang baik untuk diumumkan."
Kedekatan kedua negara itu telah menimbulkan kecurigaan bahwa Johnson beserta para pejabat bawahannya telah memberikan "lampu hijau" pada keinginan Israel untuk melancarkan perang.
Penjelasan yang masuk akal adalah bahwa AS berkeinginan, bersama Israel, untuk menjatuhkan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser. Namun Nasser, meskipun merupakan pengganggu, bukanlah tokoh yang menjadi pemikiran utama di Washington, di mana perang yang semakin hebat berkecarnuk di Vietnam menyedot seluruh perhatian. Lebih-lebih, tidak tampak adanya kolusi.
Paul Findley mengatakan tetapi tidak ada keraguan bahwa Johnson setidak-tidaknya memberikan isyarat bagi diterimanya keputusan Israel untuk berperang, bahkan jika dia tidak secara aktif mendorongnya dengan semacam rencana kolusif.
Ahli Timur Tengah William Quandt, mantan anggota Dewan Keamanan Nasional di bawah Presiden Carter, menyelidiki semua bukti yang ada sepanjang seperempat abad sejak terjadinya perang dan menyimpulkan dalam sebuah telaah pada 1992:
"Dengan adanya semua informasi ini, sekarang menjadi mungkin untuk memutuskan perdebatan lampu merah versus lampu hijau. Kedua pandangan itu sama-sama tidak akurat dalam hal-hal yang penting."
Quandt menyimpulkan bahwa Presiden Johnson berusaha untuk menghalangi Israel agar tidak melancarkan perang pada bulan Mei --"lampu merah"-- namun kemudian menyadari bahwa Amerika Serikat tidak berdaya untuk mencegah Israel yang sudah berbulat tekad itu agar tidak menjalankan kebijaksanaannya sendiri.
"Jangan lupa bahwa kami netral dalam kata-kata, pikiran, dan perbuatan," ujar Eugene Rostow, wakil menteri luar negeri AS, yang disebut Paul Findley sebagai omong kosong.
"Faktanya, pernyataan menyindir dari Eugene Rostow disambut dengan senyum pengertian oleh para pejabat AS sebab Amerika Serikat tidak pernah sama sekali bersikap netral dalam perang 1967," tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the US - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).
Pemerintahan Johnson sepenuhnya pro Israel. Dengan demikian ketika juru bicara Kementerian Luar Negeri Robert McCloskey mengucapkan kembali kepada media kata-kata Rostow menyangkut kenetralan pada hari pertama berlangsungnya perang, para wartawan tidak ada yang percaya.
Penegasan semacam itu, jika ditanggapi secara serius, merupakan suatu berita besar dan Associated Press dengan segera mengirim sebuah buletin khusus lewat kawat.
Reaksi terhadap pernyataan Rostow di kalangan orang-orang Amerika pendukung Israel adalah geram. Penulis pidato presiden John Roche begitu marah sehingga dia mengirim sebuah memo langsung kepada presiden untuk mengajukan protes.
"Saya sangat terkejut ketika menyadari bahwa ada suatu sentimen rahasia untuk mencium pantat Arab... Konsekuensi dari usaha untuk 'berbicara manis' dengan orang-orang Arab adalah mereka jadi sangat muak pada kita-dan kita membuat dukungan Yahudi di Amerika Serikat menjadi asing."
Dukungan kuat dari para penyokong Israel dalam pemerintahan Johnson menjadi tampak mencolok sejak hari-hari pertama perang itu. Dalam laporan ringkas Kementerian Luar Negeri tentang hari pertama pertempuran itu, penasihat kemanan nasional Walt Rostow, saudara lelaki Eugene, dengan sembrono menulis dalam sebuah Surat pengantar: "Bersama ini saya sertakan penjelasan, dengan sebuah peta, tentang serangan hari pertama."
Baca Juga
Dalam kenyataannya, hubungan antara Amerika Serikat di bawah Presiden Johnson dan Israel demikian dekatnya sehingga kebijaksanaan yang diambil sering kali dikoordinasikan dengan Israel dengan mengorbankan orang-orang Arab.
McGeorge Bundy, yang bekerja sebagai penasihat khusus presiden, menyinggung tentang kedekatan kedua negara itu dalam sebuah memorandum untuk Johnson di tengah berlangsungnya perang ketika dia menyarankan agar presiden menyampaikan pidato untuk "menekankan bahwa kewajiban untuk memastikan kekuatan Israel dan menstabilkan wilayah Timur tengah merupakan kewajiban bagi bangsa-bangsa di wilayah tersebut.
Inilah doktrin Lyndon B. Johnson dan doktrin Israel yang baik, dan karenanya juga merupakan doktrin yang baik untuk diumumkan."
Kedekatan kedua negara itu telah menimbulkan kecurigaan bahwa Johnson beserta para pejabat bawahannya telah memberikan "lampu hijau" pada keinginan Israel untuk melancarkan perang.
Penjelasan yang masuk akal adalah bahwa AS berkeinginan, bersama Israel, untuk menjatuhkan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser. Namun Nasser, meskipun merupakan pengganggu, bukanlah tokoh yang menjadi pemikiran utama di Washington, di mana perang yang semakin hebat berkecarnuk di Vietnam menyedot seluruh perhatian. Lebih-lebih, tidak tampak adanya kolusi.
Paul Findley mengatakan tetapi tidak ada keraguan bahwa Johnson setidak-tidaknya memberikan isyarat bagi diterimanya keputusan Israel untuk berperang, bahkan jika dia tidak secara aktif mendorongnya dengan semacam rencana kolusif.
Ahli Timur Tengah William Quandt, mantan anggota Dewan Keamanan Nasional di bawah Presiden Carter, menyelidiki semua bukti yang ada sepanjang seperempat abad sejak terjadinya perang dan menyimpulkan dalam sebuah telaah pada 1992:
"Dengan adanya semua informasi ini, sekarang menjadi mungkin untuk memutuskan perdebatan lampu merah versus lampu hijau. Kedua pandangan itu sama-sama tidak akurat dalam hal-hal yang penting."
Quandt menyimpulkan bahwa Presiden Johnson berusaha untuk menghalangi Israel agar tidak melancarkan perang pada bulan Mei --"lampu merah"-- namun kemudian menyadari bahwa Amerika Serikat tidak berdaya untuk mencegah Israel yang sudah berbulat tekad itu agar tidak menjalankan kebijaksanaannya sendiri.