Pra-Islam: Kisah Kabilah Arab Migrasi ke Syam dan Irak
Rabu, 10 Januari 2024 - 09:00 WIB
Pada masa pra-Islam, orang-orang Arab sudah banyak merantau ke Syam dan ke Irak . Mereka menetap di wilayah tersebut, terutama di perbatasan daerah-daerah pemukiman Irak dan Syam.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Abu Bakr As-Siddiq" yang diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah (PT Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menyebut bukanlah politik negara yang memaksa mereka tinggal di perbatasan ini, melainkan kehidupan pedalaman itu sendiri yang menarik mereka, mereka tergiur melihat keindahannya. Tetapi daerah pemukiman juga memikat mereka.
"Mereka ingin berada tidak terlalu jauh dari daerah itu supaya dapat memperoleh rezeki tanpa harus terlalu berat," tulis Haekal.
Memang demikian itulah keadaan penduduk pedalaman sepanjang sejarah . Kalau sekarang ini kita perhatikan tempat-tempat tinggal mereka di Mesir, di Syam, di Irak atau di mana saja yang perkebunannya berbatasan dengan padang pasir, akan kita lihat mereka berada di pinggiran sahara antara daerah pemukiman dengan daerah pedalaman, dan akan kita lihat perhatian penduduknya lebih banyak dicurahkan ke pedalaman dan memperhatikannya dari waktu ke waktu dengan kafilah-kafilah mereka.
Menurut Haekal, cara hidup baduinya yang seolah sudah mendarah daging pada mereka itu membuat mereka tak mau lagi hidup menetap atau tinggal seperti penduduk kota dengan sistem kemasyarakatannya itu.
Watak mereka mengharuskan hidup serba sulit, yang sebenarnya tak perlu mereka lakukan kalau tidak karena daerah pedalaman yang memang begitu bebas serta hubungannya dengan alam yang tak terbatas, sebagai ganti melepaskan mereka dari segala kesulitan dan menganggap enteng segala kesukaran itu.
Haekal mengatakan tatkala kabilah-kabilah Arab yang berpindah ke kawasan itu bertebaran di sana, pedalaman Syam ini tiba-tiba berubah seolah menjadi satu bagian dari Semenanjung Arab.
Orang-orang Gassan merupakan ras kabilah yang terkuat dan paling bertahan dan tabah. Oleh karena itu Banu Gassan mendirikan kerajaannya di perbatasan Syam, dan Banu Lakhm membangun kerajaan Hira di sepanjang pantai Furat.
Kebiasaan orang Arab ketika itu selalu sama dengan kebiasaan anak negeri yang lain, yakni bersama-sama senasib dan sepenanggungan dengan yang lain yang tinggal di perbatasan.
Kala itu, Syam dibawah Romawi dan Irak di bawah Persia. Dengan demikian hidup mereka yang tinggal di Syam disesuaikan dengan hukum Romawi dan yang tinggal Irak menurut hukum Persia. "Tetapi mereka lebih bersifat menerima kenyataan yang ada daripada tunduk kepada yang menang," ujar Haekal.
Oleh karena itu, situasi politik mereka berubah-ubah sesuai dengan kuat lemahnya mereka. Bagi mereka, yang sangat mereka cintai dan mereka bela ialah kebebasan pribadi.
Mengenai kehidupan orang Badui yang luar biasa ialah, kendati kecintaan mereka sudah begitu besar pada cara hidup pedalaman, begitu besar kerinduan mereka setiap mereka berada jauh dari sana, namun mereka sangat mengagumi suasana pemukiman dengan tanam-tanaman yang indah di sekelilingnya serta para penghuninya yang tampak hidup nyaman dan makmur.
Menurut Haekal, yang menjadi pembicaraan orang di Makkah dan Madinah serta tempat-tempat lain di kawasan Hijaz, setelah mereka mengadakan perjalanan musim panas, ialah senantiasa tentang Syam dengan perkebunannya, tentang buah anggur dan gadis-gadis dengan matanya yang jelita.
Mereka yang ikut mengadakan perjalanan bercerita tentang semua itu, yang selanjutnya berpindah dari mulut ke mulut. Orang-orang yang mendengar lalu tersenyum, mata mereka terbelalak dan selera mereka bangkit, karena merindukan kehijauan yang serba segar itu.
Ah, coba di daerah mereka ada yang serupa itu: air yang lancar mengalir, tangan-tangan yang lembut dan pipi yang halus. Seolah mereka sudah lupa bahwa Allah Maha pencipta sudah membagikan rezeki kepada manusia begitu adil: penghuni daerah pedalaman itu dapat menikmati kebebasan mutlak, jauh dari segala macam ketidakadilan.
Semua ini tentu harus diimbangi dengan hidup yang serba berat dan sulit, meskipun tak berarti mereka tak ingin hidup nikmat dan makmur juga.
Demikian juga penghuni perkotaan. Mereka hidup makmur, senang, tertib dan aman, tetapi diimbangi dengan terbatasnya kebebasan dalam segala seginya. Selanjutnya, tak berarti orang tidak cenderung ingin menghancurkan segala belenggu ini karena ia merindukan kenikmatan dan keamanan.
Demikianlah keadaan kabilah-kabilah itu, yang pindah ke Irak dan Syam dengan kecenderungan yang berbeda mengenai keterikatannya dengan suasana pedalaman.
Lepas dari soal kenyamanan dan kenikmatan yang ada di daerah pemukiman, kabilah-kabilah itu masih kuat sekali mempertahankan nilai-nilai kehidupan Arabnya yang asli, demikian juga hubungannya dengan Semenanjung Arab sejak berabad-abad.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Abu Bakr As-Siddiq" yang diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah (PT Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menyebut bukanlah politik negara yang memaksa mereka tinggal di perbatasan ini, melainkan kehidupan pedalaman itu sendiri yang menarik mereka, mereka tergiur melihat keindahannya. Tetapi daerah pemukiman juga memikat mereka.
"Mereka ingin berada tidak terlalu jauh dari daerah itu supaya dapat memperoleh rezeki tanpa harus terlalu berat," tulis Haekal.
Memang demikian itulah keadaan penduduk pedalaman sepanjang sejarah . Kalau sekarang ini kita perhatikan tempat-tempat tinggal mereka di Mesir, di Syam, di Irak atau di mana saja yang perkebunannya berbatasan dengan padang pasir, akan kita lihat mereka berada di pinggiran sahara antara daerah pemukiman dengan daerah pedalaman, dan akan kita lihat perhatian penduduknya lebih banyak dicurahkan ke pedalaman dan memperhatikannya dari waktu ke waktu dengan kafilah-kafilah mereka.
Menurut Haekal, cara hidup baduinya yang seolah sudah mendarah daging pada mereka itu membuat mereka tak mau lagi hidup menetap atau tinggal seperti penduduk kota dengan sistem kemasyarakatannya itu.
Watak mereka mengharuskan hidup serba sulit, yang sebenarnya tak perlu mereka lakukan kalau tidak karena daerah pedalaman yang memang begitu bebas serta hubungannya dengan alam yang tak terbatas, sebagai ganti melepaskan mereka dari segala kesulitan dan menganggap enteng segala kesukaran itu.
Haekal mengatakan tatkala kabilah-kabilah Arab yang berpindah ke kawasan itu bertebaran di sana, pedalaman Syam ini tiba-tiba berubah seolah menjadi satu bagian dari Semenanjung Arab.
Orang-orang Gassan merupakan ras kabilah yang terkuat dan paling bertahan dan tabah. Oleh karena itu Banu Gassan mendirikan kerajaannya di perbatasan Syam, dan Banu Lakhm membangun kerajaan Hira di sepanjang pantai Furat.
Kebiasaan orang Arab ketika itu selalu sama dengan kebiasaan anak negeri yang lain, yakni bersama-sama senasib dan sepenanggungan dengan yang lain yang tinggal di perbatasan.
Kala itu, Syam dibawah Romawi dan Irak di bawah Persia. Dengan demikian hidup mereka yang tinggal di Syam disesuaikan dengan hukum Romawi dan yang tinggal Irak menurut hukum Persia. "Tetapi mereka lebih bersifat menerima kenyataan yang ada daripada tunduk kepada yang menang," ujar Haekal.
Oleh karena itu, situasi politik mereka berubah-ubah sesuai dengan kuat lemahnya mereka. Bagi mereka, yang sangat mereka cintai dan mereka bela ialah kebebasan pribadi.
Mengenai kehidupan orang Badui yang luar biasa ialah, kendati kecintaan mereka sudah begitu besar pada cara hidup pedalaman, begitu besar kerinduan mereka setiap mereka berada jauh dari sana, namun mereka sangat mengagumi suasana pemukiman dengan tanam-tanaman yang indah di sekelilingnya serta para penghuninya yang tampak hidup nyaman dan makmur.
Menurut Haekal, yang menjadi pembicaraan orang di Makkah dan Madinah serta tempat-tempat lain di kawasan Hijaz, setelah mereka mengadakan perjalanan musim panas, ialah senantiasa tentang Syam dengan perkebunannya, tentang buah anggur dan gadis-gadis dengan matanya yang jelita.
Mereka yang ikut mengadakan perjalanan bercerita tentang semua itu, yang selanjutnya berpindah dari mulut ke mulut. Orang-orang yang mendengar lalu tersenyum, mata mereka terbelalak dan selera mereka bangkit, karena merindukan kehijauan yang serba segar itu.
Ah, coba di daerah mereka ada yang serupa itu: air yang lancar mengalir, tangan-tangan yang lembut dan pipi yang halus. Seolah mereka sudah lupa bahwa Allah Maha pencipta sudah membagikan rezeki kepada manusia begitu adil: penghuni daerah pedalaman itu dapat menikmati kebebasan mutlak, jauh dari segala macam ketidakadilan.
Semua ini tentu harus diimbangi dengan hidup yang serba berat dan sulit, meskipun tak berarti mereka tak ingin hidup nikmat dan makmur juga.
Demikian juga penghuni perkotaan. Mereka hidup makmur, senang, tertib dan aman, tetapi diimbangi dengan terbatasnya kebebasan dalam segala seginya. Selanjutnya, tak berarti orang tidak cenderung ingin menghancurkan segala belenggu ini karena ia merindukan kenikmatan dan keamanan.
Demikianlah keadaan kabilah-kabilah itu, yang pindah ke Irak dan Syam dengan kecenderungan yang berbeda mengenai keterikatannya dengan suasana pedalaman.
Lepas dari soal kenyamanan dan kenikmatan yang ada di daerah pemukiman, kabilah-kabilah itu masih kuat sekali mempertahankan nilai-nilai kehidupan Arabnya yang asli, demikian juga hubungannya dengan Semenanjung Arab sejak berabad-abad.
(mhy)