Persoalan Keadilan Ilahi Bukan Problem Nalar tapi Problem Rasa

Sabtu, 13 Januari 2024 - 18:32 WIB
Prof Quraish Shihab. Foto/Ilustrasi: Ist
Muhammad Quraish Shihab mengatakan pembicaraan tentang keadilan Ilahi bukanlah sesuatu yang baru. Persoalan ini hadir sejak manusia mengenal baik dan buruk. Pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa ada kejahatan, ada penyakit dan kemiskinan , bahkan mengapa Tuhan menganugerahkan si A segala kenikmatan, dan menjadikan si B tenggelam ke dalam bencana? Kesemua pertanyaan itu dapat menjadi wajar.

Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan, 2007) mengatakan tidak mudah memahami -apalagi menjelaskan- persoalan ini jika dikaitkan dengan keadilan Ilahi.

"Ia merupakan salah satu hal yang amat muskil, khususnya bila ingin memuaskan semua nalar," ujarnya.



Itu sebabnya yang merasakan Kemahabesaran dan Kemahabijaksanaan Tuhan biasanya hanya berkata, "Ada hikmah di balik setiap peristiwa, baik yang dinilai sebagai ketidakadilan (kejahatan) maupun sebaliknya." Jawaban semacam ini jelas tidak memuaskan nalar.

Pada masyarakat primitif terdapat keyakinan adanya dua Tuhan: Tuhan Cahaya (Kebaikan) dan Tuhan Kegelapan. Keyakinan seperti ini -yang sekaligus merupakan jawaban- ditolak oleh penganut monoteisme. Al-Quran secara tegas menolak dualisme, baik pada penciptaan, penguasaan, maupun pengaturan alam raya.

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan yang menjadikan kegelapan dan cahaya ( QS Al-An'am [6] : 1)

Sebagian pakar agama termasuk agama Islam menyelesaikan persoalan ini dengan menyatakan bahwa yang dinamakan kejahatan atau keburukan sebenarnya tidak ada, atau paling tidak hanya terdapat pada nalar manusia yang memandang secara parsial. Bukankah Allah menegaskan dalam Al-Quran bahwa,

Dialah yang membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya ( QS Al-Ahzab [32] : 7).

Kalau demikian, segala sesuatu diciptakan oleh Allah, dan segala sesuatu yang bersumber dari Allah pasti baik. Keburukan adalah akibat dari keterbatasan pandangan. Segala sesuatu sebenarnya tidak buruk, tetapi nalar manusia mengiranya demikian.



Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu, dan bolehjadi engkau menyenangi sesuatu padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui ( QS Al-Baqarah [2] : 216).

Quraish Shihab mengatakan nalar tidak dapat menembus semua dimensi. Seringkali ketika seseorang memandang sesuatu secara mikro, hal itu dinilainya buruk dan jahat, tetapi jika dipandang secara makro dan menyeluruh, justru hal itu merupakan unsur keindahan dan kebaikan.

Bukankah jika pandangan hanya ditujukan kepada tahi lalat di wajah seorang wanita akan terlihat buruk? Tetapi, bila wajah dipandang secara menyeluruh, tahi lalat tadi justru menjadi unsur utama kecantikannya! Bukankah jika Anda hanya melihat kaki seseorang dipotong, Anda akan menilainya kejam, tetapi bila Anda mengetahui bahwa sang dokterlah yang mengamputasi pasiennya, Anda justru akan berterima kasih dan memujinya?

Menurut Quraish, karena itu, jangan memandang kebijaksanaan Allah secara mikro. "Kalaupun Anda tidak mampu memandangnya secara makro, yakinilah bahwa ada hikmah di balik semua itu," ujarnya.

Boleh jadi nalar Anda belum puas. Sekali lagi, mengapa ada kejahatan, ada setan yang diciptakan-Nya untuk menggoda, atau ada nasib baik dan nasib buruk yang dialami manusia?

Al-Quran menyatakan bahwa jenis manusia adalah satu kesatuan,

"Manusia itu adalah untuk umat yang satu" (QS Al-Baqarah [2]: 213)



Bahkan seluruh jagat raya merupakan satu kesatuan.
Halaman :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Aisyah Ummul Mukminin, bahwa ia berkata:  Sudah biasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa beberapa hari, hingga kami mengira bahwa beliau akan berpuasa terus. Namun beliau juga biasa berbuka (tidak puasa) beberapa hari hingga kami mengira bahwa beliau akan tidak puasa terus. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyempurnakan puasanya sebulan penuh, kecuali Ramadhan.  Dan aku juga tidak pernah melihat beliau puasa sunnah dalam sebulan yang lebih banyak daripada puasanya ketika bulan Sya'ban.

(HR. Muslim No. 1956)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More