Berikut Ini Gagasan Etika Politik Bersumber Al-Quran
Kamis, 08 Februari 2024 - 14:37 WIB
Al-Quran adalah petunjuk bagi umat manusia, maka tidak berlebihan apabila Kitab Suci ini dijadikan sebagai konsep etika politik, di mana etika ingin menjawab “bagaimana hidup yang baik”.
Dengan demikian al-Quran menerangkan tentang etika dan moral sebagaimana terdapat dalam QS Al-Imran/3 :159:
Fa bimā raḥmatim minallāhi linta lahum, walau kunta faẓẓan galīẓal-qalbi lanfaḍḍụ min ḥaulika fa'fu 'an-hum wastagfir lahum wa syāwir-hum fil-amr, fa iżā 'azamta fa tawakkal 'alallāh, innallāha yuḥibbul-mutawakkilīn
Artinya: "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." ( QS Ali Imran : 159).
Abdul Muin Salim dalam buku berjudul "Konsep Kekuasaan Politik Dalam Alquran" (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2002) menjelaskan kandungan ayat tersebut di atas menerangkan tentang etika dan moral kepemimpinan yang diperlukan untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi umat, antara lain memiliki sifat lemah lembut dan tidak menyakiti hati orang lain dengan perkataan atau perbuatan, serta memberi kemudahan dan ketentraman kepada masyarakat.
Sifat-sifat ini merupakan faktor subyektif yang dimiliki seorang pemimpin yang dapat merangsang dan mendorong orang lain untuk berpartisipasi dalam musyawarah. "Sebaliknya, jika seorang pemimpin tidak memiliki sifat-sifat tersebut di atas, niscaya orang akan menjauh dan tidak memberi dukungan," ujarnya.
Dalam sejarah, kaum Majusi telah menguasai dunia selama empat ribu tahun. Kelanggengan kekuasaan hanya dapat terjadi dengan perilaku adil terhadap rakyat dan memelihara urusannya secara bersama-sama.
Mereka tidak membiarkan kezaliman dalam urusan agama dan keyakinan. Mereka mengelolah negaranya dengan adil. Mereka juga senantiasa berbuat adil terhadap manusia.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kemakmuran dan kehancuran dunia bergantung kepada penguasanya. Jika penguasa adil, maka dunia akan makmur dan rakyat akan merasa aman, sebaliknya penguasa tidak adil, maka dunia akan runtuh.
Sejalan dengan apa yang dipaparkan di atas, Faisal Baasir dalam buku berjudul "Etika Politik: Pandangan Seorang Politisi Muslim (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003) mendasarkan etika politik bangsa dan negara pada nilai-nilai luhur ajaran agama adalah suatu keharusan.
Menurutnya, agama merupakan sistem nilai yang diyakini kebenarannya, ia adalah lentera dan panduan kehidupan serta modal ketenangan jiwa sebelum seseorang menentukan suatu tindakan tertentu.
Dengan demikian al-Quran menerangkan tentang etika dan moral sebagaimana terdapat dalam QS Al-Imran/3 :159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
Fa bimā raḥmatim minallāhi linta lahum, walau kunta faẓẓan galīẓal-qalbi lanfaḍḍụ min ḥaulika fa'fu 'an-hum wastagfir lahum wa syāwir-hum fil-amr, fa iżā 'azamta fa tawakkal 'alallāh, innallāha yuḥibbul-mutawakkilīn
Artinya: "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." ( QS Ali Imran : 159).
Abdul Muin Salim dalam buku berjudul "Konsep Kekuasaan Politik Dalam Alquran" (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2002) menjelaskan kandungan ayat tersebut di atas menerangkan tentang etika dan moral kepemimpinan yang diperlukan untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi umat, antara lain memiliki sifat lemah lembut dan tidak menyakiti hati orang lain dengan perkataan atau perbuatan, serta memberi kemudahan dan ketentraman kepada masyarakat.
Sifat-sifat ini merupakan faktor subyektif yang dimiliki seorang pemimpin yang dapat merangsang dan mendorong orang lain untuk berpartisipasi dalam musyawarah. "Sebaliknya, jika seorang pemimpin tidak memiliki sifat-sifat tersebut di atas, niscaya orang akan menjauh dan tidak memberi dukungan," ujarnya.
Dalam sejarah, kaum Majusi telah menguasai dunia selama empat ribu tahun. Kelanggengan kekuasaan hanya dapat terjadi dengan perilaku adil terhadap rakyat dan memelihara urusannya secara bersama-sama.
Mereka tidak membiarkan kezaliman dalam urusan agama dan keyakinan. Mereka mengelolah negaranya dengan adil. Mereka juga senantiasa berbuat adil terhadap manusia.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kemakmuran dan kehancuran dunia bergantung kepada penguasanya. Jika penguasa adil, maka dunia akan makmur dan rakyat akan merasa aman, sebaliknya penguasa tidak adil, maka dunia akan runtuh.
Sejalan dengan apa yang dipaparkan di atas, Faisal Baasir dalam buku berjudul "Etika Politik: Pandangan Seorang Politisi Muslim (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003) mendasarkan etika politik bangsa dan negara pada nilai-nilai luhur ajaran agama adalah suatu keharusan.
Menurutnya, agama merupakan sistem nilai yang diyakini kebenarannya, ia adalah lentera dan panduan kehidupan serta modal ketenangan jiwa sebelum seseorang menentukan suatu tindakan tertentu.
(mhy)