Etika Politik dan Moral Kepemimpinan dalam Islam

Rabu, 07 Februari 2024 - 15:56 WIB
loading...
Etika Politik dan Moral Kepemimpinan dalam Islam
Eks Ketua MK Anwar Usman dan Ketua KPU Hasyim Asyari dinyatakan langgar etika. Ilustrasi: Ist
A A A
Bercermin kepada realitas bangsa dewasa ini bahwa, runtuhnya kepercayaan rakyat sesungguhnya bukan hanya terhadap pemerintah saja, tetapi juga terhadap para pemimpin dan para elit politik formal, bahkan rakyat mempertanyakan mengapa ekonomi terus merosot, rasa aman dalam kehidupan sehari-hari terus memburuk.

Di berbagai tempat kerusuhan mudah terjadi dan gampang main hakim sendiri dengan mencabut nyawa sesamanya. "Para elit politik semula saling mendukung hanya dalam waktu singkat sudah saling serang satu sama lain," tulis Ahmad Mubarak dan B. Wiwoho dalam buku berjudul "Etika dan Moral Kepemimpinan" (Jakarta: PT Bina Rena Pariwisata, 2003).

Kepada anti gone dalam kisah Oedipus dari mitologi Yunani yang amat termashur, dari semua kejahatan yang bagai cacing mengeritiki jalan menuju istana raja-raja yang terburuk adalah nafsu berkuasa.

"Nafsu berkuasa mengadu saudara lawan saudara, ayah lawan anak dan anak lawan tenggorokan orang tuanya," tambahnya.



Konsep yang amat tegas mencita-citakan suatu negara yang berdasarkan akal budi dan moral keagamaan adalah Siti Agustine (254-430 M) dalam bukunya “Civitate Dei” (Negara Tuhan). Ia menggambarkan adanya dua moral yang terdapat pada manusia, yaitu moral baik dan moral buruk.

Terjadi perkelahian dan pembunuhan antara kedua putra Adam, tidak lain merupakan gambaran dari perjuangan antara pemimpin yang bermoral baik yang membentuk “Civitate Dei” (Negara Tuhan) dengan pemimpin yang bermoral jahat yang membentuk “Civitate Diaboli” (Negara Setan).

Peran pemimpin sungguh sangat menentukan dalam kehidupan masyarakat, rusak rakyat karena rusak penguasa dan rusak penguasa karena rusak ulamanya.

Semuanya itu membenarkan kesimpulan bahwa pemimpin adalah teladan, sehingga teladan yang baik akan memberikan hasil yang baik dan demikian pula sebaliknya.

Oleh karena itu menurut Imam Al-Ghazali , ulama harus tegak menjaga fungsinya sebagai pemegang amanah Allah, penjaga waris Nabi dan penegak politik keadilan.



Para ulama cendikiawan harus bersikap waspada dan jangan mendudukkan diri kepada politik kezaliman (zalim terhadap kehormatan dan hak asasi manusia, zalim terhadap harta benda rakyat, dan zalim terhadap jiwa rakyat), bahkan jika dianggap perlu harus mengambil sikap uzlah, menjauhkan diri dari segala soal yang berbau politik dan pemerintah.

Islam telah banyak mengatur etika dan moral kepemimpinan, baik di dalam Al-Quran maupun hadis Nabi Muhammad SAW serta ijma para ulama. Semua ajaran etika dan moral dalam kehidupan masyarakat adalah merupakan etika dan moral kepemimpinan, namun inti dari semua itu adalah amanah dan keadilan sebagaimana firman Allah SWT dalam QS An-Nahl /16:90

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ ۝٩٠

innallâha ya'muru bil-‘adli wal-iḫsâni wa îtâ'i dzil-qurbâ wa yan-hâ ‘anil-faḫsyâ'i wal-mungkari wal-baghyi ya‘idhukum la‘allakum tadzakkarûn

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.



Keadilan dalam hal ini adalah di dalam memutuskan suatu perkara tidak berat sebelah, keadilan harus dinikmati setiap orang baik muslim muapun non-muslim, pejabat maupun bukan pejabat, keluarga maupun bukan keluarga, hendaknya putusan yang diberikan kepada mereka sesuai dengan ketetapan hukum dan bukan berdasarkan atas permusuhan.

"Masalah kepemimpinan dewasa ini merupakan kunci utama dalam menuju negara dan masyarakat yang bermoral," ujar Ahmad Mubarak dan B. Wiwoho.

Struktur kejahatan itu adalah akibat politik kekuasaan. Perimbangan kekuatan politik mengabaikan upaya serius mengatasi kosupsi dan ketidakadilan.

Haryatmoko dalam bukunya berjudul "Etika Politik dan Kekuasaan" (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2003) menambahkan praktik kekuasaan dijalankan bukan atas dasar etika politik, namun untuk mempertahankan kekuasaan. Maka banyak konsesi diberikan yang mengorbankan tujuan utama politik (kesejahteraan bersama).

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1470 seconds (0.1#10.140)