Muslimah Saleha Penyimpan Kain Kafan
Minggu, 23 Agustus 2020 - 17:30 WIB
Mengingat mati atau kematian termasuk salah satu akhlak terpuji dan perilaku mulia. Bagaimana tidak, mengingat kematian bukan sekadar ingat dan tidak lupa, namun lebih dari itu mengingat kematian berarti mempersiapkan bekal sebelum ajal datang.
Mengingat kematian juga merupakan salah cara hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Subahanhu wa ta’ala. Mereka yang senantiasa mengingat kematian akan mengontrol nafsu duniawinya. Bahwa tiap-tiap yang dilakukan di dunia pasti akan dipertanggungjawabkan kelak, sehingga mereka tidak akan menyia-nyiakan waktu di dunia dengan melakukan perbuatan yang tidak bermanfaat.
Kisah keteladanan dari cerminan sosok yang selalu mengingat kematian, bisa diambil dari sosok shahabiyat, yakni Hafshah binti Sirin. Muslimah yang dikenal sebagai tabi’in ahli ibadah. Selain itu, kemampuannya untuk mendalami Al Qur’an serta peka akan permasalahan membuat Hafshah dinilai juga sebagai ahli fiqih dan sering kali dimintai pendapat. (Baca juga : Fitnah Perempuan dan Bahayanya Ikhtilat )
Hafshah adalah putri dari pasangan Sirin dan Shafiyah yang menikah saat Islam sudah berkembang di Madinah. Hafshah pun lahir pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan, tepatnya pada tahun 31 Hijriyah. Kelahiran Hafshah pun diikuti oleh saudara-saudaranya, Muhammad, Yahya, Karimah, dan Ummu Sulaim. Adik Hafshah, Muhammad bin Sirin, juga dikenal sebagai salah satu ahli fiqih dan ahli tafsir.
Semenjak kecil, Hafshah memang gemar menuntut ilmu . Dia berusaha menggali ilmu dari para shahabat dan shahabiyat, termasuk dari Anas bin Malik. Hafshah bahkan sudah mampu menghafal Al-Qur'an saat usia 12 tahun. Kemampuannya tersebut juga yang membawa Hafshah menjadi salah satu tabi’in perempuan yang dimuliakan pada masa itu.
Hafshah binti Sirin selalu mengisi hidupnya dengan ibadah, kehormatan , kemuliaan dan kebaikan. Ia berusaha sekuat mungkin menggunakan waktunya untuk beribadah. Seorang bernama Mahdi bin Maimun berkata, “Hafshah binti Sirin tinggal selama 30 tahun tidak keluar dari tempat salatnya kecuali untuk menemui seseorang atau untuk menunaikan suatu keperluan.”
Diriwiayatkan, bahwa Hafshah memiliki tempat khusus yakni sebuah musala di dekat rumahnya. Ia akan masuk ke musala itu untuk melaksanakan salat Zuhur dan tidak keluar lagi hingga ia mengerjakan salat Subuh esok harinya.
Biasanya seusai salat Subuh, Hafshah tidak akan langsung meninggalkan musala. Ia akan mengerjakan salat Dhuha baru kemudian keluar dan menyelesaikan urusannya. Ketika masuk waktu Zuhur, Hafshah akan kembali lagi ke musala itu. Menurut sebuah riwayat, hal tersebut hampir tak pernah ia tinggalkan selama 30 tahun.
Selalu Menyimpan Kain Kafan
Tak hanya salat, Hafshah juga merupakan sosok yang rutin berpuasa. Diriwayatkan bahwa dirinya berpuasa setahun penuh kecuali pada hari-hari yang diharamkan berpuasa. Hafshah juga selalu menghidupi malam-malamnya dengan membaca setidaknya setengah Al Qur’an.
Selain beribadah, Hafshah telah menyiapkan kain kafan untuknya. Kain tersebut akan dipakai saat dirinya menunaikan haji atau berihram. Hafshah juga akan memakai kain tersebut pada saat beribadah di 10 hari terakhir Ramadhan. (Baca juga : Inilah Cara Memperlakukan Istri Menurut Syariat )
Hal tersebut dilakukan salah satunya untuk mengingat kematian yang bisa datang kapan saja. Dengan mengingat kematian. Sehingga ia dapat dengan tulus mengharap ampunan dan ridha Allah.
Dikisahkan pula bahwa Hafshah pernah membeli seorang budak perempuan. Budak perempuan itu dimintai pendapat mengenai Hafshah. “Ia adalah wanita saleha, ia merasa memiliki dosa yang besar, maka di seluruh malamnya ia menangis dan salat,” begitu pengakuan budak tersebut.
Selain dikenal akan ahli ibadah, Hafshah juga merupakan sosok yang pintar dan sering kali dimintai pendapat mengenai sebuah permasalahan . Saudaranya, Muhammad bin Sirin pernah ditanyai mengenai suatu hal oleh muridnya, namun ia kesulitan dalam mengambil keputusan. Muhammad pun meminta muridnya untuk datang dan menanyai Hafshah.
“Pergilah kalian kepada Hafshah. Bertanyalah kepadanya bagaimana dia mengkajinya (masalah yang berhubungan dengan Al Qur'an). Sebab, ia bagaikan orang yang telah meminum bahtera keilmuwan yang ada dalam Al Qur’an,” kata Muhammad bin Sirin.
Salah satu perkataan Hafshah yang paling terkenal adalah pesannya bagi para pemuda agar memanfaatkan masa muda mereka dengan beribadah. “Wahai para pemuda, manfaatkanlah masa mudamu. Sesungguhnya aku tidak melihat amal perbuatan (yang dapat dikerjakan dengan baik) kecuali di masa muda,” katanya.
Hafshah sebenarnya dikaruniai seorang anak laki-laki, yaitu Al-Hudzail. Hudzail sangat berbakti kepada ibunya. Namun, Allah memiliki kehendak lain dan Hudzail wafat.
Atas peristiwa ini, Hafshah pun mengenang, "Dia (anakku) memerah susu unta pada pagi hari, kemudian dia mendatangiku dan berkata: 'Minumlah wahai ibu, karena sebaik-baik susu adalah yang berada pada kelenjar susu sejak malam harinya'. Kemudian dia wafat, maka Allah berikan kepadaku kesabaran, walaupun begitu, aku dapati rasa sesak di dadaku, yang hampir aku tidak tenang dengannya."
Hafshah pun kembali berkata, "Tapi pada suatu malam aku pun membaca ayat yang berbunyi 'Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.' (QS an-Nahl: 96), maka sejak saat itu rasa sesak itu hilang."
Hafshah akhirnya wafat pada usia mendekati 70 tahun, tepatnya pada 101 Hijriyah, di Madinah. Semasa hidupnya, Hafshah melahirkan banyak murid yang terkenal dengan keilmuannya seperti Ayub as-Sikhtiyani, Qotadah bin Da'amah as-Sudusi, Hisyam bin Hassan, dan Khalid al-Khadza. Hafshah mengambil riwayat hadis dari saudara laki-lakinya, Yahya, dan dari Anas bin Malik, Ummu Athiyah al-Anshariyah, Rubab Ummu Raih, Abu al-Aliyah, Abu Dzibyan Khalifah bin Ka'ab, Rabi' bin Ziyad al-Haritsi, dan Khairah Ummul Hasan al-Bashri.
Dengan segala kemuliaan yang dimiliki oleh Hafshah, ia pun dinilai sebagai salah satu tabi’in perempuan terbaik ada masanya. Ahli hadis, Abu Daud mengatakan, “Dua pemimpin perempuan tabi’in, mereka adalah Hafshah binti Sirin dan Amrah binti Abdurrahman, dan setelah mereka berdua adalah Ummu Darda.” (Baca juga : Bagaikan Gelas Kaca, Jagalah Hati Istrimu! )
Kisah dari tabi’in Hafshah ini hendaknya menjadi pembelajaraan bagi kita sebagai muslimah agar dapat bersifat zuhud dan senantiasa mengingat kematian.
Wallahu A'lam
Mengingat kematian juga merupakan salah cara hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Subahanhu wa ta’ala. Mereka yang senantiasa mengingat kematian akan mengontrol nafsu duniawinya. Bahwa tiap-tiap yang dilakukan di dunia pasti akan dipertanggungjawabkan kelak, sehingga mereka tidak akan menyia-nyiakan waktu di dunia dengan melakukan perbuatan yang tidak bermanfaat.
Kisah keteladanan dari cerminan sosok yang selalu mengingat kematian, bisa diambil dari sosok shahabiyat, yakni Hafshah binti Sirin. Muslimah yang dikenal sebagai tabi’in ahli ibadah. Selain itu, kemampuannya untuk mendalami Al Qur’an serta peka akan permasalahan membuat Hafshah dinilai juga sebagai ahli fiqih dan sering kali dimintai pendapat. (Baca juga : Fitnah Perempuan dan Bahayanya Ikhtilat )
Hafshah adalah putri dari pasangan Sirin dan Shafiyah yang menikah saat Islam sudah berkembang di Madinah. Hafshah pun lahir pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan, tepatnya pada tahun 31 Hijriyah. Kelahiran Hafshah pun diikuti oleh saudara-saudaranya, Muhammad, Yahya, Karimah, dan Ummu Sulaim. Adik Hafshah, Muhammad bin Sirin, juga dikenal sebagai salah satu ahli fiqih dan ahli tafsir.
Semenjak kecil, Hafshah memang gemar menuntut ilmu . Dia berusaha menggali ilmu dari para shahabat dan shahabiyat, termasuk dari Anas bin Malik. Hafshah bahkan sudah mampu menghafal Al-Qur'an saat usia 12 tahun. Kemampuannya tersebut juga yang membawa Hafshah menjadi salah satu tabi’in perempuan yang dimuliakan pada masa itu.
Hafshah binti Sirin selalu mengisi hidupnya dengan ibadah, kehormatan , kemuliaan dan kebaikan. Ia berusaha sekuat mungkin menggunakan waktunya untuk beribadah. Seorang bernama Mahdi bin Maimun berkata, “Hafshah binti Sirin tinggal selama 30 tahun tidak keluar dari tempat salatnya kecuali untuk menemui seseorang atau untuk menunaikan suatu keperluan.”
Diriwiayatkan, bahwa Hafshah memiliki tempat khusus yakni sebuah musala di dekat rumahnya. Ia akan masuk ke musala itu untuk melaksanakan salat Zuhur dan tidak keluar lagi hingga ia mengerjakan salat Subuh esok harinya.
Biasanya seusai salat Subuh, Hafshah tidak akan langsung meninggalkan musala. Ia akan mengerjakan salat Dhuha baru kemudian keluar dan menyelesaikan urusannya. Ketika masuk waktu Zuhur, Hafshah akan kembali lagi ke musala itu. Menurut sebuah riwayat, hal tersebut hampir tak pernah ia tinggalkan selama 30 tahun.
Selalu Menyimpan Kain Kafan
Tak hanya salat, Hafshah juga merupakan sosok yang rutin berpuasa. Diriwayatkan bahwa dirinya berpuasa setahun penuh kecuali pada hari-hari yang diharamkan berpuasa. Hafshah juga selalu menghidupi malam-malamnya dengan membaca setidaknya setengah Al Qur’an.
Selain beribadah, Hafshah telah menyiapkan kain kafan untuknya. Kain tersebut akan dipakai saat dirinya menunaikan haji atau berihram. Hafshah juga akan memakai kain tersebut pada saat beribadah di 10 hari terakhir Ramadhan. (Baca juga : Inilah Cara Memperlakukan Istri Menurut Syariat )
Hal tersebut dilakukan salah satunya untuk mengingat kematian yang bisa datang kapan saja. Dengan mengingat kematian. Sehingga ia dapat dengan tulus mengharap ampunan dan ridha Allah.
Dikisahkan pula bahwa Hafshah pernah membeli seorang budak perempuan. Budak perempuan itu dimintai pendapat mengenai Hafshah. “Ia adalah wanita saleha, ia merasa memiliki dosa yang besar, maka di seluruh malamnya ia menangis dan salat,” begitu pengakuan budak tersebut.
Selain dikenal akan ahli ibadah, Hafshah juga merupakan sosok yang pintar dan sering kali dimintai pendapat mengenai sebuah permasalahan . Saudaranya, Muhammad bin Sirin pernah ditanyai mengenai suatu hal oleh muridnya, namun ia kesulitan dalam mengambil keputusan. Muhammad pun meminta muridnya untuk datang dan menanyai Hafshah.
“Pergilah kalian kepada Hafshah. Bertanyalah kepadanya bagaimana dia mengkajinya (masalah yang berhubungan dengan Al Qur'an). Sebab, ia bagaikan orang yang telah meminum bahtera keilmuwan yang ada dalam Al Qur’an,” kata Muhammad bin Sirin.
Salah satu perkataan Hafshah yang paling terkenal adalah pesannya bagi para pemuda agar memanfaatkan masa muda mereka dengan beribadah. “Wahai para pemuda, manfaatkanlah masa mudamu. Sesungguhnya aku tidak melihat amal perbuatan (yang dapat dikerjakan dengan baik) kecuali di masa muda,” katanya.
Hafshah sebenarnya dikaruniai seorang anak laki-laki, yaitu Al-Hudzail. Hudzail sangat berbakti kepada ibunya. Namun, Allah memiliki kehendak lain dan Hudzail wafat.
Atas peristiwa ini, Hafshah pun mengenang, "Dia (anakku) memerah susu unta pada pagi hari, kemudian dia mendatangiku dan berkata: 'Minumlah wahai ibu, karena sebaik-baik susu adalah yang berada pada kelenjar susu sejak malam harinya'. Kemudian dia wafat, maka Allah berikan kepadaku kesabaran, walaupun begitu, aku dapati rasa sesak di dadaku, yang hampir aku tidak tenang dengannya."
Hafshah pun kembali berkata, "Tapi pada suatu malam aku pun membaca ayat yang berbunyi 'Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.' (QS an-Nahl: 96), maka sejak saat itu rasa sesak itu hilang."
Hafshah akhirnya wafat pada usia mendekati 70 tahun, tepatnya pada 101 Hijriyah, di Madinah. Semasa hidupnya, Hafshah melahirkan banyak murid yang terkenal dengan keilmuannya seperti Ayub as-Sikhtiyani, Qotadah bin Da'amah as-Sudusi, Hisyam bin Hassan, dan Khalid al-Khadza. Hafshah mengambil riwayat hadis dari saudara laki-lakinya, Yahya, dan dari Anas bin Malik, Ummu Athiyah al-Anshariyah, Rubab Ummu Raih, Abu al-Aliyah, Abu Dzibyan Khalifah bin Ka'ab, Rabi' bin Ziyad al-Haritsi, dan Khairah Ummul Hasan al-Bashri.
Dengan segala kemuliaan yang dimiliki oleh Hafshah, ia pun dinilai sebagai salah satu tabi’in perempuan terbaik ada masanya. Ahli hadis, Abu Daud mengatakan, “Dua pemimpin perempuan tabi’in, mereka adalah Hafshah binti Sirin dan Amrah binti Abdurrahman, dan setelah mereka berdua adalah Ummu Darda.” (Baca juga : Bagaikan Gelas Kaca, Jagalah Hati Istrimu! )
Kisah dari tabi’in Hafshah ini hendaknya menjadi pembelajaraan bagi kita sebagai muslimah agar dapat bersifat zuhud dan senantiasa mengingat kematian.
Wallahu A'lam
(wid)