Makanan Halal: Hukum Daging Binatang Buruan yang Dilukai Anjing
Selasa, 16 Juli 2024 - 15:23 WIB
Daging binatang hasil berburu adalah halal dengan syarat tertentu. Terkait alat berburu, Syaikh Yusuf al-Qardhawi menjelaskan alat yang dipakai ada dua macam. Pertama, alat yang dapat melukai, seperti panah, pedang dan tombak. Kedua, binatang yang dapat melukai karena berkat didikan yang diberikan, seperti anjing, singa, burung elang, rajawali dan sebagainya.
Hal yang pertama yakni alat yang dapat melukai sebagaimana diisyaratkan al-Quran dalam firmanNya:
". . . yang dapat ditangkap oleh tangan-tangan kamu dan tombak-tombak kamu. " ( QS al-Maidah : 94)
Sedangkan binatang yang dapat melukai sebagaimana firman Allah:
"Dihalalkan buat kamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang pemburu yang terdidik, kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah ajarkan kepadamu." ( QS al-Maidah : 4)
Khusus berburu dengan binatang yang melukai, Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993) menjelaskan kalau berburu itu dengan menggunakan anjing, atau burung elang, misalnya, maka yang diharuskan dalam masalah ini ialah sebagai berikut:
1. Binatang tersebut harus dididik.
Binatang tersebut harus memburu untuk kepentingan tuannya. Atau dengan ungkapan yang dipakai al-Quran, yaitu: Hendaknya binatang tersebut menangkap untuk kepentingan tuannya, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri.
Menurut al-Qardhawi, definisi mengajar, sebagaimana yang dikenal, yaitu kemampuan si tuan untuk memberi komando dan mengarahkan, di mana kalau anjing itu diundang akan datang, kalau dilepas untuk berburu dia akan bertahan dan kalau diusir akan pergi --walaupun definisi ini ada sedikit perbedaan antara ahli-ahli fiqih dalam beberapa hal-- tetapi yang terpenting, yaitu pendidikannya itu dapat dibuktikan menurut kebiasaan yang berlaku.
Selanjutnya, definisi menangkap untuk tuannya, yaitu bahwa binatang tersebut tidak makan binatang yang ditangkap itu.
Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
"Kalau kamu melepaskan anjing, kemudian dia makan binatang buruan itu, maka jangan kamu makan dia, sebab berarti dia itu menangkap untuk dirinya sendiri. Tetapi jika kamu lepas dia kemudian dapat membunuh dan tidak makan, maka makanlah karena dia itu menangkap untuk tuannya." (Riwayat Ahmad, dan yang sama dengan hadis ini diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dan Muslim)
Di antara ahli-ahli fikih ada yang membedakan antara binatang buas sebangsa anjing dan burung sebangsa rajawali. Kalau burung itu makan sedikit dari binatang yang ditangkapnya, maka binatang tersebut boleh dimakan, tetapi apa yang dimakan oleh anjing tidak boleh dimakan.
Hikmah kedua persyaratan ini, yaitu: mendidik anjing dan menangkap untuk tuannya, adalah menunjukkan ketinggian martabat manusia dan kebersihan manusia sehingga tidak mau makan kelebihan atau sisa anjing; dan keberanian anjing itu sendiri dapat memungkinkan untuk mempermainkan jiwa-jiwa yang lemah.
Akan tetapi kalau anjing itu terdidik dan dia menangkap untuk tuannya, maka waktu itu dia berkedudukan sebagai alat yang dipakai oleh pemburu yang tak ubahnya dengan tombak.
2. Disebutnya asma' Allah ketika melepas.
Dasar persyaratan ini ialah sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Quran:
Hal yang pertama yakni alat yang dapat melukai sebagaimana diisyaratkan al-Quran dalam firmanNya:
". . . yang dapat ditangkap oleh tangan-tangan kamu dan tombak-tombak kamu. " ( QS al-Maidah : 94)
Sedangkan binatang yang dapat melukai sebagaimana firman Allah:
"Dihalalkan buat kamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang pemburu yang terdidik, kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah ajarkan kepadamu." ( QS al-Maidah : 4)
Khusus berburu dengan binatang yang melukai, Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993) menjelaskan kalau berburu itu dengan menggunakan anjing, atau burung elang, misalnya, maka yang diharuskan dalam masalah ini ialah sebagai berikut:
1. Binatang tersebut harus dididik.
Binatang tersebut harus memburu untuk kepentingan tuannya. Atau dengan ungkapan yang dipakai al-Quran, yaitu: Hendaknya binatang tersebut menangkap untuk kepentingan tuannya, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri.
Menurut al-Qardhawi, definisi mengajar, sebagaimana yang dikenal, yaitu kemampuan si tuan untuk memberi komando dan mengarahkan, di mana kalau anjing itu diundang akan datang, kalau dilepas untuk berburu dia akan bertahan dan kalau diusir akan pergi --walaupun definisi ini ada sedikit perbedaan antara ahli-ahli fiqih dalam beberapa hal-- tetapi yang terpenting, yaitu pendidikannya itu dapat dibuktikan menurut kebiasaan yang berlaku.
Selanjutnya, definisi menangkap untuk tuannya, yaitu bahwa binatang tersebut tidak makan binatang yang ditangkap itu.
Baca Juga
Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
"Kalau kamu melepaskan anjing, kemudian dia makan binatang buruan itu, maka jangan kamu makan dia, sebab berarti dia itu menangkap untuk dirinya sendiri. Tetapi jika kamu lepas dia kemudian dapat membunuh dan tidak makan, maka makanlah karena dia itu menangkap untuk tuannya." (Riwayat Ahmad, dan yang sama dengan hadis ini diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dan Muslim)
Di antara ahli-ahli fikih ada yang membedakan antara binatang buas sebangsa anjing dan burung sebangsa rajawali. Kalau burung itu makan sedikit dari binatang yang ditangkapnya, maka binatang tersebut boleh dimakan, tetapi apa yang dimakan oleh anjing tidak boleh dimakan.
Hikmah kedua persyaratan ini, yaitu: mendidik anjing dan menangkap untuk tuannya, adalah menunjukkan ketinggian martabat manusia dan kebersihan manusia sehingga tidak mau makan kelebihan atau sisa anjing; dan keberanian anjing itu sendiri dapat memungkinkan untuk mempermainkan jiwa-jiwa yang lemah.
Akan tetapi kalau anjing itu terdidik dan dia menangkap untuk tuannya, maka waktu itu dia berkedudukan sebagai alat yang dipakai oleh pemburu yang tak ubahnya dengan tombak.
2. Disebutnya asma' Allah ketika melepas.
Dasar persyaratan ini ialah sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Quran: