Tajdid Penafsiran Al-Qur'an: Pembedaan antara Qath'iy dan Zhanniy
Kamis, 19 September 2024 - 12:28 WIB
Abu Ishaq Al-Syathibi dalam "Al-Muwafaqat, tahqiq Syaikh Abdullah Darraz, Al-Tijariyah Al-Kubra"berpendapat tidak ada atau sedikit sekali yang bersifat qath'iy dalam dalil-dalil syari'at bila yang dimaksud dengannya adalah tidak adanya kemungkinan arti lain bagi satu lafal pada saat ia berdiri sendiri.
"Betapapun terdapat perbedaan pendapat tentang batas pengertian dan bilangan ayat-ayat yang bersifat qath'iy al-dalalah, namun yang jelas apabila satu ayat telah dinilai demikian, maka tidak ada lagi tempat bagi suatu interpretasi baru baginya," ujar Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Membumikan Al-Quran,Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996).
"Adapun yang sifatnya zhanniy, maka ia merupakan lahan garapan para ulama dan pemikir hingga akhir zaman dan dari sinilah kemudian timbul ide pembedaan antara Syari'at dan fiqih," lanjutnya.
Ahmad Abu Al-Majd menulis, "Kita harus menekankan keharusan pembedaan antara Syari'at dan fiqih: Syari'at adalah sesuatu yang langgeng dan ditetapkan berdasarkan nash-nash qath'iy baik dari segi wurud-nya (keaslian sumbernya) maupun dari segi dilalah-nya (pengertiannya); sedangkan fiqih adalah penafsiran terhadap nash-nash."
Selanjutnya ia menekankan: "Kelirulah mereka yang berkata bahwa generasi lampau tidak lagi menyisihkan bagi generasi berikutnya sesuatu apa pun ... Sesungguhnya mereka telah menyisihkan bagi generasi sesudahnya suatu alam/dunia yang berbeda dengan alam/dunia mereka ... Pengalaman-pengalaman baru tidak dapat diabaikan dengan alasan bahwa pengalaman lama dapat mencukupi dan menempati tempatnya."
Nah, kata Quraish Shihab, dalam pengalaman-pengalaman baru inilah dapat timbul penafsiran-penafsiran baru, bahkan kaidah-kaidah baru yang belum dikenal oleh para pendahulu.
Pengalaman masa kini menunjukkan antara lain: (a) Angka kematian dapat ditekan dan rata-rata umur manusia meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.(b) Janin telah dapat diketahui jenis kelaminnya, bahkan manusia telah berada dalam pintu gerbang pemilihan jenis kelamin dan genetics engineering (rekayasa genetis).
Menurut Quraish, dua contoh di atas menjadikan seseorang yang percaya kepada Al-Quran terpaksa meninjau penafsiran ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan Tuhan terhadap manusia serta mafatih al ghayb yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.
"Tentunya bukan yang dimaksud di sini mengabaikan semua hasil penelitian atau pendapat para pendahulu, tetapi prinsip yang sewajarnya dipegang adalahal-muhafazhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlahyakni berpegang kepada yang lama yang baik, dan kepada yang baru yang lebih baik," demikian Quraish Shihab.
Lihat Juga: Sidang MHM di Bahrain, Quraish Shihab Bicara Fenomena Fobia Agama dan Tantangan Perubahan Iklim
"Betapapun terdapat perbedaan pendapat tentang batas pengertian dan bilangan ayat-ayat yang bersifat qath'iy al-dalalah, namun yang jelas apabila satu ayat telah dinilai demikian, maka tidak ada lagi tempat bagi suatu interpretasi baru baginya," ujar Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Membumikan Al-Quran,Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996).
"Adapun yang sifatnya zhanniy, maka ia merupakan lahan garapan para ulama dan pemikir hingga akhir zaman dan dari sinilah kemudian timbul ide pembedaan antara Syari'at dan fiqih," lanjutnya.
Ahmad Abu Al-Majd menulis, "Kita harus menekankan keharusan pembedaan antara Syari'at dan fiqih: Syari'at adalah sesuatu yang langgeng dan ditetapkan berdasarkan nash-nash qath'iy baik dari segi wurud-nya (keaslian sumbernya) maupun dari segi dilalah-nya (pengertiannya); sedangkan fiqih adalah penafsiran terhadap nash-nash."
Selanjutnya ia menekankan: "Kelirulah mereka yang berkata bahwa generasi lampau tidak lagi menyisihkan bagi generasi berikutnya sesuatu apa pun ... Sesungguhnya mereka telah menyisihkan bagi generasi sesudahnya suatu alam/dunia yang berbeda dengan alam/dunia mereka ... Pengalaman-pengalaman baru tidak dapat diabaikan dengan alasan bahwa pengalaman lama dapat mencukupi dan menempati tempatnya."
Nah, kata Quraish Shihab, dalam pengalaman-pengalaman baru inilah dapat timbul penafsiran-penafsiran baru, bahkan kaidah-kaidah baru yang belum dikenal oleh para pendahulu.
Pengalaman masa kini menunjukkan antara lain: (a) Angka kematian dapat ditekan dan rata-rata umur manusia meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.(b) Janin telah dapat diketahui jenis kelaminnya, bahkan manusia telah berada dalam pintu gerbang pemilihan jenis kelamin dan genetics engineering (rekayasa genetis).
Menurut Quraish, dua contoh di atas menjadikan seseorang yang percaya kepada Al-Quran terpaksa meninjau penafsiran ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan Tuhan terhadap manusia serta mafatih al ghayb yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.
"Tentunya bukan yang dimaksud di sini mengabaikan semua hasil penelitian atau pendapat para pendahulu, tetapi prinsip yang sewajarnya dipegang adalahal-muhafazhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlahyakni berpegang kepada yang lama yang baik, dan kepada yang baru yang lebih baik," demikian Quraish Shihab.
Lihat Juga: Sidang MHM di Bahrain, Quraish Shihab Bicara Fenomena Fobia Agama dan Tantangan Perubahan Iklim
(mhy)