Ayat Al-Qur'an Dapat Menjadi Sama-Sama Qath'iy Sekaligus Zhanniy

Senin, 26 Agustus 2024 - 06:07 WIB
loading...
Ayat Al-Quran Dapat...
Keqathiy-an dan ke-zhanniy-an tersebut disebabkan karena seluruh ulama ber-ijma (sepakat) menyatakan kewajiban membasuh kepala dalam berwudhu berdasarkan berbagai argumentasi. Ilustrasi: SINDOnews
A A A
Istilah qath'iy dan zhanniy masing-masing terdiri atas dua bagian, yaitu yang menyangkut al-tsubut (kebenaran sumber) dan al-dalalah (kandungan makna). Prof Dr Quraish Shihab mengatakan bahwa suatu ayat atau hadis mutawatir dapat menjadi qath'iy dan zhanniy pada saat yang sama.

Dalam bukunya berjudul " Membumikan al-Qur'an , Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996), Quraish Shihab mencontohkan firman Allah yang berbunyi Wa imsahu bi ru'usikum adalah qath'iy al-dalalah menyangkut wajibnya membasuh kepala dalam ber-wudhu : Tetapi ia zhanniy al-dalalah dalam hal batas atau kadar kepala yang harus dibasuh.

Menurutnya, keqath'iy-an dan ke-zhanniy-an tersebut disebabkan karena seluruh ulama ber-ijma' (sepakat) menyatakan kewajiban membasuh kepala dalam berwudhu' berdasarkan berbagai argumentasi.



Namun, mereka berbeda pendapat tentang arti dan kedudukan ba' pada lafal bi ru'usikum. Dengan demikian, kedudukan ayat tersebut menjadi qath'iy bi i'tibar wa zhanniy bi i'tibar akhar. Di satu sisi ia menunjuk kepada makna yang pasti, dan di sisi lain ia memberi berbagai alternatif makna.

Quraish Shihab mengatakan dari sini jelas bahwa masalah qath'iy dan zhanniy bermuara kepada sejumlah argumentasi yang maknanya disepakati oleh ulama (mujma' 'alayh), sehingga tidak mungkin lagi timbul makna yang lain darinya kecuali makna yang telah disepakati itu. Bukankah ia telah disepakati bersama?

Dalam hal kesepakatan tersebut, kita perlu mencatat beberapa butir masalah:

a. Walaupun para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan ijma' sebagai dalil, namun agaknya tidak diragukan bahwa para pendahulu (salaf) yang hidup pada abad-abad pertama tentu mempunyai banyak alasan untuk sepakat menetapkan arti suatu ayat sehingga pada akhirnya ia menjadi qath'iy al-dalalah.

"Mengabaikan persepakatan mereka dapat menimbulkan kebingungan dan kesimpangsiuran di kalangan umat," tulis Syaikh Yusuf Qardhawi .



b. Harus disadari bahwa di dalam banyak kitab sering kali ditemukan pernyataan-pernyataan ijma' menyangkut berbagai masalah --akidah atau syariah. Namun, pada hakikatnya, masalah tersebut tidak memiliki ciri ijma'.

Mahmud Syaltut, mengutip tulisan Imam Syafi'i dalam Al-Risalah, menulis demikian: "Saya tidak berkata, dan tidak pula seseorang dari kalangan yang berilmu, bahwa 'Ini mujma' 'alayh' (disepakati), sampai suatu saat Anda tidak bertemu dengan seorang alim pun kecuali semuanya berpendapat sedemikian, yang disampaikan (sumbernya) adalah orang-orang sebelumnya --seperti bahwa salat zuhur adalah empat rakaat, bahwa khamr haram, dan yang semacamnya."

c. Tidak semua alim atau pakar dapat dijadikan rujukan dalam menetapkan kesepakatan (ijma') tersebut. Ibrahim bin 'Umar Al-Biqa'iy (809-885 H) misalnya, tidak mengakui Fakhruddin Al-Raziy sebagai salah seorang yang dapat diterima otoritasnya dalam menetapkan "kesepakatan". Ia menulis demikian: "Tidak dirujuk untuk mengetahui ijma' kecuali para pakar yang mendalami riwayat-riwayat."

d. Umat Islam, termasuk sebagian ulamanya, kerap kali beranggapan bahwa suatu masalah telah menjadi kesepakatan para ulama. Padahal sesungguhnya hal tersebut baru merupakan kesepakatan antar-ulama mazhabnya. Hal ini sekali lagi berarti bahwa yang disepakati ke-qath'iy-annya haruslah diteliti dengan cermat.

(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2079 seconds (0.1#10.140)