4 Versi Asbabun Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 115

Kamis, 03 Oktober 2024 - 14:28 WIB
Informasi-informasi yang ada harus dipilih dengan sikap kritis. Ilustrasi: SINDOnews
SUMBER pengetahuan tentang asbab al-nuzul diperoleh dari penuturan para Sahabat Nabi . Nilai berita itu sendiri sama dengan nilai berita-berita lain yang menyangkut Nabi dan Kerasulan Beliau, yaitu berita-berita Hadis. Karena itu bersangkut pula persoalan kuat dan lemahnya berita itu, shahih dan dhaif; serta otentik dan palsunya.

Semua ini menjadi wewenang cabang ilmu kritik hadis (ilmu tajrih dan ta'dil) para ahli. Dan seperti halnya persoalan hadis pada umumnya, penuturan atau berita tentang suatu sebab turunnya wahyu tertentu juga dapat beraneka ragam, sejalan dengan keaneka ragaman sumber berita. Maka tidak perlu lagi ditegaskan bahwa informasi-informasi yang ada harus dipilih dengan sikap kritis.

Sebagai misal ialah berita tentang sebab turunnya firman yang Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 115:

"Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka kemanapun kamu menghadapkan wajahmu, di sanalah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Meliputi dan Maha Tahu". ( QS. al-Baqarah/2 :115).



Berdasarkan penuturan Jabil ibn 'Abd-Allah, al-Wahidi al-Nisaburi menerangkan tentang adanya beberapa versi tentang sebab turunnya firman terrsebut, sehingga implikasinya juga dapat menyangkut beberapa situasi yang berbeda.

Pertama: Firman ini turun kepada Nabi berkaitan dengan adanya peristiwa yang dialami sekelompok orang beriman yang mengadakan perjalanan di malam hari yang gelap gulita. Pagi harinya mereka baru menyadari bahwa semalam mereka bersembahyang dengan menghadap ke arah yang salah, tidak ke kiblat.

Kemudian mereka bertanya kepada Nabi berkenaan dengan apa yang mereka alami itu. Maka turunlah ayat suci itu, yang menegaskan bahwa kemanapun seseorang menghadapkan wajahnya, ia sebenarnya juga menghadap Tuhan, karena Tuhan tidak terikat oleh ruang dan waktu, sehingga Tuhanpun "ada di mana-mana, timur ataupun barat."

Akan tetapi karena konteks turunnya firman itu bersangkutan dengan peristiwa tertentu di atas, tidaklah berarti dalam sembahyang seorang muslim dapat menghadap kemanapun ia suka. Ia harus menghadap ke kiblat yang sah, yaitu arah al-Masjid al-Haram di Makkah. Tetapi ia dibenarkan menghadap mana saja dalam salat jika ia tidak tahu arah yang benar, atau kalau karena kondisi tertentu tidak mungkin baginya menghadap ke arah yang benar.



Kedua, berdasarkan penuturan Abd 'l-Lah ibn 'Umar, seseorang boleh melakukan salat sunnah ke mana pun di atas kendaraannya. Tapi firman itu juga menegaskan bahwa sembahyang menghadap ke mana pun dalam keadaan darurat, apalagi jika sembahyang itu bukan sembahyang wajib, melainkan sunah, tidaklah menjadi persoalan. Sebab yang penting ialah nilai salat itu sendiri sebagai tindakan mendekatkan diri kepada Allah dan mengasah jiwa untuk lebih bertakwa kepada-Nya.

Menghadap kiblat yang telah ditentukan, yaitu al-Masjid al-Haram di Makkah, sekalipun dalam keadaan normal diwajibkan, tidaklah menyangkut sebenarnya nilai shalat itu. Kiblat itu hanya sebagai lambang orientasi hidup yang benar dan konsisten serta kesatuan orientasi itu antara seluruh umat Islam sedunia.

Kita sendiri mengetahui betapa efektifnya simbolisasi kiblat ini, dengan dampak kesamaan yang menakjubkan antara seluruh kaum muslim di muka bumi ini dalam hal peribadatan. Kalangan bukan Islam biasanya merasa heran, mungkin tidak akan dapat mengerti, mengapa terdapat kesamaan yang demikian besar dan jauh di antara seluruh umat Islam di dunia dalam hal salat dan peribadatan lain.

Dalam agama lain, perbedaan sangat terasa dari sekte ke sekte lain, juga dari bangsa atau negeri ke bangsa atau negeri lain meskipun dari satu sekte.



Walaupun kiblat sebagai lambang persatuan dan kesamaan itu demikian pentingnya, namun berdasarkan firman Allah yang menegaskan bahwa kemanapun kita menghadapkan wajah kita maka di sanalah wajah Allah, tidaklah dibenarkan adanya tekanan yang serba mutlak atas kewajiban menghadapkan wajah ke Makkah, sebab tekanan serupa itu akan membawa kepada sikap lebih mementingkan lambang atau simbol daripada isi atau makna.

Meskipun lambang dan makna harus ada secara serentak, namun dari ayat suci itu jelas sekali bahwa segi makna adalah lebih penting daripada segi lambang.

Ketiga, pandangan lain, berdasarkan penuturan 'Abd 'l-Lah ibn 'Abbas, ayat suci di atas itu turun berkenaan dengan adanya pertanyaan kepada Nabi, mengapa mereka diperintahkan untuk melakukan salat jenazah bagi Raja Najasyi (Negus) dari Abessinia (Habasyah, Ethiopia), yang semasa hidupnya (sebagai seorang Kristen) bersembahyang menghadap kiblat yang berbeda dengan kiblat mereka sendiri, kaum Muslim.

Najasyi adalah raja Habasyah yang besar sekali jasanya kepada Nabi, kaum muslim dan agama Islam, karena perlindungan yang diberikannya kepada para pengikut Nabi yang berhijrah ke negeri itu untuk menghindar dari penyiksaan kaum musyrik Makkah.

Halaman :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Apabila seseorang berkata kepada saudaranya 'Wahai kafir', maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya.

(HR. Bukhari No. 5638)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More