3 Jenis Perbedaan Pandangan Masalah Takwil Ayat-Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat

Minggu, 17 November 2024 - 10:51 WIB
Masalah muhkamat dan mutasyabihat itu setidak-tidaknya menimbulkan tiga jenis perbedaan pandangan. Ilustrasi: AI
SALAHsatu pokok perselisihan di kalangan umat Islam yang terkait erat dengan masalah takwil ini ialah adanya ayat-ayat suci al-Qur'an yang "bermakna jelas atau pasti" (muhkamat) dan yang "bermakna samar atau tidak pasti" (mutasyabihat, yakni, yang interpretable).

Adanya kedua jenis ayat itu, disebutkan dalam Kitab Suci sendiri sebagai berikut:

"Dia (Tuhan) yang telah menurunkan kepada engkau (Muhammad) Kitab Suci, yang di dalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat yang merupakan induk Kitab Suci (Umm al-Kitab), dan ayat-ayat lain yang mutasyabihat. Ada pun orang-orang yang dalam hatinya terdapat keserongan, mereka akan mengikuti bagian-bagian yang tersamar (mutasyabihat) daripadanya, dengan tujuan membuat fitnah (perpecahan) dan mencari takwil bagian-bagian tersamar itu. Padahal tidak mengetahui takwil-nya kecuali Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya maka akan menyatakan, "Kami percaya kepada Kitab Suci itu; semuanya dari sisi Tuhan kami." Dan tidaklah akan dapat merenung (menangkap pesan) kecuali orang-orang yang berpengertian mendalam." [ QS. 'All 'Imran 3:7)



Nurcholish Madjid dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" menyebutmasalah muhkamat dan mutasyabihat itu setidak-tidaknya menimbulkan tiga jenis perbedaan pandangan:

Pertama, perbedaan pandangan tentang mana saja ayat-ayat suci yang muhkamat, dan mana pula yang mutasyabihat. Karena perselisihan ini maka ada ayat-ayat suci yang bagi suatu kelompok umat Islam bersifat muhkamat, namun bagi kelompok lain bersifat mutasyabihat.

Firman-firman berkenaan dengan surga dan neraka, misalnya, bagi kebanyakan kaum Muslim bersifat muhkamat, tapi bagi sebagian mereka, seperti golongan al-Bathiniyyun, bersifat mutasyabihat sehingga pelukisan tentang surga dan neraka itu mereka pahami sebagai metafor-metafor atau kias-kias, yang tak mesti menunjuk pada hakikatnya.

Kedua, perbedaan pandangan tentang boleh atau tidaknya melakukan takwil terhadap ayat-ayat yang mutasyabihat itu. Sebagian kelompok Islam membolehkannya, sehingga dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat itu, harus dilakukan interpretasi di balik ungkapan-ungkapan lahiriah.

Sebagian lagi yang tidak membolehkannya, berpendapat dalam memahami ayat-ayat itu kita harus berhenti pada makna-makna seperti yang dibawakan ungkapan lahiriah lafal dan kalimatnya. Termasuk dalam permasalahan ini ialah problema homonimi (Arab: ism musytarak, kata-kata berserikat), seperti kata-kata "mendengar," "mengetahui," "melihat,', "tangan", "marah," "senang"' dan lain-lain yang dalam Kitab Suci disebutkan sebagai sifat-sifat Tuhan, padahal kata-kata atau sifat-sifat itu juga dapat diberlakukan kepada makhluk, khususnya manusia.



Maka pelukisan itu mengesankan bahwa Tuhan dan manusia "berserikat" dalam beberapa sifat dan kelengkapan, dan ini menimbulkan problema. Mereka yang melakukan interpretasi (karena beranggapan bahwa Tuhan mustahil memiliki kualitas-kualitas yang sama dengan manusia) akan memandang ayat-ayat yang bersangkutan dengan itu sebagai metafor-metafor belaka, sedangkan kenyataan tidaklah seperti yang dikesankan pengertian lahir firman-firman itu.

Mereka yang tidak membenarkan interpretasi akan melihat firman-firman itu seperti adanya, dengan memberi penegasan bahwa Tuhan memiliki kualitas-kualitas itu "tanpa bagaimana."

Ketiga, bagi mereka yang membolehkan interpretasi, masih terdapat perselisihan tentang siapa yang harus melakukan interpretasi itu. Karena interpretasi bukanlah pekerjaan yang gampang, maka sangat masuk akal bahwa hak untuk melakukannya harus dibatasi hanya pada lingkungan yang memenuhi syarat, antara lain pengetahuan yang luas dan kemampuan berpikir yang mendalam.

Ini membawa konsekuensi terbaginya anggota masyarakat manusia kepada kelompok-kelompok khusus (khawas, al-khawash) dan kelompok-kelompok umum (awam, al-'awam). Yang pertama adalah "kaum ahli," dan yang kedua terdiri dari "orang-orang kebanyakan."

(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Handlalah bin Ali bahwa Mihjan bin Al Adra' telah menceritakan kepadanya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke dalam masjid, lalu beliau mendapati seorang laki-laki membaca tasyahud seusai shalat yang mengucapkan: Allahumma inni as'aluka Ya Allah Al Ahad As Shamad alladzii lam yalid wa lam yuulad walam yakul lahuu kufuwan ahad antaghfira lii dzunuubi innaka antal ghafuurur rakhiim (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, Dzat yang Maha Esa, Dzat yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, tiada beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia, semoga Engkau mengampuni dosa-dosaku, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  Maka beliau bersabda: Sungguh dosa-dosanya telah di ampuni, Sungguh dosa-dosanya telah di ampuni, Sungguh dosa-dosanya telah di ampuni.

(HR. Sunan Abu Dawud No. 835)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More