Bolehkah Non-muslim Ikut Buka Puasa Bersama?
Senin, 10 Maret 2025 - 17:30 WIB
Menjelang buka puasa biasanya masyarakat berburu takjil untuk menu buka puasa, kemeriahan waktu berbuka ini juga dinikmati kalangan nonmuslim dengan ikut mencari takjil. Foto ilustrasi/okezone
Bolehkah non muslim ikut buka puasa bersama? Tentang hal ini, Syekh Muhammad Shalih al-Munajjid seperti dilansir islamqa menjelaskan dibolehkan menyantap makanan berbuka puasa bersama non muslim, jika hal itu ada dampak positif dari sisi syari'at .
Seperti mendakwahkan mereka agar masuk agama yang benar atau mengikat hati-hati mereka kepada Islam atau yang semisal itu. Diharapkan kehadiran mereka di tempat-tempat yang telah disediakan oleh orang Islam untuk berbuka secara umum. Sebagaimana yang ada di sebagian negara.
Namun, jika tujuannya hanya sekadar ingin dekat dengan mereka atau senang berteman dengan mereka, maka hal ini sangat berbahaya sekali. Karena aqidah wala (loyalitas) dan bara' (berlepas diri) merupakan ushul (pokok) agama yang sangat ditekankan, dan merupakan kewajiban pertama bagi orang-orang mukmin. Prinsip ini (wala dan bara') memiliki landasan dari kitabullah dan hadis-hadis Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antaranya adalah firman Allah:
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS. Al-Mujadilah: 22).
Firman Allah (lainnya) :
Yaaa aiyuhal laziina aamanuu laa tattakhizul kaafiriina awliyaaa'a min duunil mu'miniin; aturii duuna an taj'aluu lillaahi 'alaikum sultaanam mubiinaa
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?” (QS. An-Nisa: 144).
Firman Allah juga:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah: 51).
Dan firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Ali Imran: 118).
Dari sini, maka tergantung niatan berkumpul dalam berbuka yang menentukan hukumnya.
Artinya, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sungguh Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Pada ayat ini, kita dapat melihat sababun nuzulnya terlebih dahulu. Ibnu Ajibah membawa riwayat sebagai berikut.
Artinya, “Diriwayatkan bahwa Qutailah binti Abdul Uzza (ketika musyrik) mendatangi anaknya, Asma binti Abu Bakar dengan membawa hadiah. Tetapi Asma tidak menerima pemberian ibunya dan tidak mengizinkan ibunya masuk rumah. Lalu turunlah ayat itu (Al-Mumtahanah ayat 8-9). Rasulullah SAW lalu meminta Asma untuk menerima pemberian ibunya, menghormati dan memuliakan ibunya,” (Lihat Ibnu Ajibah, Tafsir Al-Bahrul Madid).
Wallahu A'lam
Seperti mendakwahkan mereka agar masuk agama yang benar atau mengikat hati-hati mereka kepada Islam atau yang semisal itu. Diharapkan kehadiran mereka di tempat-tempat yang telah disediakan oleh orang Islam untuk berbuka secara umum. Sebagaimana yang ada di sebagian negara.
Namun, jika tujuannya hanya sekadar ingin dekat dengan mereka atau senang berteman dengan mereka, maka hal ini sangat berbahaya sekali. Karena aqidah wala (loyalitas) dan bara' (berlepas diri) merupakan ushul (pokok) agama yang sangat ditekankan, dan merupakan kewajiban pertama bagi orang-orang mukmin. Prinsip ini (wala dan bara') memiliki landasan dari kitabullah dan hadis-hadis Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antaranya adalah firman Allah:
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS. Al-Mujadilah: 22).
Firman Allah (lainnya) :
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَتَّخِذُوا الۡكٰفِرِيۡنَ اَوۡلِيَآءَ مِنۡ دُوۡنِ الۡمُؤۡمِنِيۡنَ ؕ اَ تُرِيۡدُوۡنَ اَنۡ تَجۡعَلُوۡا لِلّٰهِ عَلَيۡكُمۡ سُلۡطٰنًا مُّبِيۡنًا
Yaaa aiyuhal laziina aamanuu laa tattakhizul kaafiriina awliyaaa'a min duunil mu'miniin; aturii duuna an taj'aluu lillaahi 'alaikum sultaanam mubiinaa
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?” (QS. An-Nisa: 144).
Firman Allah juga:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah: 51).
Dan firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Ali Imran: 118).
Dari sini, maka tergantung niatan berkumpul dalam berbuka yang menentukan hukumnya.
Pergaulan Muslim dan Nonmuslim
Dalam Islam, pergaulan antara Muslim dan non-Muslim tidak dipermasalahkan. Pada Surat Al-Mumtahanah ayat 8-9, Allah SWT menegaskan bagaimana seharusnya hubungan Muslim dan non-Muslim.ولذا قال تعالى: لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9)
Artinya, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sungguh Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Pada ayat ini, kita dapat melihat sababun nuzulnya terlebih dahulu. Ibnu Ajibah membawa riwayat sebagai berikut.
رُوِي أن « قُتَيلةَ بنت عبد العزى » قَدِمَتْ مشركة على بنتها « أسماء بنت أبي بكر » رضي الله عنه ، بهدايا ، فلم تقبلها ، ولم تأذن لها بالدخول فنزلت ، وأمرها رسولُ الله صلى الله عليه وسلم أن تقبل منها ، وتُكرمها ، وتُحسن إليها
Artinya, “Diriwayatkan bahwa Qutailah binti Abdul Uzza (ketika musyrik) mendatangi anaknya, Asma binti Abu Bakar dengan membawa hadiah. Tetapi Asma tidak menerima pemberian ibunya dan tidak mengizinkan ibunya masuk rumah. Lalu turunlah ayat itu (Al-Mumtahanah ayat 8-9). Rasulullah SAW lalu meminta Asma untuk menerima pemberian ibunya, menghormati dan memuliakan ibunya,” (Lihat Ibnu Ajibah, Tafsir Al-Bahrul Madid).
Wallahu A'lam
(wid)
Lihat Juga :