Mengembalikan Kemuliaan Nuzulul Qur'an dengan Kesalehan Ritual dan Sosial

Rabu, 19 Maret 2025 - 16:01 WIB
Warga menunggu waktu berbuka puasa atau ngabuburit dengan membaca Al-Quran di Masjid Istiqlal, Jakarta, Minggu (16/3/2025). Foto/Aldhi Chandra Setiawan
JAKARTA - Bagi umat Islam, bulan Ramadan tidak hanya dimaknai sebagai waktu untuk melakukan ibadah puasa. Namun juga diperingati sebagai bulan turunnya Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad yaitu Nuzulul Qur'an.

Turunnya wahyu Ilahi bagi Bani Adam ini ditujukan untuk memperbaiki akhlak manusia, khususnya bagi kaum muslim. Terasa begitu ironis ketika di bulan Ramadan pula seringkali terdengar pihak-pihak tertentu melakukan kekerasan.



Guru Besar UIN Alauddin Makassar, Prof Dr H Muammar Bakry menjelaskan pentingnya menghayati peristiwa Nuzulul Qur'an agar tidak hanya menjadi rutinitas tahunan semata. Seharusnya, hikmah Nuzulul Qur'an bisa selalu ada pada diri seorang muslim dengan mengamalkan akhlakul karimah, terlepas dimana dan kapan dirinya berada.

“Jika peringatan Nuzulul Qur'an hanya sekadar berulang sebagai rutinitas formal tanpa memberi efek dalam kehidupan kita sebagai umat Islam, baik secara personal maupun komunal, maka tentu itu tidak sesuai dengan harapan dan pesan dari hikmah Nuzulul Qur'an itu sendiri. Seharusnya, hikmah Nuzulul Qur'an itu tidak lagi melihat sekat waktu dan tempat, namun turunnya Alquran ditunjukkan dengan esensinya yang segera kita amalkan dengan sebaik-baiknya,” terang Muammar Bakry, Rabu (19/3/2025).

Dalam konteks Indonesia, ujar Muammar, menjadi pertanyaan besar: Apakah Al-Qur'an sudah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari? Dengan begitu, barulah terasa bahwa Al-Qur'an benar-benar turun.

Jangan sampai turunnya Al-Qur'an hanya sekadar formalitas pelaksanaan acara yang dilaksanakan di tempat tertentu. Yang paling mendasar adalah hikmahnya bagi kita: Apakah Al-Qur'an bisa dimalkan? Itulah arti turunnya Al-Qur'an yang sebenarnya bagi pribadi dan bagi bangsa ini.



Muammar Bakry berpendapat, bahwa kepandaian atau kepiawaian secara ritual dalam beragama akan pula meningkatkan kesalehan seorang individu dalam perilaku sosialnya. Sayangnya, masih banyak sekali orang atau kelompok yang mengaku paling beragama, justru sering membuat kegaduhan di masyarakat dengan memaksakan versi kebenarannya terhadap orang atau kelompok lainnya.

“Seharusnya ritual ibadah yang dilakukan dengan baik dan memahami hakikat dari ibadah tersebut pasti akan berdampak secara sosial. Jadi tidak ada orang yang ibadahnya bagus tetapi kemudian menampilkan sikap egois; itu berarti tidak ada pengaruh dan dampak positif dari ibadah tersebut,” tambahnya.

Ia menguraikan, Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa setiap ibadah, apakah itu haji, salat, zakat, dan lain-lain, harus dilihat dari efek sosial yang bisa dihasilkan.

“Artinya, puasa atau salat tarawih misalnya, kita lihat dampak positifnya setelah Ramadan. Apakah perilaku sosialnya semakin baik atau justru semakin mengganggu orang lain? Hal ini harus dilihat setelah bulan Ramadan berakhir,” jelas Muammar Bakry.

Sebagai seorang akademisi dan juga ulama yang sering menyoroti isu toleransi dan kerukunan antargolongan, Muammar Bakry pun berharap agar Ramadan yang juga bertepatan dengan perayaan Nyepi ini bisa memberi hikmah bagi semua umat beragama.

Menurutnya, berdekatannya Idul Fitri dengan Nyepi seharusnya membuat umat Islam dan Hindu bisa saling menghargai dalam merayakannya.

“Umat Islam akan lebih nampak syiarnya dengan banyak kegiatan, terutama menjelang Lebaran. Di sisi lain, Hari Raya Nyepi diharapkan bisa menyampaikan pesan untuk membendung diri dari kegiatan-kegiatan yang melibatkan keramaian. Namun, intinya baik Hari Raya Idul Fitri maupun Hari Raya Nyepi diharapkan dapat menggugah jiwa spiritual umat beriman untuk berimplikasi positif pada kepedulian sosial mereka. Itulah inti sebenarnya dari kedua hari raya tersebut,” paparnya.

Lebih lanjut, ia kembali menegaskan pentingnya menjaga kemuliaan Ramadan. Menurutnya, umat Islam secara keseluruhan perlu lebih mawas diri, karena sebenarnya banyak tindakan yang merusak makna bulan Ramadan justru datang dari orang Islam itu sendiri.

“Perlu menjadi perhatian bagi kita mengenai kondisi yang ada di Indonesia. Misalnya, dalam bulan Ramadan, lebih banyak sebenarnya orang Islam sendiri yang melakukan tindakan yang merusak kemuliaan bulan suci Ramadan. Hampir semua pelaku sabung ayam dan minuman keras itu justru orang Muslim,” ujar Muammar Bakry.

Di sisi lain, lanjutnya seringkali non-Muslim justru sangat menghargai orang-orang Muslim yang berpuasa. Bahkan jarang terdengar tindakan-tindakan yang meresahkan masyarakat dilakukan oleh non-Muslim saat bulan Ramadan.

“Jangan sampai umat Islam sendiri yang merusak kemuliaan bulan suci Ramadan,” tandasnya.
(shf)
Lihat Juga :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
cover top ayah
وَاِذۡ قَالَ اللّٰهُ يٰعِيۡسَى ابۡنَ مَرۡيَمَ ءَاَنۡتَ قُلۡتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُوۡنِىۡ وَاُمِّىَ اِلٰهَيۡنِ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰهِ‌ؕ قَالَ سُبۡحٰنَكَ مَا يَكُوۡنُ لِىۡۤ اَنۡ اَقُوۡلَ مَا لَـيۡسَ لِىۡ بِحَقٍّ‌ؕ اِنۡ كُنۡتُ قُلۡتُهٗ فَقَدۡ عَلِمۡتَهٗ‌ؕ تَعۡلَمُ مَا فِىۡ نَفۡسِىۡ وَلَاۤ اَعۡلَمُ مَا فِىۡ نَفۡسِكَ‌ؕ اِنَّكَ اَنۡتَ عَلَّامُ الۡغُيُوۡبِ‏
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah? (Isa) menjawab, Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.

(QS. Al-Maidah Ayat 116)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More