Tiga Tingkatan Puasa Menurut Al-Ghazali
Senin, 04 Mei 2020 - 15:37 WIB
IBADAH puasa berbeda dengan ibadah lainnya. Ia sangat bersifat rahasia. Tidak ada yang mengetahui kelangsungan puasa seseorang, kecuali pelakunya dan Allah SWT.
Meskipun ada orang yang terlihat makan sahur dan buka puasa bersama kita, itu bukan jaminan bahwa dia telah berpuasa seharian. Bisa saja di waktu siang dia makan tanpa sepengetahuan orang.
Karenanya, puasa dikatakan amanah. Sebuah amanah haruslah dilangsungkan dan dikerjakan. Terlebih lagi yang memberi amanah itu Allah SWT.
Pemberian amanah puasa ini tentu bukan tanpa maksud. Ada banyak hikmah dan rahasia di dalamnya. Tidak semua orang mengerti tujuan dari ibadah puasa. Makanya, tak heran bila ada yang puasa, tetapi dia tidak mengerti dan menerima dampak positif dari ibadah yang dilakukan.
Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin membagi tiga tingkatan puasa yaitu puasa umum, puasa khusus, dan puasa paling khusus.
Yang dimaksud puasa umum ialah menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Puasa khusus ialah menahan telinga, pendengaran, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari dosa. Sementara puasa paling khusus adalah menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT. Untuk puasa yang ketiga ini (shaumu khususil khusus) disebut batal bila terlintas dalam hati pikiran selain Allah SWT dan hari akhir.
Tiga tingkatan ini disusun berdasarkan sifat orang yang mengerjakan puasa. Ada orang puasa hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi perbuatan maksiat tetap dilakukannya. Inilah puasa orang awam.
Pada umumnya, mereka mendefenisikan puasa sebatas menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa secara zahir.
Puasa awam dianggap sebagai gerbangnya puasa. Untuk mencapai tingkat puasa khusus, muslim harus melalui puasa awam terlebih dahulu.
Tingkatan puasa selanjutnya adalah puasa khusus. Puasanya orang-orang saleh. Mereka lebih maju dibandingkan orang awam, sebab mereka paham bahwa puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari melakukan dosa.
Selain memperhatikan aspek fisik, puasa khusus juga berusaha mencegah pandangan, penglihatan, lidah, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan dosa.
Percuma berpuasa, bila masih terus melakukan maksiat. Karenanya, kelompok ini menilai maksiat menjadi pembatal puasa.
Orang yang berada pada tingkat khusus memiliki kesadaran untuk selalu menahan keinginan-keinginan lahiriah yang berupa anggota-anggota badan dengan kenikmatan yang diinginkan oleh anggota tersebut. Tujuan untuk menemukan kenikmatan yang sebenarnya adalah ketenangan batin.
Menurut Imam Ghazali, pada hakikatnya puasa sebagai media untuk bisa dekat dengan Allah SWT dan hal tersebut benar-benar berfungsi apabila orang yang melaksanakan puasa dilandasi oleh kemauan yang kuat dan motivasi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah melalui cara mengalahkan keinginan-keinginan yang bersifat lahiriah.
Tingkatan puasa yang terakhir adalah puasa khususul khusus atau puasa paling khusus. Puasa model ini hanya dikerjakan oleh orang-orang tertentu. Hanya sedikit orang yang sampai pada tahap ini. Pasalnya, selain menahan lapar dan haus dan menahan diri untuk tidak bermaksiat, mereka juga memfokuskan pikirannya untuk selalu mengingat Allah SWT.
Bahkan, pikiran selain Allah SWT dan pikiran terhadap dunia dianggap merusak dan membatalkan puasa.
Puasa khususul khusus hanya bisa dicapai oleh anbiya (para Nabi), shiddiqin, serta auliya’. Umat Islam yang ingin sampai pada tahap ini harus melalui dua tahap puasa yang sebelumnya. Pada tingkat khususul khusus, kesadaran untuk menahan nafsu tidak hanya sampai pada batas lahiriah namun juga sampai pada hati dan batin.
Dari tingkatan ini, kita mengetahui bahwa ibadah puasa merupakan kesempatan terbesar untuk melatih diri kita supaya lebih baik dari sebelumnya.
Meskipun ada orang yang terlihat makan sahur dan buka puasa bersama kita, itu bukan jaminan bahwa dia telah berpuasa seharian. Bisa saja di waktu siang dia makan tanpa sepengetahuan orang.
Karenanya, puasa dikatakan amanah. Sebuah amanah haruslah dilangsungkan dan dikerjakan. Terlebih lagi yang memberi amanah itu Allah SWT.
Pemberian amanah puasa ini tentu bukan tanpa maksud. Ada banyak hikmah dan rahasia di dalamnya. Tidak semua orang mengerti tujuan dari ibadah puasa. Makanya, tak heran bila ada yang puasa, tetapi dia tidak mengerti dan menerima dampak positif dari ibadah yang dilakukan.
Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin membagi tiga tingkatan puasa yaitu puasa umum, puasa khusus, dan puasa paling khusus.
Yang dimaksud puasa umum ialah menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Puasa khusus ialah menahan telinga, pendengaran, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari dosa. Sementara puasa paling khusus adalah menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT. Untuk puasa yang ketiga ini (shaumu khususil khusus) disebut batal bila terlintas dalam hati pikiran selain Allah SWT dan hari akhir.
Tiga tingkatan ini disusun berdasarkan sifat orang yang mengerjakan puasa. Ada orang puasa hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi perbuatan maksiat tetap dilakukannya. Inilah puasa orang awam.
Pada umumnya, mereka mendefenisikan puasa sebatas menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa secara zahir.
Puasa awam dianggap sebagai gerbangnya puasa. Untuk mencapai tingkat puasa khusus, muslim harus melalui puasa awam terlebih dahulu.
Tingkatan puasa selanjutnya adalah puasa khusus. Puasanya orang-orang saleh. Mereka lebih maju dibandingkan orang awam, sebab mereka paham bahwa puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari melakukan dosa.
Selain memperhatikan aspek fisik, puasa khusus juga berusaha mencegah pandangan, penglihatan, lidah, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan dosa.
Percuma berpuasa, bila masih terus melakukan maksiat. Karenanya, kelompok ini menilai maksiat menjadi pembatal puasa.
Orang yang berada pada tingkat khusus memiliki kesadaran untuk selalu menahan keinginan-keinginan lahiriah yang berupa anggota-anggota badan dengan kenikmatan yang diinginkan oleh anggota tersebut. Tujuan untuk menemukan kenikmatan yang sebenarnya adalah ketenangan batin.
Menurut Imam Ghazali, pada hakikatnya puasa sebagai media untuk bisa dekat dengan Allah SWT dan hal tersebut benar-benar berfungsi apabila orang yang melaksanakan puasa dilandasi oleh kemauan yang kuat dan motivasi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah melalui cara mengalahkan keinginan-keinginan yang bersifat lahiriah.
Tingkatan puasa yang terakhir adalah puasa khususul khusus atau puasa paling khusus. Puasa model ini hanya dikerjakan oleh orang-orang tertentu. Hanya sedikit orang yang sampai pada tahap ini. Pasalnya, selain menahan lapar dan haus dan menahan diri untuk tidak bermaksiat, mereka juga memfokuskan pikirannya untuk selalu mengingat Allah SWT.
Bahkan, pikiran selain Allah SWT dan pikiran terhadap dunia dianggap merusak dan membatalkan puasa.
Puasa khususul khusus hanya bisa dicapai oleh anbiya (para Nabi), shiddiqin, serta auliya’. Umat Islam yang ingin sampai pada tahap ini harus melalui dua tahap puasa yang sebelumnya. Pada tingkat khususul khusus, kesadaran untuk menahan nafsu tidak hanya sampai pada batas lahiriah namun juga sampai pada hati dan batin.
Dari tingkatan ini, kita mengetahui bahwa ibadah puasa merupakan kesempatan terbesar untuk melatih diri kita supaya lebih baik dari sebelumnya.
(mhy)