Paniknya Kekuasaan Menurut Al-Qur'an
Selasa, 22 Desember 2020 - 15:44 WIB
Ustaz Shamsi Ali
Imam di Kota New York USA
Presiden Nusantara Foundation
Sebuah opini atau pendapat yang disampaikan baik secara lisan atau tulisan, tidak selalu harus dimaknai sebagai serangan kepada orang-orang tertentu. Apalagi jika tafsiran itu terbangun di atas asumsi-asumsi politis.
Al-Qur'an sendiri penuh dengan cerita masa lalu alias sejarah. Sejarah itu penting. Karena dengan sejarah manusia belajar untuk berubah dan menjadi lebih baik di masa kini dan mendatang. (Baca Juga: Cara Rasulullah Memimpin Pemerintahan Kedepankan Tawazun)
Salah satu sejarah yang sering terulang dalam Al-Qur'an adalah sejarah kekuasaan di masa lalu. Ada kekuasaan yang berkarakter "ketakwaan". Yaitu kekuasaan yang terbangun di atas nilai-nilai kebenaran (Al-Haq), kejujuran (al-Amanah), dan keadilan (al-Adl).
Tapi tidak sedikit pula kekuasaan yang terbangun di atas karakter "Fujuur" (penyelewengan dan dosa). Kekuasaan ini penuh dengan ketidakjujuran dan kebohongan, ketidakadilan (kezholiman), bahkan kekejaman dan kebiadaban.
Lalu, menurut sejarah juga Allah Yang Maha Rahman selalu menghadirkan dari kalangan hamba-hambaNya sendiri untuk mengoreksi kekuasaan fujuur (korup) itu. Nabi Musa 'alaihissalam diutus kepada Fir’aun, Nabi Ibrahim kepada Namrud, dan seterusnya.
Dalam usaha mengoreksi kekuasaan itulah tidak jarang terjadi resistensi keras dari kekuasaan korup itu. Bahkan sering terjadi pembungkaman, represi bahkan eliminasi (pembunuhan). Ada dengan cara kasar dan terbuka. Tidak jarang juga dengan senyuman, bahkan keluguan.
Tapi ada satu fakta sejarah yang perlu diingat. Bahwa opresi atau kezaliman dan kekejaman penguasa kepada rakyatnya terkadang bukan karena mereka kuat dan hebat. Sebaliknya, justru karena kepanikan, ketakutan, kelemahan, bahkan awal dari kejatuhan.
Kapan dan kenapa Fir'aun tenggelam di laut Merah (Red Sea)?
Kapan dan kenapa Namrud terbunuh oleh seekor nyamuk?
Kapan dan kenapa Tsamud binasa?
Kapan, kenapa dan bagaimana para penguasa zholim dalam sejarah hidup manusia mengalami kehancurannya?
Al-Qur'an memberikan jawaban yang pasti. Bahwa kebinasaan dan kehancuran kekuasaan zhalim dan keji itu terjadi di saat rintihan dan suara rakyat kecil tidak lagi terhiraukan. Di saat mereka yang lemah dan terzholimi mengadukan nasib mereka ke Penguasa langit dan bumi.
Di saat-saat seperti itulah tabir Samawi akan terbuka. Lalu antara doa-doa dan rintihan mereka dan Allah tiada lagi yang membatasi. Allah akan membuka pintu-pintu “nushroh” samawi yang wujudnya kadang di luar jangkauan logika manusia.
Seringkali juga Allah tidak secara langsung menghabisi mereka. Justru diberi kesempatan demi kesempatan untuk sadar. Ini yang dikenal dalam istilah Al-Quran dengan "Al-istidraaj". Fir'aun misalnya diingatkan berkali-kali dengan berbagai bentuk peringatan (azab). Tapi peringatan itu tidak dihiraukan. Hingga pada akhirnya ditenggelamkan oleh Allah di laut merah.
Tenggelamnya Fir'aun menjadi indikasi langsung bahwa kekuasaan itu, sekuat apapun, jika kehilangan amanah dan keadilan akan tenggelam. Bisa secara fisik. Boleh juga secara non fisik. Secara fisik mungkin dengan terjungkalnya sang penguasa. Boleh juga tenggelam secara popularitas dan kecintaan publik. Yang pada akhirnya dibenci oleh rakyatnya sebenci-bencinya.
Karakter Fir'aun yang keras kepala di hadapan berbagai peringatan mengindikasikan bahwa harapan untuk penguasa zholim berubah itu sangat kecil. Apalagi jika penguasa itu dikelilingi oleh berbagai pihak yang memang kuat dan punya kepentingan. Fir’aun misalnya dikelilingi oleh Haman sang penjilat kekuasaan dan Qarun yang memiliki kepentingan ekonomi.
Dalam situasi seperti itu hanya intervensi Ilahi yang diharapkan. Dengan rintihan dan doa-doa tulus dari mereka yang "mahzluumiin" (terzholimi) Allah akan membuka pintu langit dengan ta'yiid (penguatan) dan "nashrun" (pertolongan) untuk mereka.
Imam di Kota New York USA
Presiden Nusantara Foundation
Sebuah opini atau pendapat yang disampaikan baik secara lisan atau tulisan, tidak selalu harus dimaknai sebagai serangan kepada orang-orang tertentu. Apalagi jika tafsiran itu terbangun di atas asumsi-asumsi politis.
Al-Qur'an sendiri penuh dengan cerita masa lalu alias sejarah. Sejarah itu penting. Karena dengan sejarah manusia belajar untuk berubah dan menjadi lebih baik di masa kini dan mendatang. (Baca Juga: Cara Rasulullah Memimpin Pemerintahan Kedepankan Tawazun)
Salah satu sejarah yang sering terulang dalam Al-Qur'an adalah sejarah kekuasaan di masa lalu. Ada kekuasaan yang berkarakter "ketakwaan". Yaitu kekuasaan yang terbangun di atas nilai-nilai kebenaran (Al-Haq), kejujuran (al-Amanah), dan keadilan (al-Adl).
Tapi tidak sedikit pula kekuasaan yang terbangun di atas karakter "Fujuur" (penyelewengan dan dosa). Kekuasaan ini penuh dengan ketidakjujuran dan kebohongan, ketidakadilan (kezholiman), bahkan kekejaman dan kebiadaban.
Lalu, menurut sejarah juga Allah Yang Maha Rahman selalu menghadirkan dari kalangan hamba-hambaNya sendiri untuk mengoreksi kekuasaan fujuur (korup) itu. Nabi Musa 'alaihissalam diutus kepada Fir’aun, Nabi Ibrahim kepada Namrud, dan seterusnya.
Dalam usaha mengoreksi kekuasaan itulah tidak jarang terjadi resistensi keras dari kekuasaan korup itu. Bahkan sering terjadi pembungkaman, represi bahkan eliminasi (pembunuhan). Ada dengan cara kasar dan terbuka. Tidak jarang juga dengan senyuman, bahkan keluguan.
Tapi ada satu fakta sejarah yang perlu diingat. Bahwa opresi atau kezaliman dan kekejaman penguasa kepada rakyatnya terkadang bukan karena mereka kuat dan hebat. Sebaliknya, justru karena kepanikan, ketakutan, kelemahan, bahkan awal dari kejatuhan.
Kapan dan kenapa Fir'aun tenggelam di laut Merah (Red Sea)?
Kapan dan kenapa Namrud terbunuh oleh seekor nyamuk?
Kapan dan kenapa Tsamud binasa?
Kapan, kenapa dan bagaimana para penguasa zholim dalam sejarah hidup manusia mengalami kehancurannya?
Al-Qur'an memberikan jawaban yang pasti. Bahwa kebinasaan dan kehancuran kekuasaan zhalim dan keji itu terjadi di saat rintihan dan suara rakyat kecil tidak lagi terhiraukan. Di saat mereka yang lemah dan terzholimi mengadukan nasib mereka ke Penguasa langit dan bumi.
Di saat-saat seperti itulah tabir Samawi akan terbuka. Lalu antara doa-doa dan rintihan mereka dan Allah tiada lagi yang membatasi. Allah akan membuka pintu-pintu “nushroh” samawi yang wujudnya kadang di luar jangkauan logika manusia.
Seringkali juga Allah tidak secara langsung menghabisi mereka. Justru diberi kesempatan demi kesempatan untuk sadar. Ini yang dikenal dalam istilah Al-Quran dengan "Al-istidraaj". Fir'aun misalnya diingatkan berkali-kali dengan berbagai bentuk peringatan (azab). Tapi peringatan itu tidak dihiraukan. Hingga pada akhirnya ditenggelamkan oleh Allah di laut merah.
Tenggelamnya Fir'aun menjadi indikasi langsung bahwa kekuasaan itu, sekuat apapun, jika kehilangan amanah dan keadilan akan tenggelam. Bisa secara fisik. Boleh juga secara non fisik. Secara fisik mungkin dengan terjungkalnya sang penguasa. Boleh juga tenggelam secara popularitas dan kecintaan publik. Yang pada akhirnya dibenci oleh rakyatnya sebenci-bencinya.
Karakter Fir'aun yang keras kepala di hadapan berbagai peringatan mengindikasikan bahwa harapan untuk penguasa zholim berubah itu sangat kecil. Apalagi jika penguasa itu dikelilingi oleh berbagai pihak yang memang kuat dan punya kepentingan. Fir’aun misalnya dikelilingi oleh Haman sang penjilat kekuasaan dan Qarun yang memiliki kepentingan ekonomi.
Dalam situasi seperti itu hanya intervensi Ilahi yang diharapkan. Dengan rintihan dan doa-doa tulus dari mereka yang "mahzluumiin" (terzholimi) Allah akan membuka pintu langit dengan ta'yiid (penguatan) dan "nashrun" (pertolongan) untuk mereka.