Tidak Bersedih dengan Kematian Ulama Berarti Munafik?
Jum'at, 15 Januari 2021 - 14:54 WIB
Ustaz Ahmad Zarkasih
Pengajar Rumah Fiqih Indonesia
من لم يحزن بموت العالم فهو منافق
"Siapa yang tidak bersedih dengan kematian seorang ulama maka ia termasuk munafik."
Seorang teman bertanya tentang hadis ini, mungkin karena sekarang banyak yang menyampaikan terkait wafatnya salah seorang ulama besar -rahimahullah-. Beliau menanyakan apakah benar ini hadis, kalau memang benar hadis bagaimana derajat keshahihannya?
Kalau yang ditanya apakah ini hadis? Apa derajatnya? Jelas ini bukan hadis, Wallahu A'lam. Karena sepanjang pencarian, tidak ada kitab-kitab hadis yang meriwayatkan redaksi seperti ini.
Lalu, siapa yang pertama kali mempopulerkan hadis ini? Sepengetahuan penulis, qoul ini dipopulerkan oleh Imam Nawawi Al-Jawi (Tanara, Banten) dalam kitabnya "Maroqil-'ubudiyah" [مراقي العبودية]. Kitab ini adalah syarah (penjelasan) dari kitab "Bidayah Al-Hidayah" [بداية الهداية], karangan Imam Al-Ghozali.
Kitab Bidayah Hidayah itu kecil dan tipis, berisi tentang adab-adab seorang muslim dari mulai bangun tidur sampai meninggal dunia, yang ditinjau dari segi tasawwuf. Termasuk di dalamnya bab keutamaan ilmu dan ulama.
Tentu kita mnegenal kitab fenomenal karangan Imam Ghozali; Ihya' Ulum Al-Diin [إحياء علوم الدين]. Bisa dibilang Kitab bidayah Hidayah itu kitab resensinya, kitab yang isinya sama seperti kitab ihya' tapi dengan penjelasan yang lebih singkat dan padat. Karena setiap akhir pembahasan bab, Imam Ghozali selalu mengatakan:
وهذا قد بيناه تفصيلا في كتابنا الإحياء, فمن أراد قليراجع
"Dan pembahasan ini telah kami bahasa secara rinci dalam kitab kami, Ihya'. Siapa yang ingin menambah keterangan, hendaklah ia merujuknya".
Ketika membahas keutamaan ilmu dan ulama, Imam Nawawi mengeluarkan "hadis" itu. Sayangnya beliau tidak menuliskan sanad ataupun nama perawinya. Jadi cukup sulit bagi para penuntut ilmu untuk mencari rujukan hadits ini (kalau memang benar hadits) dalam kitab-kitab hadits yang masyhur.
Lalu Bagaimana Menyikapinya?
Prinsip seorang muslim, kalau itu dari Nabi maka harus sam'an wa thoatan (dengar dan mentaati). Akan tetapi kalau itu bukan dari Nabi, maka boleh diambil dan boleh juga menolak kalau memang tidak ada kebaikannya. Akan tetapi kalau ada kebaikan dalam pernyataan tersebut kenapa tidak diambil manfaatnya?
Walaupun itu bukan hadis, tapi kalau dilihat lebih jauh lagi, pernyataan itu ada benarnya juga. Maksudnya memang sangat layak kita bersedih jika ada seorang ulama yang meninggal dunia.
Ulama itu para ahli waris Nabi, dan Nabi tidak mewarisi apa-apa kecuali ilmu. Berarti memang ulama itu jalan kita untuk menuju apa yang diajarkan oleh Nabi karena para ulama itu semua yang terwarisi ilmu Nabi صلى الله عليه وسلم.
Makin banyak ulama yang meninggal, makin banyak pula nantinya ilmu yang tidak tersampaikan kepada ummat. Akhirnya banyak yang tidak paham agama, tidak punya penuntun yang menuntunnya dalam masalah agama karena ahli warisnya terhenti.
Masa iya kita tidak bersedih dengan terputusnya ilmu? Dan kematian ulama itu adalah salah satu cara Allah mengangkat ilmuNya dari bumi. Sebagaimana hadits Nabi صلى الله عليه وسلم:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Pengajar Rumah Fiqih Indonesia
من لم يحزن بموت العالم فهو منافق
"Siapa yang tidak bersedih dengan kematian seorang ulama maka ia termasuk munafik."
Seorang teman bertanya tentang hadis ini, mungkin karena sekarang banyak yang menyampaikan terkait wafatnya salah seorang ulama besar -rahimahullah-. Beliau menanyakan apakah benar ini hadis, kalau memang benar hadis bagaimana derajat keshahihannya?
Kalau yang ditanya apakah ini hadis? Apa derajatnya? Jelas ini bukan hadis, Wallahu A'lam. Karena sepanjang pencarian, tidak ada kitab-kitab hadis yang meriwayatkan redaksi seperti ini.
Lalu, siapa yang pertama kali mempopulerkan hadis ini? Sepengetahuan penulis, qoul ini dipopulerkan oleh Imam Nawawi Al-Jawi (Tanara, Banten) dalam kitabnya "Maroqil-'ubudiyah" [مراقي العبودية]. Kitab ini adalah syarah (penjelasan) dari kitab "Bidayah Al-Hidayah" [بداية الهداية], karangan Imam Al-Ghozali.
Kitab Bidayah Hidayah itu kecil dan tipis, berisi tentang adab-adab seorang muslim dari mulai bangun tidur sampai meninggal dunia, yang ditinjau dari segi tasawwuf. Termasuk di dalamnya bab keutamaan ilmu dan ulama.
Tentu kita mnegenal kitab fenomenal karangan Imam Ghozali; Ihya' Ulum Al-Diin [إحياء علوم الدين]. Bisa dibilang Kitab bidayah Hidayah itu kitab resensinya, kitab yang isinya sama seperti kitab ihya' tapi dengan penjelasan yang lebih singkat dan padat. Karena setiap akhir pembahasan bab, Imam Ghozali selalu mengatakan:
وهذا قد بيناه تفصيلا في كتابنا الإحياء, فمن أراد قليراجع
"Dan pembahasan ini telah kami bahasa secara rinci dalam kitab kami, Ihya'. Siapa yang ingin menambah keterangan, hendaklah ia merujuknya".
Ketika membahas keutamaan ilmu dan ulama, Imam Nawawi mengeluarkan "hadis" itu. Sayangnya beliau tidak menuliskan sanad ataupun nama perawinya. Jadi cukup sulit bagi para penuntut ilmu untuk mencari rujukan hadits ini (kalau memang benar hadits) dalam kitab-kitab hadits yang masyhur.
Lalu Bagaimana Menyikapinya?
Prinsip seorang muslim, kalau itu dari Nabi maka harus sam'an wa thoatan (dengar dan mentaati). Akan tetapi kalau itu bukan dari Nabi, maka boleh diambil dan boleh juga menolak kalau memang tidak ada kebaikannya. Akan tetapi kalau ada kebaikan dalam pernyataan tersebut kenapa tidak diambil manfaatnya?
Walaupun itu bukan hadis, tapi kalau dilihat lebih jauh lagi, pernyataan itu ada benarnya juga. Maksudnya memang sangat layak kita bersedih jika ada seorang ulama yang meninggal dunia.
Ulama itu para ahli waris Nabi, dan Nabi tidak mewarisi apa-apa kecuali ilmu. Berarti memang ulama itu jalan kita untuk menuju apa yang diajarkan oleh Nabi karena para ulama itu semua yang terwarisi ilmu Nabi صلى الله عليه وسلم.
Makin banyak ulama yang meninggal, makin banyak pula nantinya ilmu yang tidak tersampaikan kepada ummat. Akhirnya banyak yang tidak paham agama, tidak punya penuntun yang menuntunnya dalam masalah agama karena ahli warisnya terhenti.
Masa iya kita tidak bersedih dengan terputusnya ilmu? Dan kematian ulama itu adalah salah satu cara Allah mengangkat ilmuNya dari bumi. Sebagaimana hadits Nabi صلى الله عليه وسلم:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا