MUI: Pemerintah Tak Boleh Memaksakan Penyelenggaraan Haji
Kamis, 29 April 2021 - 16:32 WIB
JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) mengingatkan pemerintah untuk menjaga keselamatan jiwa jamaah haji sebelum memberangkatkan ke Tanah Suci. Pemerintah tidak boleh memaksakan menyelenggarakan ibadah haji jika memang risiko penularan Covid-19 cukup tinggi.
"Dalam konteks ibadah haji, sekali pun Pemerintah Arab saudi membuka haji dan Indonesia mendapatkan porsi, tetap harus diperhatikan potensi menularkan atau tidak. Negara boleh memberikan pembatasan serta meminimalisirkan kontak," ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am seperti dikutip dari laman resmi Kemenag, Kamis (29/04/2021).
Jika seandainya Arab Saudi membuka haji untuk Indonesia, tetapi menurut pendekatan kesehatan potensi tinggi terhadap penularan dan mutasi virus lebih ganas, maka pemerintah tidak boleh memaksakan penyelenggaraan haji. "Biarkan regulasi istitha'ah yang diterapkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama," katanya.
Baca juga: Begini Alur Pergerakan Jamaah Jika Haji 1442 H Digelar di Masa Pandemi
Ia pun menjelaskan tiga pandangan tafsir terkait istitha'ah. Pertama, pandangan Imam Syafi'i dan Ahmad Bin Hanbal yang berpendapat istitha'ah hanya menyangkut dalam bidang biaya.
Dalam pandangan ini, orang yang tidak dapat melaksanakan haji tetapi ia mempunyai biaya untuk melaksanakan haji, maka dianggap sudah memenuhi kriteria istitha'ah. "Oleh karena itu ia wajib membiayai orang lain untuk menghajikannya," kata Ni'am.
Kedua, pandangan Imam malik yang berpendapat istitha'ah menyangkut kesehatan badan. Orang yang secara fisik tidak dapat melaksanakan haji sendiri, tidak dipandang sudah memenuhi kriteria istitha'ah.
Baca juga: Soal Kepastian Pelaksanaan Ibadah Haji 2021, Ini Penjelasan Kemenag
Meskipun ia memiliki sejumlah harta yang cukup untuk membiayai orang lain untuk menghajikannya, karena itu dia belum berkewajiban menunaikan haji, baik sendiri maupun dengan membiayai orang lain jika tidak sehat.
"Yang ketiga, menurut Abu Hanafiah. Istitha'ah pada dasarnya meliputi dalam bidang biaya dan kesehatan badan," katanya.
Selain itu, Niam menjelaskan, tiga produk MUI yang dapat dijadikan referensi dalam pelaksanaan haji saat pandemi.
"MUI memiliki 3 tiga produk yang menjadi referensi yaitu: pertama, keputusan ijtima ulama komisi fatwa MUI tahun 2018 tentang istithaah kesehatan haji, kedua fatwa MUI tentang pemakaian masker bagi orang yang sedang ihram, dan terakhir fatwa MUI tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah Covid-19," kata Niam.
"Dalam konteks ibadah haji, sekali pun Pemerintah Arab saudi membuka haji dan Indonesia mendapatkan porsi, tetap harus diperhatikan potensi menularkan atau tidak. Negara boleh memberikan pembatasan serta meminimalisirkan kontak," ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am seperti dikutip dari laman resmi Kemenag, Kamis (29/04/2021).
Jika seandainya Arab Saudi membuka haji untuk Indonesia, tetapi menurut pendekatan kesehatan potensi tinggi terhadap penularan dan mutasi virus lebih ganas, maka pemerintah tidak boleh memaksakan penyelenggaraan haji. "Biarkan regulasi istitha'ah yang diterapkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama," katanya.
Baca juga: Begini Alur Pergerakan Jamaah Jika Haji 1442 H Digelar di Masa Pandemi
Ia pun menjelaskan tiga pandangan tafsir terkait istitha'ah. Pertama, pandangan Imam Syafi'i dan Ahmad Bin Hanbal yang berpendapat istitha'ah hanya menyangkut dalam bidang biaya.
Dalam pandangan ini, orang yang tidak dapat melaksanakan haji tetapi ia mempunyai biaya untuk melaksanakan haji, maka dianggap sudah memenuhi kriteria istitha'ah. "Oleh karena itu ia wajib membiayai orang lain untuk menghajikannya," kata Ni'am.
Kedua, pandangan Imam malik yang berpendapat istitha'ah menyangkut kesehatan badan. Orang yang secara fisik tidak dapat melaksanakan haji sendiri, tidak dipandang sudah memenuhi kriteria istitha'ah.
Baca juga: Soal Kepastian Pelaksanaan Ibadah Haji 2021, Ini Penjelasan Kemenag
Meskipun ia memiliki sejumlah harta yang cukup untuk membiayai orang lain untuk menghajikannya, karena itu dia belum berkewajiban menunaikan haji, baik sendiri maupun dengan membiayai orang lain jika tidak sehat.
"Yang ketiga, menurut Abu Hanafiah. Istitha'ah pada dasarnya meliputi dalam bidang biaya dan kesehatan badan," katanya.
Selain itu, Niam menjelaskan, tiga produk MUI yang dapat dijadikan referensi dalam pelaksanaan haji saat pandemi.
"MUI memiliki 3 tiga produk yang menjadi referensi yaitu: pertama, keputusan ijtima ulama komisi fatwa MUI tahun 2018 tentang istithaah kesehatan haji, kedua fatwa MUI tentang pemakaian masker bagi orang yang sedang ihram, dan terakhir fatwa MUI tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah Covid-19," kata Niam.
(abd)