Ketika Abu Nawas dengan Sukarela Masuk ke Penjara
Senin, 31 Mei 2021 - 08:48 WIB
Baginda Raja Harun Al Rasyid mempunyai dua orang putra. Pertama bernama Al Amin yang kedua bernama Al Ma'mun. Al Amin ternyata sangat bodoh dan pemalas. Sedang Al Ma'mun terkenal rajin dan pintar dalam bidang ilmu sastra.
Raja sangat menyukai Al Ma'mun karena kecerdasannya tersebut. Ini tentu membuat sang permaisuri tidak suka, lantaran sang Raja dianggap pilih kasih. Padahal keduanya sama-sama putranya. "Suamiku kenapa tidak begitu menyayangi Al Amin?" tanya sang permaisuri suatu ketika.
"Karena ia tidak bisa membuat syair dan tidak kenal dengan ilmu sastra," jawab sang Raja.
“Suamiku, sebenarya kalau mau Al Amin akan lebih menguasai ilmu sastra daripada saudaranya. Sebenarnya ia lebih cerdas. Ia hanya malas saja," tutur permaisuri membela Al Amin.
"Apa buktinya?."
"Baik, tidak lama lagi Baginda akan melihat buktinya," ucap permaisuri yakin.
Pada suatu siang sang permaisuri memanggil putranya Al Amin.
"Aku baru saja berdebat dengan ayahmu mengenai dirimu," kata sang permaisuri kepada putranya tersebut. "Aku tidak rela kamu dipandang sebelah mata dan dibanding-bandingkan dengan kakakmu. Karena itu kamu harus bisa menandinginya. Mulai sekarang kamu harus tekun mempelajari ilmu sastra, supaya menjadi seorang penyair yang hebat."
Sorenya Al Amin pergi meninggalkan istana menuju ke sebuah tempat yang sunyi. Di tempat itulah ia mencoba mengasah pikirannya yang bebal. Ia berusaha menulis bait-bait syair tanpa seorang guru atau tanpa bimbingan siapapun. Beberapa minggu kemudian setelah merasa mampu menguasai ilmu sastra dan menulis bait bait syair, Al-Amin pulang ke istana.
"Jadi kamu sekarang sudah bisa menulis syair, putraku?" tanya sang permaisuri Zubaidah ketika menyambut kedatangan putranya tersebut dengan gernbira.
"Sudah," jawab Al Amin.
"Kalau begitu biar besok aku panggil Abu Nawas untuk menguji karya syairmu."
Esoknya pagi-pagi sekali Abu Nawas sudah muncul di istana memenuhi panggilan sang permaisuri.
"Abu Nawas, coba kamu dengarkan karya syair putraku ini," kata sang permaisuri dengan bangga.
"Baik, silahkan," kata Abu Nawas.
Al Amin lalu membacakan beberapa bait syair sebagai berikut
"Kami adalah keturunan Bani Abbas. Kami duduk di atas kursi"
Abu Nawas hampir tidak sanggup menahan tawanya mendengar syair tersebut.
Raja sangat menyukai Al Ma'mun karena kecerdasannya tersebut. Ini tentu membuat sang permaisuri tidak suka, lantaran sang Raja dianggap pilih kasih. Padahal keduanya sama-sama putranya. "Suamiku kenapa tidak begitu menyayangi Al Amin?" tanya sang permaisuri suatu ketika.
"Karena ia tidak bisa membuat syair dan tidak kenal dengan ilmu sastra," jawab sang Raja.
“Suamiku, sebenarya kalau mau Al Amin akan lebih menguasai ilmu sastra daripada saudaranya. Sebenarnya ia lebih cerdas. Ia hanya malas saja," tutur permaisuri membela Al Amin.
"Apa buktinya?."
"Baik, tidak lama lagi Baginda akan melihat buktinya," ucap permaisuri yakin.
Pada suatu siang sang permaisuri memanggil putranya Al Amin.
"Aku baru saja berdebat dengan ayahmu mengenai dirimu," kata sang permaisuri kepada putranya tersebut. "Aku tidak rela kamu dipandang sebelah mata dan dibanding-bandingkan dengan kakakmu. Karena itu kamu harus bisa menandinginya. Mulai sekarang kamu harus tekun mempelajari ilmu sastra, supaya menjadi seorang penyair yang hebat."
Sorenya Al Amin pergi meninggalkan istana menuju ke sebuah tempat yang sunyi. Di tempat itulah ia mencoba mengasah pikirannya yang bebal. Ia berusaha menulis bait-bait syair tanpa seorang guru atau tanpa bimbingan siapapun. Beberapa minggu kemudian setelah merasa mampu menguasai ilmu sastra dan menulis bait bait syair, Al-Amin pulang ke istana.
"Jadi kamu sekarang sudah bisa menulis syair, putraku?" tanya sang permaisuri Zubaidah ketika menyambut kedatangan putranya tersebut dengan gernbira.
"Sudah," jawab Al Amin.
"Kalau begitu biar besok aku panggil Abu Nawas untuk menguji karya syairmu."
Esoknya pagi-pagi sekali Abu Nawas sudah muncul di istana memenuhi panggilan sang permaisuri.
"Abu Nawas, coba kamu dengarkan karya syair putraku ini," kata sang permaisuri dengan bangga.
"Baik, silahkan," kata Abu Nawas.
Al Amin lalu membacakan beberapa bait syair sebagai berikut
"Kami adalah keturunan Bani Abbas. Kami duduk di atas kursi"
Abu Nawas hampir tidak sanggup menahan tawanya mendengar syair tersebut.