Begini Cara Tobat Setelah Menuduh Orang Zina dan Ghibah
Jum'at, 11 Juni 2021 - 10:35 WIB
Bagaimana cara bertobat disebabkan dosa dengan sesama manusia, seperti ghibah dan menuduh zina? Haruskah cukup meminta maaf saja?
Dari Imam Ahmad ada dua riwayat pendapatnya dalam masalah hukum qadzaf. Apakah orang yang menuduh zina (qadzif) itu ketika bertobat disyaratkan melakukan hal ini: memberitahukan tindakannya kepada orang yang ia tuduhkan, dan kemudian meminta maaf dari perbuatannya itu atau tidak? Dan nantinya disimpulkan pula dari kedua hal itu tentang cara tobat orang yang berghibah dan mencela
Dalam mazhab Syafi'i, Abi Hanifah dan Malik, disyaratkan untuk memberitahukan detail kezalimannya dan meminta maaf atas perbuatannya itu. Seperti disebutkan oleh sahabat-shahabat mereka dalam kitab-kitab mereka.
Kitab at Taubat Ila Allah karya Yusuf al Qardhawi dan diterjemahkan Abdul Hayyie al Kattani terbitan Maktabah Wahbah, Kairo (1998) menjelaskan orang yang mensyaratkan pemberitahuan dan meminta maaf itu berdalil: karena dosa itu adalah hak manusia, maka hak itu tidak hilang kecuali dengan meminta maaf dari dosa tertentu itu dan meminta dibebaskan darinya.
Kemudian kelompok ulama yang tidak menganggap sah pembersihan diri tanpa menjelaskan detail kesalahannya itu, mensyaratkan agar ia memberitahukan masalahnya secara jelas. Seperti ia berkata: aku telah mengecam dan mencela dirimu, aku telah mengejekmu, atau juga aku telah berghibah dan menyebut keburukanmu.
Terutama jika orang yang melanggar hak orang lain itu mengetahui kadar haknya, maka ia harus memberitahukan orang yang ia zalimi itu kadar haknya itu. Karena orang itu mungkin tidak akan memaafkanya jika ia tahu kadar kejahatan yang telah dilakukan orang itu terhadapnya.
Dan ia berkata kepadanya: aku telah berlaku zalim kepadamu dan aku telah mengghibah dirimu selama sepuluh tahun.
Ia mungkin dapat memaafkannya atas ghibahnya sekali atau beberapa kali, namun ia tidak dapat memaafkannya jika ia mengghibahnya sampai bertahun-tahun.
Mereka berdalil atas pendapat itu dengan sabda Rasulullah SAW: "Barangsiapa yang telah melakukan kezaliman kepada suadaranya, baik harta maupun harga diri, maka pada hari ini hendaklah ia meminta dibebaskan, sebelum datang hari tidak berguna padanya dinar dan dirham, kecuali kebaikan dengan keburukan".
Karena dalam suatu dosa ada dua hak: hak Allah SWT dan hak manusia. Maka tobat dari dosa itu adalah dengan meminta maaf kepada manusia karena hak orang itu atasnya; dan dengan menyesali perbuatan itu untuk menghapus dosa di hadapan Allah SWT, karena hak Allah SWT atasnya.
Oleh karena itu, dosa orang yang membunuh tidak dapat sempurna kecuali dengan memberikan dirinya kepada wali korbannya; jika mereka mau, mereka dapat mengqishashnya; dan jika tidak, mereka dapat memaafkannya. Demikian juga tobat perampok.
Pendapat yang lain mengatakan: tidak disyaratkan dalam tobat itu memberitahukan kejahatan apa yang telah ia lakukan kepadanya, apakah itu tentang kehormatan diri, mengqazafnya atau mengghibahnya. Namun ia cukup bertobat kepada Allah SWT, kemudian menyebutkan orang yang pernah ia ghibahkan atau ia qadzaf dengan kebalikan ghibah dan qadzaf itu, sehingga ghibahnya berganti dengan pujian, dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Dari qadzaf berganti menjadi menyebut kebersihan dirinya, dan menjaga kehormatan dirinya, serta ia memintakan istighfar baginya sesuai dengan kadar ghibahnya atasnya.
Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Taimiah.
Orang yang berpendapat dengan pendapat ini berdalil bahwa dengan memberitahukannya hanya akan membawa kemafsadatan yang lebih besar, dan tidak pula menjamin akan tercapai kemaslahatan, karena hal itu hanya akan menambah kesal dan sakit hati saja.
Barangkali orang itu berada dalam ketentraman sebelum mendengar itu, namun ketika ia mendengarnya, justru ia menjadi gelisah dan marah hingga tidak mampu menahannya, dan akhirnya membuat bahaya bagi diri dan tubuhnya.
Jika demikian, maka syari'ah tidak membenarkannya, apalagi sampai mewajibkan dan memerintahkannya.
Mereka berkata:
Dari Imam Ahmad ada dua riwayat pendapatnya dalam masalah hukum qadzaf. Apakah orang yang menuduh zina (qadzif) itu ketika bertobat disyaratkan melakukan hal ini: memberitahukan tindakannya kepada orang yang ia tuduhkan, dan kemudian meminta maaf dari perbuatannya itu atau tidak? Dan nantinya disimpulkan pula dari kedua hal itu tentang cara tobat orang yang berghibah dan mencela
Dalam mazhab Syafi'i, Abi Hanifah dan Malik, disyaratkan untuk memberitahukan detail kezalimannya dan meminta maaf atas perbuatannya itu. Seperti disebutkan oleh sahabat-shahabat mereka dalam kitab-kitab mereka.
Kitab at Taubat Ila Allah karya Yusuf al Qardhawi dan diterjemahkan Abdul Hayyie al Kattani terbitan Maktabah Wahbah, Kairo (1998) menjelaskan orang yang mensyaratkan pemberitahuan dan meminta maaf itu berdalil: karena dosa itu adalah hak manusia, maka hak itu tidak hilang kecuali dengan meminta maaf dari dosa tertentu itu dan meminta dibebaskan darinya.
Kemudian kelompok ulama yang tidak menganggap sah pembersihan diri tanpa menjelaskan detail kesalahannya itu, mensyaratkan agar ia memberitahukan masalahnya secara jelas. Seperti ia berkata: aku telah mengecam dan mencela dirimu, aku telah mengejekmu, atau juga aku telah berghibah dan menyebut keburukanmu.
Terutama jika orang yang melanggar hak orang lain itu mengetahui kadar haknya, maka ia harus memberitahukan orang yang ia zalimi itu kadar haknya itu. Karena orang itu mungkin tidak akan memaafkanya jika ia tahu kadar kejahatan yang telah dilakukan orang itu terhadapnya.
Dan ia berkata kepadanya: aku telah berlaku zalim kepadamu dan aku telah mengghibah dirimu selama sepuluh tahun.
Ia mungkin dapat memaafkannya atas ghibahnya sekali atau beberapa kali, namun ia tidak dapat memaafkannya jika ia mengghibahnya sampai bertahun-tahun.
Mereka berdalil atas pendapat itu dengan sabda Rasulullah SAW: "Barangsiapa yang telah melakukan kezaliman kepada suadaranya, baik harta maupun harga diri, maka pada hari ini hendaklah ia meminta dibebaskan, sebelum datang hari tidak berguna padanya dinar dan dirham, kecuali kebaikan dengan keburukan".
Karena dalam suatu dosa ada dua hak: hak Allah SWT dan hak manusia. Maka tobat dari dosa itu adalah dengan meminta maaf kepada manusia karena hak orang itu atasnya; dan dengan menyesali perbuatan itu untuk menghapus dosa di hadapan Allah SWT, karena hak Allah SWT atasnya.
Oleh karena itu, dosa orang yang membunuh tidak dapat sempurna kecuali dengan memberikan dirinya kepada wali korbannya; jika mereka mau, mereka dapat mengqishashnya; dan jika tidak, mereka dapat memaafkannya. Demikian juga tobat perampok.
Pendapat yang lain mengatakan: tidak disyaratkan dalam tobat itu memberitahukan kejahatan apa yang telah ia lakukan kepadanya, apakah itu tentang kehormatan diri, mengqazafnya atau mengghibahnya. Namun ia cukup bertobat kepada Allah SWT, kemudian menyebutkan orang yang pernah ia ghibahkan atau ia qadzaf dengan kebalikan ghibah dan qadzaf itu, sehingga ghibahnya berganti dengan pujian, dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Dari qadzaf berganti menjadi menyebut kebersihan dirinya, dan menjaga kehormatan dirinya, serta ia memintakan istighfar baginya sesuai dengan kadar ghibahnya atasnya.
Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Taimiah.
Orang yang berpendapat dengan pendapat ini berdalil bahwa dengan memberitahukannya hanya akan membawa kemafsadatan yang lebih besar, dan tidak pula menjamin akan tercapai kemaslahatan, karena hal itu hanya akan menambah kesal dan sakit hati saja.
Barangkali orang itu berada dalam ketentraman sebelum mendengar itu, namun ketika ia mendengarnya, justru ia menjadi gelisah dan marah hingga tidak mampu menahannya, dan akhirnya membuat bahaya bagi diri dan tubuhnya.
Jika demikian, maka syari'ah tidak membenarkannya, apalagi sampai mewajibkan dan memerintahkannya.
Mereka berkata: