Surat Yasin Ayat 51-52: Ditiupnya Sangkakala Awal Proses Hari Kebangkitan
Kamis, 13 Januari 2022 - 15:28 WIB
Surat Yasin ayat 51-52 mengungkap proses makhluk hidup dibangkitkan dari tempat peristirahatan mereka. Jika ayat sebelumnya mengisahkan bagaimana proses mematikan adalah perkara mudah bagi Allah SWT, maka begitupun pada surah Yasin ayat 51-52 ini dijelaskan bahwa mudah bagi Allah SWT untuk membangkitkan mereka kembali.
Allah SWT berfiman:
Lalu ditiuplah sangkakala, maka seketika itu mereka keluar dari kuburnya (dalam keadaan hidup), menuju kepada Tuhannya.
Mereka berkata, “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya). (QS Yasin : 51-52)
Menurut Qurthubi dalam tafsinya "Jami’ al-Ahkam" secara bahasa kata نَفَخَ dalam bermakna tiupan. Konteks ayat ini menerangkan bahwa proses tiupan ada dua, tiupan pertama adalah untuk mematikan/memusnahkan sebagaimana dalam Surat az-Zumar : 68, Allah berfirman:
Dan sangkakala pun ditiup, maka matilah semua (makhluk) yang di langit dan di bumi kecuali mereka yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sekali lagi (sangkakala itu) maka seketika itu mereka bangun (dari kuburnya) menunggu (keputusan Allah).
Sedangkan tiupan kedua adalah untuk menghidupkan, seperti yang diterangkan dalam ayat 51 ini, dan dalam surah an-Naml [27] :87. Jarak antara dua tiupan tersebut 40 tahun lamanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatadah yang dikutip oleh Qurthubi.
Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah menggambarkan kondisi umat yang ingkar ketika itu kalang-kabut bercampur heran dan cemas. Bagaimana tidak, sebelumnya mereka mati, dan seketika mereka kembali hidup. Sama halnya dengan umat-umat terdahulu yang sudah lama mati, mereka semua dibangkitkan kembali dari peristirahatan (kubur-kubur) tanpa terkecuali. Lalu kemanakah tujuan mereka?
Menurut Ath-Thabari dan Ibnu ‘Asyur, mereka dibangkitkan dari kuburan mereka, kemudian menuju Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka selama di dunia. Kata يَنْسِلوْن sama dengan kata النَّسَلاَن yang berarti berjalan dengan sangat cepat. Yang berarti mereka berjalan menghadap Allah dengan tergesa-gesa.
Sambil berjalan, mereka masih terheran-heran berbicara satu sama lain, bahkan menurut Zuhaili mereka seakan sedang bermimpi. Ekspresi tersebut tampak pada redaksi yang digunakan yakni, “yaa wailanaa” (يَا وَيْلَنَا) “celakalah kami”.
Menurut Quraish Shihab, kata ini diucap sebagai ekspresi seseorang yang telah bertemu peristiwa besar/hebat, baik yang sifanya menggembirakan atau menyedihkan. Seperti kata yang diucapkan oleh siti Hajar (Istri Ibrahim) untuk melukis kegembiraan atas kelahiran anak, padahal ia dan suami sudah amat tua. Redaksi yang digunakan Hajar adalah (يَاوَيْلَتَى) sebagimana dalam Surat Hud ayat 72:
Dia (istrinya) berkata, “Sungguh ajaib, mungkinkah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua, dan suamiku ini sudah sangat tua? Ini benar-benar sesuatu yang ajaib.” ( QSHud : 72)
Selanjutnya, kondisi orang-orang yang ingkar itu tidak lagi pada zona nyaman karena mereka sudah dibangkitakan dari marqad (مَرْقَد) “tempat tidur/tempat peristirahatan”. Menurut Ishfahani, kata tersebut berasal dari kata raqada (رَقَدَ) yang berarti “tidur nyenyak tapi sebentar”.
Jadi, wajar jika mereka begitu kaget. Laman Tafsir Al-Quran menganalogikan seperti kita lagi pulas-pulasnya tidur, dibangunin, trus disuruh lari. "Yang demikian mirip di film-film pelatihan militer, kiranya begitulah kondisi saat itu."
Pertanyaannya, apakah mereka sadar dengan kondisi tersebut? dan sadarkah mereka akan apa yang terjadi? Ini terjawab pada redaksi kata setelahnya.
Bahwa kalimat هٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ terjemahannya inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya), mengisyaratkan bahwa mereka sudah sadar sekaligus menyesal atas keingkaran, serta membenarkan kebenaran dari para Rasul yang diutus kepada mereka.
Kata tersebut diucap oleh para malaikat untuk mengecam kebodohan mereka ketika di dunia. Sedangkan penggunaan kata ar-Rahman menurut Quraish Shihab, agaknya mengisyaratkan harapan mereka akan adanya curahan rahmat Allah SWT, sekaligus bentuk pengakuan dan sesal mereka yang telah ingkar dan enggan bersujud pada-Nya, sebagaimana dalam QS al-Furqan ayat 60:
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Sujudlah kepada Yang Maha Pengasih”, mereka menjawab, “Siapakah yang Maha Pengasih itu? Apakah kami harus sujud kepada Allah yang engkau (Muhammad) perintahkan kepada kami (bersujud kepada-Nya)?” Dan mereka makin jauh lari (dari kebenaran). ( QS al-Furqan : 60)
Allah SWT berfiman:
وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَاِذَا هُمْ مِّنَ الْاَجْدَاثِ اِلٰى رَبِّهِمْ يَنْسِلُوْنَ
قَالُوْا يٰوَيْلَنَا مَنْۢ بَعَثَنَا مِنْ مَّرْقَدِنَا ۜهٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ
قَالُوْا يٰوَيْلَنَا مَنْۢ بَعَثَنَا مِنْ مَّرْقَدِنَا ۜهٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ
Lalu ditiuplah sangkakala, maka seketika itu mereka keluar dari kuburnya (dalam keadaan hidup), menuju kepada Tuhannya.
Mereka berkata, “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya). (QS Yasin : 51-52)
Baca Juga
Menurut Qurthubi dalam tafsinya "Jami’ al-Ahkam" secara bahasa kata نَفَخَ dalam bermakna tiupan. Konteks ayat ini menerangkan bahwa proses tiupan ada dua, tiupan pertama adalah untuk mematikan/memusnahkan sebagaimana dalam Surat az-Zumar : 68, Allah berfirman:
وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَصَعِقَ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَمَنْ فِى الْاَرْضِ اِلَّا مَنْ شَاۤءَ اللّٰهُ ۗ ثُمَّ نُفِخَ فِيْهِ اُخْرٰى فَاِذَا هُمْ قِيَامٌ يَّنْظُرُوْنَ
Dan sangkakala pun ditiup, maka matilah semua (makhluk) yang di langit dan di bumi kecuali mereka yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sekali lagi (sangkakala itu) maka seketika itu mereka bangun (dari kuburnya) menunggu (keputusan Allah).
Sedangkan tiupan kedua adalah untuk menghidupkan, seperti yang diterangkan dalam ayat 51 ini, dan dalam surah an-Naml [27] :87. Jarak antara dua tiupan tersebut 40 tahun lamanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatadah yang dikutip oleh Qurthubi.
Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah menggambarkan kondisi umat yang ingkar ketika itu kalang-kabut bercampur heran dan cemas. Bagaimana tidak, sebelumnya mereka mati, dan seketika mereka kembali hidup. Sama halnya dengan umat-umat terdahulu yang sudah lama mati, mereka semua dibangkitkan kembali dari peristirahatan (kubur-kubur) tanpa terkecuali. Lalu kemanakah tujuan mereka?
Menurut Ath-Thabari dan Ibnu ‘Asyur, mereka dibangkitkan dari kuburan mereka, kemudian menuju Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka selama di dunia. Kata يَنْسِلوْن sama dengan kata النَّسَلاَن yang berarti berjalan dengan sangat cepat. Yang berarti mereka berjalan menghadap Allah dengan tergesa-gesa.
Sambil berjalan, mereka masih terheran-heran berbicara satu sama lain, bahkan menurut Zuhaili mereka seakan sedang bermimpi. Ekspresi tersebut tampak pada redaksi yang digunakan yakni, “yaa wailanaa” (يَا وَيْلَنَا) “celakalah kami”.
Menurut Quraish Shihab, kata ini diucap sebagai ekspresi seseorang yang telah bertemu peristiwa besar/hebat, baik yang sifanya menggembirakan atau menyedihkan. Seperti kata yang diucapkan oleh siti Hajar (Istri Ibrahim) untuk melukis kegembiraan atas kelahiran anak, padahal ia dan suami sudah amat tua. Redaksi yang digunakan Hajar adalah (يَاوَيْلَتَى) sebagimana dalam Surat Hud ayat 72:
قَالَتْ يٰوَيْلَتٰىٓ ءَاَلِدُ وَاَنَا۠ عَجُوْزٌ وَّهٰذَا بَعْلِيْ شَيْخًا ۗاِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ عَجِيْبٌ
Dia (istrinya) berkata, “Sungguh ajaib, mungkinkah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua, dan suamiku ini sudah sangat tua? Ini benar-benar sesuatu yang ajaib.” ( QSHud : 72)
Selanjutnya, kondisi orang-orang yang ingkar itu tidak lagi pada zona nyaman karena mereka sudah dibangkitakan dari marqad (مَرْقَد) “tempat tidur/tempat peristirahatan”. Menurut Ishfahani, kata tersebut berasal dari kata raqada (رَقَدَ) yang berarti “tidur nyenyak tapi sebentar”.
Jadi, wajar jika mereka begitu kaget. Laman Tafsir Al-Quran menganalogikan seperti kita lagi pulas-pulasnya tidur, dibangunin, trus disuruh lari. "Yang demikian mirip di film-film pelatihan militer, kiranya begitulah kondisi saat itu."
Pertanyaannya, apakah mereka sadar dengan kondisi tersebut? dan sadarkah mereka akan apa yang terjadi? Ini terjawab pada redaksi kata setelahnya.
Bahwa kalimat هٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ terjemahannya inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya), mengisyaratkan bahwa mereka sudah sadar sekaligus menyesal atas keingkaran, serta membenarkan kebenaran dari para Rasul yang diutus kepada mereka.
Kata tersebut diucap oleh para malaikat untuk mengecam kebodohan mereka ketika di dunia. Sedangkan penggunaan kata ar-Rahman menurut Quraish Shihab, agaknya mengisyaratkan harapan mereka akan adanya curahan rahmat Allah SWT, sekaligus bentuk pengakuan dan sesal mereka yang telah ingkar dan enggan bersujud pada-Nya, sebagaimana dalam QS al-Furqan ayat 60:
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اسْجُدُوْا لِلرَّحْمٰنِ قَالُوْا وَمَا الرَّحْمٰنُ اَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُوْرًا
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Sujudlah kepada Yang Maha Pengasih”, mereka menjawab, “Siapakah yang Maha Pengasih itu? Apakah kami harus sujud kepada Allah yang engkau (Muhammad) perintahkan kepada kami (bersujud kepada-Nya)?” Dan mereka makin jauh lari (dari kebenaran). ( QS al-Furqan : 60)
(mhy)