Surat Yasin Ayat 47: Ajaran Kasih Sayang Meski Beda Keyakinan

Jum'at, 07 Januari 2022 - 11:38 WIB
loading...
Surat Yasin Ayat 47: Ajaran Kasih Sayang Meski Beda Keyakinan
Surat Yasin ayat 47 berisi anjuran untuk saling berkasih sayang meski berbeda dalam keyakinan. (Foto/Ilustrasi: Dok. SINDOnews)
A A A
Surat Yasin ayat 47 adalah tentang keengganan orang-orang kafir bertakwa kepada Allah, tanda-tanda kebesaran Allah serta berkasih sayang pada makhluk Allah. Wahbah Zuhaili mengelompokkan surah Yasin ayat 47 ini dengan ayat 45 dan 46.

Terkhusus ayat 47 ini, berkaitan dengan anjuran untuk saling berkasih sayang meski berbeda dalam keyakinan karena kemanusiaan tetap harus dijunjung bersama’.

Surat Yasin ayat 47 juga memuat anjuran kepada orang-orang kafir agar mau menginfakkan sebagian harta yang telah Allah anugerahkan kepada mereka. Tapi nyatanya mereka menunjukkan keengganan secara tegas. Selain itu mereka juga mencatut nama Allah sebagai dalih untuk menyindir orang-orang mukmin.

Allah SWT berfirman:

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ اَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ ۙقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنُطْعِمُ مَنْ لَّوْ يَشَاۤءُ اللّٰهُ اَطْعَمَهٗٓ ۖاِنْ اَنْتُمْ اِلَّا فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ


Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Infakkanlah sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadamu,” orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman, “Apakah pantas kami memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki Dia akan memberinya makan? Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”



Ibnu ‘Abbas, sebagaimana dikutip oleh al-Sabuni dalam Safwah al-Tafasir, mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan orang-orang zindiq Mekkah. Mereka diminta untuk menginfakkan sebagian hartanya untuk membantu orang miskin ketika itu. Namun mereka menolak mentah-mentah.

Dalam penolakannya itu mereka berdalih bahwa keadaan miskin tersebut merupakan kehendak Allah dan mereka enggan untuk ikut campur dengan urusan Allah tersebut.

Al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf menambahkan bahwa ayat ini itu turun dalam rangka merespons orang-orang musyrik. Ketika itu kalangan sahabat yang berada di bawah garis kemiskinan meminta agar-orang musyrik sudi menginfakkan sebagian hartanya. Namun lagi-lagi permintaan itu mereka tolak dengan dalih yang sama, yakni keadaan mereka sudah kehendak Allah. Jika Allah berkehendak untuk menolong mereka pasti Allah sendiri yang akan membuat mereka kaya.

Informasi lebih rinci diberikan oleh al-Shawi. Ia mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan sejarah sebagian pembesar-pembesar Mekkah. Salah satunya adalah al-‘Ash bin Wail al-Sahmi dan kawan-kawannya. Ketika mereka diminta untuk berinfak, mereka menolak dengan keras seraya mengejek, “Tuhanmu saja membiarkanmu miskin, aku tidak ada urusan untuk ikut campur dengan urusan Tuhanmu!”



Berbeda dengan yang disampaikan oleh Quraish Shihab dalam Al-Misbah. Menurut dia, memberikan dua kemungkinan terkait dengan sebab nuzul ayat 47 ini.

Pertama berkenaan dengan masa sulit yang dihadapi masyarakat Mekkah. Lalu Rasulullah memberi anjuran kepada semua pihak, termasuk orang musyrik, agar membatu fakir miskin. Namun anjuran tersebut mereka tolak.

Kedua, bisa jadi keengganan orang-orang musyrik untuk menginfakkan sebagian hartanya ditengarai oleh adanya pilih kasih. Fakir miskin yang sebelumnya mendapatkan bantuan dari orang-orang musyrik tersebut kali ini tidak mendapatkan bantuan lagi karena telah memeluk Islam. Dan ketika itulah terucap kalimat sindiran tersebut.

Kurang lebih hal senada juga diungkapkan oleh Ibnu ‘Asyur dalam Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir.

Laman Tafsir Al-Quran menjelaskan, terlepas dari perbedaan pendapat dari kalangan mufassir di atas kita bisa menarik benang merah bahwa pada waktu itu Mekkah sedang dilanda paceklik dan para pembesar-pembesar diharap untuk ikut bahu-membahu menyelesaikan problem tersebut. Sayangnya pembesar-pembesar musyrik menolak untuk membantu. Mereka beralasan bahwa kemiskinan yang dirasakan oleh sebagian umat muslim merupakan kehendak Allah SWT.

Alasan-alasan itu muncul sebagai sindiran kepada umat Islam, sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu ‘Asyur bahwa mereka berhujah seakan membalikkan akidah umat Islam sendiri. “Allah itu maha pemberi rezeki. Semuanya sudah diatur olehNya. Tidak akan ada yang keluar dari kehendaknya”. Alasan tersebut dilontarkan dengan maksud mengejek dan meremehkan.

Menurut Thaba’thaba’i, ada kesalahan logika dalam alasan yang digunakan oleh orang-orang musyrik. Menurutnya orang-orang musyrik meletakkan ketetapan Allah yang bersifat tasyri’ kepada ketetapan Allah yang bersifat takwin.

Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1041 seconds (0.1#10.140)