Surga dan Neraka Rohaniah, Menurut Imam Al-Ghazali
Senin, 28 Februari 2022 - 05:15 WIB
Berkenaan dengan nikmat surgawi dan siksaan-siksaan neraka yang akan mengikuti kehidupan ini, semua orang yang percaya pada al-Qur'an dan Sunnah sudah cukup mengetahuinya. Tapi ada suatu hal yang sering terlewatkan oleh mereka, yaitu bahwa ada juga suatu surga rohaniah dan neraka rohaniah.
Imam al-Ghazali dalam "Kimia Kebahagiaan" yang merupakan terjemahan dari buku aslinya yang berbahasa Inggris The Alchemy of Happiness, menjelaskan mengenai surga rohaniah, Allah berfirman kepada NabiNya, "Mata tidak melihat, tidak pula telinga mendengarnya, tak pernah pula terlintas dalam hati manusia apa-apa yang disiapkan bagi orang-orang yang takwa."
Menurutnya, di dalam hati manusia yang tercerahkan ada sebuah jendela yang membuka ke arah hakikat-hakikat dunia rohaniah, sehingga ia mengetahui - bukan dari kabar angin atau kepercayaan tradisional, melainkan dengan pengalaman nyata - segala sesuatu yang menyebabkan kerusakan ataupun kebahagiaan di dalam jiwa, persis sama jelas dan tegasnya sebagaimana seorang dokter mengetahui apa yang menyebabkan penyakit ataupun menyehatkan tubuh.
Ia tahu bahwa pengetahuan tentang Allah dan ibadah bersifat mengobati, dan bahwa kejahilan dan dosa adalah racun-racun maut bagi jiwa. Banyak orang, bahkan juga yang disebut sebagai ulama, karena mengikuti secara membuta pendapat orang lain, tidak mempunyai keyakinan yang sesungguhnya dalam iman mereka berkenaan dengan kebahagiaan atau penderitaan jiwa di akhirat. Tetapi orang yang mau mempelajari masalah ini dengan pikiran yang tak terkotori oleh prasangka akan sampai pada keyakinan yang jelas tentang masalah ini.
Akibat kematian atas sifat gabungan (komposit) manusia adalah sebagai berikut:
Manusia punya dua jiwa, jiwa hewani dan jiwa rohani. Jiwa rohani ini bersifat malaikat. Tempat jiwa hewaniah adalah dalam hati, tempat dari mana jiwa ini menyebar seperti uap halus dan menyelusupi semua anggota tubuh, memberikan tenaga atau kemampuan melihat pada mata, mendengar pada telinga, serta kepada semua anggota tubuh memberikan kemampuan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsinya.
Hal ini bisa dibandingkan dengan sebuah lampu yang ditempatkan di dalam suatu pondok yang cahayanya jatuh pada dinding-dinding ke mana pun ia pergi.
"Hati adalah sumbu lampu ini, dan jika penyaluran minyaknya diputus karena suatu alasan, maka matilah lampu itu. Seperti itulah kematian jiwa hewani," ujar Al-Ghazali.
Tidak demikian halnya dengan jiwa rohani atau jiwa manusiawi. Menurut Al-Ghazali, ia tak terpilahkan dan dengannya manusia mengenali Allah. Boleh dikatakan dialah pengendara jwa hewani. Dan ketika jiwa hewani musnah, ia tetap tinggal, tetapi laksana seorang penunggang kuda yang telah turun atau seperti seorang pemburu yan telah kehilangan senjatanya.
Kuda dan senjata-senjata itu dianugerahkan pada jiwa manusia agar dengan itu semua ia bisa mengejar dan menangkap keabadian cinta dan pengetahuan tantang Allah. Jika ia telah berhasil melakukan penangkapan itu, maka bukannya berkeluh kesah, ia pun merasa lega ketika bisa menyingkirkan senjata-senjata itu.
Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda, "Kematian adalah suatu hadiah Tuhan yang diharap-harapkan oleh para mukminin." Tapi celakalah kalau jiwa itu kehilangan kuda dan senjata-senjata pemburuannya sebelum berhasil memperoleh hadiah tersebut. Kesedihan dan penyesalannya akan tak terperikan.
Jiwa Manusia dan Jasad
Selanjutnya Al-Ghazali menyatakan betapa bedanya jiwa manusia dari jasad dan anggota-anggotanya. Setiap anggota tubuh bisa rusak dan berhenti bekerja, tapi individualitas jiwa tak terganggu.
"Lebih jauh lagi, jasad yang anda miliki sekarang tidak lagi berupa jasad sebagaimana yang anda miliki pada waktu kecil, melainkan sudah berbeda sama sekali," jelasnya. "Meskipun demikian, kepribadian anda sekarang ini sama dengan pada waktu itu."
Oleh karena itu, sangat mudahlah untuk membayangkannya sebagai terus ada bersama-sama sifat-sifat esensialnya yang tak tergantung pada tubuh, seperti pengetahuan dan cinta akan Tuhan. Inilah arti ayat al-Qur'an, "hal-hal yang baik itu abadi."
"Akan tetapi, jika sebaliknya daripada membawa pengetahuan bersama anda, anda malah menyeleweng dalam kejahilan tentang Allah," kata Al-Ghazali.
Kejahilan ini juga merupakan suatu sifat esensial dan akan tinggal abadi bagai kegelapan jiwa dan benih kesedihan. Oleh karena itu, al-Qur'an berkata, "Orang yang buta di dalam hidup ini akan buta di akhirat dan tersesat dari jalan yang lurus."
Al-Ghazali menjelaskan, alasan bagi kembalinya ruh manusia yang sedang kita bicarakan ini merujuk ke dunia yang lebih tinggi adalah bahwa ia berasal dari sana dan bahwa ia bersifat malaikat.
Ia dikirim ke ruang yang lebih rendah ini berlawanan dengan kehendaknya demi memperoleh pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana Allah berfirman di dalam al-Qur'an, "Turunlah dari sini kamu semuanya, akan datang padamu perintah-perintah dari-Ku dan siapa yang menaatinya tidak perlu takut dan tak perlu pula mereka gelisah."
Ayat: "Aku tiupkan ke dalam diri manusia ruh-Ku" juga menunjukkan asal samawi jiwa manusia. Sebagaimana kesehatan jiwa hewani adalah berupa kesimbangan dari bagian-bagian penyusunannya, dan keseimbangan ini bisa dipulihkan jika mengalami gangguan, oleh obat-obat yang sehat, demikian pulalah kesehatan jiwa manusia berbentuk suatu keseimbangan moral yang dipelihara dan diperbaiki, jika dibutuhkan, oleh perintah-perintah etis dan ajaran-ajaran moral.
Tak Tergantung Pada Tubuh
Berkenaan dengan kemaujudan dunia di masa yang akan datang, telah kita lihat bahwa jiwa manusia secara esensial tak tergantung pada tubuh.
Semua keberatan terhadap kemaujudannya setelah kematian, didasarkan pada dugaan adanya keperluan akan pemulihan jasad terdahulunya yang telah jatuh ke tanah. Beberapa ahli kalam menduga bahwa jiwa manusia tak termusnahkan setelah mati, malah terpulihkan. Tetapi hal ini sesungguhnya bertentangan baik dengan nalar maupun al-Qur'an. Yang disebut terdahulu menunjukkan pada kita bahwa kematian tidak menghancurkan individualitas esensial seorang manusia dan al-Qur'an berkata, "Jangan kamu pikir orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu telah mati. Tidak! Mereka masih hidup, bergembira dengan kehadiran Tuhan mereka dan di dalam limpahan karunia atas mereka."
Al-Ghazali menjelaskan tidak satu kata pun disebutkan di dalam syariah tentang orang-orang mati, yang baik maupun jahat, sebagai termusnahkan. Malah, Nabi SAW diriwayatkan telah bertanya kepada arwah orang-orang kafir yang terbunuh tentang apakah mereka mendapati hukuman-hukuman yang diancamkan kepada mereka sesuatu yang benar atau tidak.
Ketika para pengikutnya bertanya kepadanya apa gunanya bertanya kepada mereka, beliau menjawab: "Mereka bisa mendengar kata-kataku lebih baik daripada engkau."
Kerasukan
Beberapa orang sufi telah dapat menampak dunia dan neraka yang tak kasat mata, diungkapkan kepada mereka pada saat-saat mereka berada dalam keadan kerasukan (trance) seperti mati.
Pada saat pulihnya kesadaran, kata Al-Ghazali, muka-muka mereka menggambarkan sifat ungkapan-ungkapan yang telah mereka terima dengan tanda-tanda kegembiraan yang luar biasa ataupun kepanikan. Tapi tidak perlu lagi visi untuk membuktikan kepada manusia-manusia yang berpikir apa-apa yang akan terjadi.
Ketika kematian telah mencabut indera-inderanya dan meninggalkannya tanpa sesuatu apa pun kecuali kepribadian telanjangnya, jika ketika di atas bumi ia terlalu asyik menyibukkan dirinya dengan benda-benda cerapan indera - seperti isteri, anak, kekayaan, tanah, budak laki-laki dan perempuan dan sebagainya - ia akan menderita ketika kehilangan benda-benda ini.
Sebaliknya, jika ia telah membalikkan punggung sejauh-jauhnya dari semua benda-benda duniawi dan meneguhkan kasih sayangnya yang amat besar terhadap Allah, ia akan menyambut kematian sebagai suatu sarana untuk melarikan diri dari kerepotan-kerepotan duniawi dan bergabung dengan Ia yang dicintainya. Dalam kasus ini, sabda Rasul akan akan terbukti:
"Kematian adalah jembatan yang menyatukan sahabat dengan sahabat"; "dunia ini surga bagi orang kafir, dan penjara bagi orang-orang mukmin."
Di pihak lain, semua derita yang ditanggung oleh jiwa setelah mati bersumber pada cinta yang berlebih-lebihan terhadap dunia. Rasulullah bersabda bahwa semua orang kafir setelah mati akan disiksa oleh 99 ular, masing-masing memiliki 9 kepala.
Beberapa orang yang berpikiran sederhana telah memeriksa kuburan orang-orang kafir ini dan bertanya-tanya mengapa mereka tak bisa melihat ular-ular ini. Mereka tidak paham bahwa ular-ular ini bersemayam di dalam roh orang-orang kafir itu dan bahwa kesemuanya itu sudah ada di dlam diri orang-orang kafir tersebut, bahkan sebelum ia mati.
Menurut Al-Ghazali, karena semuanya itu sesungguhnya adalah simbol-simbol sifat jahatnya, seperti cemburu, kebencian, kemunafikan, kesombongan, kelicikan dan lain sebagainya. Sifat-sifat itu semuanya bersumber, secara langsung maupun tidak, pada kecintaan terhadap dunia ini.
Itulah neraka yang disediakan bagi orang-orang yang di dalam al-Qur'an dikatakan "meneguhkan hati mereka pada dunia ini lebih daripada akhirat".
Jika ular-ular itu sekadar bersifat eksternal belaka, mereka akan bisa berharap untuk melarikan diri dari siksanya, meskipun hanya untuk sesaat saja. Tetapi jika semuanya itu sudah menjadi sifat-sifat bawaan mereka, bagaimana mereka bisa melarikan diri?
Ambillah contoh kasus seseorang yang menjual seorang budak perempuan tanpa tahu seberapa jauh ia telah terikat dengannya sampai ketika perempuan itu telah sama sekali berada di luar jangkauannya. Kemudian kecintaan pada budak itu, yang selama ini tertidur, bangun di dalam dirinya dengan suatu intensitas yang menyiksanya, menyengatnya seperti ular.
Ia bisa gila karenanya, mencapakkan dirinya ke dalam api atau air untuk melarikan diri darinya.
Inilah akibat cinta terhadap dunia, yang tidak pernah terbayang dalam diri orang-orang yang memilikinya sampai ketika dunia direnggut dari mereka dan kemudian siksaan kesia-siaan membuat mereka mau dengan senang hati menukarnya dengan sekadar ular-ular dan kepiting-kepiting eksternal belaka, berapa pun jumlahnya.
Karenanya, kata al-Ghazali, setiap orang yang berbuat dosa membawa perkakas-perkakas hukumannya sendiri ke dunia di balik kematian.
Menghindari dari Neraka
Benar kata al-Qur'an: "Sesungguhnya kalian akan melihat neraka. Kalian akan melihatnya dengan mata keyakinan (ainul-yaqin)", dan "neraka mengitari orang-orang kafir." Ia tidak berkata akan mengitari mereka, karena neraka sudah mengitari mereka sekarang juga.
Mungkin ada orang yang berkeberatan. Jika demikian halnya, kemudian siapakah yang bisa menghindar dari neraka, karena siapakah orang yang sedikit banyak tidak terikat pada dunia dengan berbagai ikatan kesenangan dan kepentingan.
Atas pertanyaan ini kita menjawab bahwa ada orang-orang, terutama para faqir, yang telah sama sekali melepaskan diri mereka dari cinta terhadap dunia. Tetapi bahkan di antara orang-orang yang memiliki kekayaan-kekayaan duniawi - seperti isteri, anak, rumah dan lain sebagainya - masih ada juga orang-orang yang, meskipun mereka memiliki kecintaan terhadap benda-benda ini, mencintai Allah lebih dari segalanya.
Kasus mereka adalah seperti seseorang yang, meskipun mempunyai sebuah tempat tinggal yang ia cintai di suatu kota, ketika diminta oleh sang raja untuk mengisi suatu pos kekuasaan di kota lain, ia melakukannya dengan senang hati, karena pos kekuasaan itu lebih berharga baginya daripada tempat tinggalnya terdahulu. Para nabi dan banyak di antara para wali adalah orang-orang seperti itu.
Dalam jumlah besar, ada pula orang-orang lain yang memiliki kecintaan pada Allah, tetapi kecintaannya terhadap dunia ini demikian berlebihan dalam diri mereka sehingga mereka akan harus menderita siksaan yang cukup besar setelah kematian sebelum mereka sama sekali terbebaskan daripadanya.
Menurut Al-Ghazali, banyak yang memiliki kecintaan kepada Allah, tapi seseorang bisa dengan mudah menguji dirinya dengan melihat ke mana cenderungnya lengan timbangan cintanya ketika perintah-perintah Allah datang berbenturan dengan beberapa keinginannya. Pemilikan akan cinta kepada Allah yang tidak cukup menahan seseorang dari pembangkangan kepada Allah adalah suatu kebohongan.
Pemisahan Secara Paksa
Telah kita lihat di atas bahwa salah satu jenis neraka rohani itu berbentuk pemisahan secara paksa dari benda-benda duniawi yang kepadanya hati terikat terlalu erat. Al-Ghazali mengatakan banyak orang yang tanpa sadar membawa dalam dirinya kuman-kuman neraka seperti itu. Mereka akan merasa seperti seorang raja yang setelah menjalani hidup mewah, dicampakkan dari singgasananya dan menjadi bahan tertawaan.
Jenis kedua neraka rohani adalah malu, yaitu ketika seseorang dibangunkan untuk melihat sifat tindakan-tindakan yang dulu dilakukannya dalam hakikat telanjangnya.
Orang yang mengumpat akan melihat dirinya dalam bentuk seorang kanibal yang makan daging saudaranya yang telah mati. Orang yang mempunyai sifat iri hati akan tampak sebagai seseorang yang melemparkan batu-batu ke dinding, kemudian batu-batu itu memantul kembali dan mengenai mata anaknya sendiri.
Neraka jenis ini, yaitu malu, bisa disimpulkan dengan perumpamaan ringkas berikut ini:
Misalkan seorang raja baru selesai merayakan perkawinan anak laki-lakinya. Pada malam harinya, laki-laki muda itu pergi keluar dengan beberapa orang sahabat dan kemudian kembali ke istana dalam keadaan mabuk. Ia memasuki sebuah kamar yang terang dan kemudian berbaring di samping tubuh yang diduganya sebagai mempelai wanitanya.
Pagi harinya, ketika kesadarannya pulih, ia terperanjat ketika mendapati dirinya berada di dalam sebuah kamar mayat para penyembah-api. Sofanya adalah tandu jenazah, dan bentuk yang disalah-mengertikannya sebagai mempelai perempuannya adalah mayat seorang wanita tua yang mulai membusuk.
Ketika keluar dari kamar mayat dengan pakaian kumuh, betapa malunya ia ketika ayahnya, sang raja, menghampirinya dengan serombongan tentara. Itu gambaran perumpamaan tentang rasa malu yang akan dirasakan di akhirat oleh orang-orang yang dengan serakah telah memasrahkan diri mereka pada hal-hal yang mereka anggap sebagai kebahagiaan.
Kekecewaan dan Kegagalan
Selanjutnya Al-Ghazali mengatakan neraka rohaniah ketiga berbentuk kekecewaan dan kegagalan untuk mencapai obyek kemaujudan yang sesungguhnya. Manusia diciptakan dengan maksud untuk mencermini cahaya pengetahuan akan Tuhan. Tapi jika ia sampai di akhirat dengan jiwa yang tersaput tebal oleh karat pengumbaran nafsu inderawi, ia akan sama sekali gagal untuk memperoleh tujuan penciptaannya.
Kekecewaannya bisa digambarkan dengan cara berikut:
Misalkan seseorang sedang melewati sebuah hutan gelap bersama beberapa orang sahabat. Di sana-sini berkelap-kelip di atas tanah, bertebaran batu-batu berwarna.
Para sahabatnya mengumpulkan dan membawa benda-benda itu seraya menasehatinya agar ia turut melakukan hal yang sama. "Karena," kata mereka, "kami dengar batu-batu itu akan memperoleh harga tinggi di tempat yang akan kita datangi."
Akan tapi orang ini malah menertawakan mereka dan menyebut mereka sebagai orang-orang pandir karena menyimpan harapan sia-sia untuk memperoleh sesuatu, sementara ia sendiri bisa berjalan bebas tak berbebani.
Kemudian mereka pun menjelang terang tanah dan mendapati bahwa batu-batu yang berwarna-warni itu ternyata batu-batu delima, zamrud dan permata-permata lain yang tak terkira harganya.
Kekecewaan dan penyesalan orang itu, karena tidak mengumpulkan benda-benda yang sudah berada dalam jangkauannya itu, lebih mudah dibayangkan daripada diperikan. Seperti itulah jadinya penyesalan orang-orang yang ketika melalui dunia ini tidak berusaha memperoleh permata-permata kebajikan dan perbendaharaan-perbendaharaan agama.
Empat Tahap
Menurut Al-Ghazali, perjalanan manusia di dunia ini bisa dikelompokkan dalam empat tahap - yang inderawi, eksperimental, instingtif dan rasional.
Dalam tahap yang pertama ia seperti seekor rayap yang, meskipun memiliki penglihatan, tak punya kemampuan mengingat dan akan menghapuskan dirinya terus-menerus pada lilin yang sama.
Tahap kedua, ia seperti seekor anjing yang, setelah sekali digigit, akan lari ketika melihat sebatang rotan pemukul.
Pada tahap ketiga, ia seperti seekor kuda atau domba yang, secara instingtif, terbang seketika tatkala melihat seekor macan atau srigala - musuh-musuh alaminya - sementara mereka tak akan lari jika melihat seekor onta atau kerbau, meskipun kedua binatang ini lebih besar ukurannya.
Di dalam tahap yang keempat manusia sama sekali mengatasi batas-batas binatang itu sehingga mampu, sampai batas tertentu, meramalkan dan mempersiapkan diri bagi masa depan.
Gerakan-gerakannya pada mulanya bisa dibandingkan dengan berjalan biasa di atas tanah, kemudian menyeberangi laut dengan sebuah kapal, kemudian pada pendaratan keempat - ketika ia sudah akrab dengan hakikat-hakikat - berjalan di atas air.
Sementara itu, di balik dataran ini masih ada dataran kelima yang dikenal oleh para nabi dan wali yang bisa dibandingkan dengan terbang mengarungi udara.
Jadi manusia punya kemampuan untuk dada pada berbagai dataran yang berbeda, mulai dari dataran hewaniah sampai dataran malaikat. Dan persis dalam hal inilah terletak bahayanya, yaitu dari kemungkinan jatuh ke dataran yang paling rendah.
Di dalam al-Qur'an tertulis, "Telah Kami tawarkan (yaitu tanggung jawab atau kehendak bebas) kepada lelangit dan bumi serta gunung-gunung; mereka menolak untuk menanggungnya. Tetapi manusia mau mananggungnya. Sesungguhnya manusia itu bodoh."
Al-Ghazali menjelaskan tidak hewan tidak pula malaikat bisa mengubah tingkat dan tempat ia ditempatkan. Tetapi seseorang bisa tenggelam ke dataran hewaniah atau terbang ke dataran malaikat, dan inilah arti dari "penanggungan beban" sebagaimana disebutkan di atas oleh al-Qur'an.
"Sebagian besar manusia memilih untuk berada di dua tahap terndah tersebut di atas, dan yang tetap tinggal biasanya selalu bersikap bermusuhan dengan orang yang bepergian atau musafir yang jumlahnya jauh lebih sedikit," ujarnya.
Banyak orang dari kelas yang disebut terdahulu, karena tidak memiliki keyakinan yang teguh tentang dunia yang akan datang, ketika dikuasai oleh nafsu-nafsu inderawi, menolaknya sama sekali.
Mereka berkata bahwa neraka adalah suatu temuan para ahli ilmu kalam belaka untuk menakut-nakuti orang. Mereka memandang para ahli ilmu kalam dengan penghinaan terbuka.
Berdebat dengan orang-orang seperti ini sedikit sekali manfaatnya. Meskipun demikian, ada yang bisa dikatakan pada orang yang seperti ini yang mungkin bisa membuatnya berhenti dan merenung.
"Benarkah anda sungguh-sungguh berpikir bahwa 124.000 nabi dan wali yang percaya pada kehidupan masa akan datang semuanya salah dan anda, yang menolaknya, benar?"
Jika ia menjawab, "Ya," saya sedemikian yakin - sebagaimana saya yakin bahwa dua lebih besar daripada satu - bahwasanya jiwa dan kehidupan masa depan dalam bentuk kebahagiaan maupun hukuman itu tidak ada, maka manusia seperti itu sudah tidak mempunyai harapan lagi. Yang bisa diperbuat hanyalah meninggalkannya sendiri sembari mengingat kata-kata al-Qur'an, "Meskipun kau peringatkan mereka, mereka tak akan ingat."
Tetapi jika ia berkata bahwa kehidupan masa depan adalah suatu kebolehjadian, hanya bahwa doktrin itu penuh mengandung keraguan dan misteri, sehingga tidak mungkin untuk bisa memutuskan benarkah hal itu atau tidak, maka seseorang bisa berkata kepadanya, "Jika demikian, sebaiknya anda selesaikan baik-baik keraguan itu."
Al-Ghazali mencontohkan, misalkan anda sedang akan makan makanan, kemudian seseorang berkata kepada anda bahwa seekor ular telah meludahkan bisa ke dalamnya, maka mungkin sekali anda akan menahan diri dan lebih baik menahan kepedihan rasa lapar daripada memakannya, meskipun orang yang memberi informasi pada anda mungkin hanya bercanda atau berbohong belaka.
Atau misalkan anda sedang sakit dan seorang penulis syair berkata, "Beri saya satu dirham dan saya akan menulis sebuah puisi yang bisa kauikatkan di lehermu, yang akan menyembuhkannya dari sakit."
Anda boleh jadi akan memberikan dirham yang dimintanya dengan harapan bisa mendapatkan manfaat jimat itu.
Atau jika seorang peramal berkata, "Pada saat bulan telah sampai ke suatu bentuk tertentu, minumlah obat ini dan itu dan engkau pun akan sembuh."
Meskipun mungkin anda sedikir sekali percaya pada astrologi, kemungkinan besar anda akan mencoba juga pengalaman itu dengan harapan bahwa orang itu benar. Tidakkah anda berpikir bahwa kebenaran yang bisa dipercaya juga terdapat dalam kata-kata nabi, para wali dan orang-orang suci, yang menyakinkan orang akan adanya kehidupan mendatang, sebagaimana janji seorang penulis jampi-jampi atau seorang peramal.
Orang berani melakukan perjalanan lewat laut yang penuh risiko demi mengharap suatu keuntungan, maka tidak maukah anda menanggung sedikir penderitaan di masa sekarang demi kebahagiaan abadi di akhirat?
Sayyidina Ali Zainal Abidin (Putra Husain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW) ketika berdebat dengan seorang kafir pernah berkata, "Jika anda benar, maka tidak seorang pun di antara kita yang akan menderita keadaan yang lebih buruk di masa depan. Tetapi jika kami yang benar, maka kami akan terhindar dan anda akan menderita."
Menurut Al-Ghazali, hal ini dikatakannya bukan karena ia sendiri berada dalam keraguan, tetapi hanya demi menciptakan suatu kesan bagi orang kafir itu.
Berdasar semua pembahasan di atas, kata Al-Ghazali, dapat disimpulkan bahwa urusan utama manusia di dunia ini adalah untuk mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Sekalipun jika ia ragu-ragu tentang kemaujudan masa depan, nalar mengajarkan bahwa ia harus bertindak seakan-akan hal itu ada dengan mempertimbangkan akibat luar biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan atas orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran Allah.
Imam al-Ghazali dalam "Kimia Kebahagiaan" yang merupakan terjemahan dari buku aslinya yang berbahasa Inggris The Alchemy of Happiness, menjelaskan mengenai surga rohaniah, Allah berfirman kepada NabiNya, "Mata tidak melihat, tidak pula telinga mendengarnya, tak pernah pula terlintas dalam hati manusia apa-apa yang disiapkan bagi orang-orang yang takwa."
Baca Juga
Menurutnya, di dalam hati manusia yang tercerahkan ada sebuah jendela yang membuka ke arah hakikat-hakikat dunia rohaniah, sehingga ia mengetahui - bukan dari kabar angin atau kepercayaan tradisional, melainkan dengan pengalaman nyata - segala sesuatu yang menyebabkan kerusakan ataupun kebahagiaan di dalam jiwa, persis sama jelas dan tegasnya sebagaimana seorang dokter mengetahui apa yang menyebabkan penyakit ataupun menyehatkan tubuh.
Ia tahu bahwa pengetahuan tentang Allah dan ibadah bersifat mengobati, dan bahwa kejahilan dan dosa adalah racun-racun maut bagi jiwa. Banyak orang, bahkan juga yang disebut sebagai ulama, karena mengikuti secara membuta pendapat orang lain, tidak mempunyai keyakinan yang sesungguhnya dalam iman mereka berkenaan dengan kebahagiaan atau penderitaan jiwa di akhirat. Tetapi orang yang mau mempelajari masalah ini dengan pikiran yang tak terkotori oleh prasangka akan sampai pada keyakinan yang jelas tentang masalah ini.
Akibat kematian atas sifat gabungan (komposit) manusia adalah sebagai berikut:
Manusia punya dua jiwa, jiwa hewani dan jiwa rohani. Jiwa rohani ini bersifat malaikat. Tempat jiwa hewaniah adalah dalam hati, tempat dari mana jiwa ini menyebar seperti uap halus dan menyelusupi semua anggota tubuh, memberikan tenaga atau kemampuan melihat pada mata, mendengar pada telinga, serta kepada semua anggota tubuh memberikan kemampuan untuk menyelenggarakan fungsi-fungsinya.
Hal ini bisa dibandingkan dengan sebuah lampu yang ditempatkan di dalam suatu pondok yang cahayanya jatuh pada dinding-dinding ke mana pun ia pergi.
"Hati adalah sumbu lampu ini, dan jika penyaluran minyaknya diputus karena suatu alasan, maka matilah lampu itu. Seperti itulah kematian jiwa hewani," ujar Al-Ghazali.
Tidak demikian halnya dengan jiwa rohani atau jiwa manusiawi. Menurut Al-Ghazali, ia tak terpilahkan dan dengannya manusia mengenali Allah. Boleh dikatakan dialah pengendara jwa hewani. Dan ketika jiwa hewani musnah, ia tetap tinggal, tetapi laksana seorang penunggang kuda yang telah turun atau seperti seorang pemburu yan telah kehilangan senjatanya.
Kuda dan senjata-senjata itu dianugerahkan pada jiwa manusia agar dengan itu semua ia bisa mengejar dan menangkap keabadian cinta dan pengetahuan tantang Allah. Jika ia telah berhasil melakukan penangkapan itu, maka bukannya berkeluh kesah, ia pun merasa lega ketika bisa menyingkirkan senjata-senjata itu.
Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda, "Kematian adalah suatu hadiah Tuhan yang diharap-harapkan oleh para mukminin." Tapi celakalah kalau jiwa itu kehilangan kuda dan senjata-senjata pemburuannya sebelum berhasil memperoleh hadiah tersebut. Kesedihan dan penyesalannya akan tak terperikan.
Jiwa Manusia dan Jasad
Selanjutnya Al-Ghazali menyatakan betapa bedanya jiwa manusia dari jasad dan anggota-anggotanya. Setiap anggota tubuh bisa rusak dan berhenti bekerja, tapi individualitas jiwa tak terganggu.
"Lebih jauh lagi, jasad yang anda miliki sekarang tidak lagi berupa jasad sebagaimana yang anda miliki pada waktu kecil, melainkan sudah berbeda sama sekali," jelasnya. "Meskipun demikian, kepribadian anda sekarang ini sama dengan pada waktu itu."
Oleh karena itu, sangat mudahlah untuk membayangkannya sebagai terus ada bersama-sama sifat-sifat esensialnya yang tak tergantung pada tubuh, seperti pengetahuan dan cinta akan Tuhan. Inilah arti ayat al-Qur'an, "hal-hal yang baik itu abadi."
"Akan tetapi, jika sebaliknya daripada membawa pengetahuan bersama anda, anda malah menyeleweng dalam kejahilan tentang Allah," kata Al-Ghazali.
Kejahilan ini juga merupakan suatu sifat esensial dan akan tinggal abadi bagai kegelapan jiwa dan benih kesedihan. Oleh karena itu, al-Qur'an berkata, "Orang yang buta di dalam hidup ini akan buta di akhirat dan tersesat dari jalan yang lurus."
Al-Ghazali menjelaskan, alasan bagi kembalinya ruh manusia yang sedang kita bicarakan ini merujuk ke dunia yang lebih tinggi adalah bahwa ia berasal dari sana dan bahwa ia bersifat malaikat.
Ia dikirim ke ruang yang lebih rendah ini berlawanan dengan kehendaknya demi memperoleh pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana Allah berfirman di dalam al-Qur'an, "Turunlah dari sini kamu semuanya, akan datang padamu perintah-perintah dari-Ku dan siapa yang menaatinya tidak perlu takut dan tak perlu pula mereka gelisah."
Ayat: "Aku tiupkan ke dalam diri manusia ruh-Ku" juga menunjukkan asal samawi jiwa manusia. Sebagaimana kesehatan jiwa hewani adalah berupa kesimbangan dari bagian-bagian penyusunannya, dan keseimbangan ini bisa dipulihkan jika mengalami gangguan, oleh obat-obat yang sehat, demikian pulalah kesehatan jiwa manusia berbentuk suatu keseimbangan moral yang dipelihara dan diperbaiki, jika dibutuhkan, oleh perintah-perintah etis dan ajaran-ajaran moral.
Tak Tergantung Pada Tubuh
Berkenaan dengan kemaujudan dunia di masa yang akan datang, telah kita lihat bahwa jiwa manusia secara esensial tak tergantung pada tubuh.
Semua keberatan terhadap kemaujudannya setelah kematian, didasarkan pada dugaan adanya keperluan akan pemulihan jasad terdahulunya yang telah jatuh ke tanah. Beberapa ahli kalam menduga bahwa jiwa manusia tak termusnahkan setelah mati, malah terpulihkan. Tetapi hal ini sesungguhnya bertentangan baik dengan nalar maupun al-Qur'an. Yang disebut terdahulu menunjukkan pada kita bahwa kematian tidak menghancurkan individualitas esensial seorang manusia dan al-Qur'an berkata, "Jangan kamu pikir orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu telah mati. Tidak! Mereka masih hidup, bergembira dengan kehadiran Tuhan mereka dan di dalam limpahan karunia atas mereka."
Al-Ghazali menjelaskan tidak satu kata pun disebutkan di dalam syariah tentang orang-orang mati, yang baik maupun jahat, sebagai termusnahkan. Malah, Nabi SAW diriwayatkan telah bertanya kepada arwah orang-orang kafir yang terbunuh tentang apakah mereka mendapati hukuman-hukuman yang diancamkan kepada mereka sesuatu yang benar atau tidak.
Ketika para pengikutnya bertanya kepadanya apa gunanya bertanya kepada mereka, beliau menjawab: "Mereka bisa mendengar kata-kataku lebih baik daripada engkau."
Kerasukan
Beberapa orang sufi telah dapat menampak dunia dan neraka yang tak kasat mata, diungkapkan kepada mereka pada saat-saat mereka berada dalam keadan kerasukan (trance) seperti mati.
Pada saat pulihnya kesadaran, kata Al-Ghazali, muka-muka mereka menggambarkan sifat ungkapan-ungkapan yang telah mereka terima dengan tanda-tanda kegembiraan yang luar biasa ataupun kepanikan. Tapi tidak perlu lagi visi untuk membuktikan kepada manusia-manusia yang berpikir apa-apa yang akan terjadi.
Ketika kematian telah mencabut indera-inderanya dan meninggalkannya tanpa sesuatu apa pun kecuali kepribadian telanjangnya, jika ketika di atas bumi ia terlalu asyik menyibukkan dirinya dengan benda-benda cerapan indera - seperti isteri, anak, kekayaan, tanah, budak laki-laki dan perempuan dan sebagainya - ia akan menderita ketika kehilangan benda-benda ini.
Sebaliknya, jika ia telah membalikkan punggung sejauh-jauhnya dari semua benda-benda duniawi dan meneguhkan kasih sayangnya yang amat besar terhadap Allah, ia akan menyambut kematian sebagai suatu sarana untuk melarikan diri dari kerepotan-kerepotan duniawi dan bergabung dengan Ia yang dicintainya. Dalam kasus ini, sabda Rasul akan akan terbukti:
"Kematian adalah jembatan yang menyatukan sahabat dengan sahabat"; "dunia ini surga bagi orang kafir, dan penjara bagi orang-orang mukmin."
Di pihak lain, semua derita yang ditanggung oleh jiwa setelah mati bersumber pada cinta yang berlebih-lebihan terhadap dunia. Rasulullah bersabda bahwa semua orang kafir setelah mati akan disiksa oleh 99 ular, masing-masing memiliki 9 kepala.
Beberapa orang yang berpikiran sederhana telah memeriksa kuburan orang-orang kafir ini dan bertanya-tanya mengapa mereka tak bisa melihat ular-ular ini. Mereka tidak paham bahwa ular-ular ini bersemayam di dalam roh orang-orang kafir itu dan bahwa kesemuanya itu sudah ada di dlam diri orang-orang kafir tersebut, bahkan sebelum ia mati.
Menurut Al-Ghazali, karena semuanya itu sesungguhnya adalah simbol-simbol sifat jahatnya, seperti cemburu, kebencian, kemunafikan, kesombongan, kelicikan dan lain sebagainya. Sifat-sifat itu semuanya bersumber, secara langsung maupun tidak, pada kecintaan terhadap dunia ini.
Itulah neraka yang disediakan bagi orang-orang yang di dalam al-Qur'an dikatakan "meneguhkan hati mereka pada dunia ini lebih daripada akhirat".
Jika ular-ular itu sekadar bersifat eksternal belaka, mereka akan bisa berharap untuk melarikan diri dari siksanya, meskipun hanya untuk sesaat saja. Tetapi jika semuanya itu sudah menjadi sifat-sifat bawaan mereka, bagaimana mereka bisa melarikan diri?
Ambillah contoh kasus seseorang yang menjual seorang budak perempuan tanpa tahu seberapa jauh ia telah terikat dengannya sampai ketika perempuan itu telah sama sekali berada di luar jangkauannya. Kemudian kecintaan pada budak itu, yang selama ini tertidur, bangun di dalam dirinya dengan suatu intensitas yang menyiksanya, menyengatnya seperti ular.
Ia bisa gila karenanya, mencapakkan dirinya ke dalam api atau air untuk melarikan diri darinya.
Inilah akibat cinta terhadap dunia, yang tidak pernah terbayang dalam diri orang-orang yang memilikinya sampai ketika dunia direnggut dari mereka dan kemudian siksaan kesia-siaan membuat mereka mau dengan senang hati menukarnya dengan sekadar ular-ular dan kepiting-kepiting eksternal belaka, berapa pun jumlahnya.
Karenanya, kata al-Ghazali, setiap orang yang berbuat dosa membawa perkakas-perkakas hukumannya sendiri ke dunia di balik kematian.
Baca Juga
Menghindari dari Neraka
Benar kata al-Qur'an: "Sesungguhnya kalian akan melihat neraka. Kalian akan melihatnya dengan mata keyakinan (ainul-yaqin)", dan "neraka mengitari orang-orang kafir." Ia tidak berkata akan mengitari mereka, karena neraka sudah mengitari mereka sekarang juga.
Mungkin ada orang yang berkeberatan. Jika demikian halnya, kemudian siapakah yang bisa menghindar dari neraka, karena siapakah orang yang sedikit banyak tidak terikat pada dunia dengan berbagai ikatan kesenangan dan kepentingan.
Atas pertanyaan ini kita menjawab bahwa ada orang-orang, terutama para faqir, yang telah sama sekali melepaskan diri mereka dari cinta terhadap dunia. Tetapi bahkan di antara orang-orang yang memiliki kekayaan-kekayaan duniawi - seperti isteri, anak, rumah dan lain sebagainya - masih ada juga orang-orang yang, meskipun mereka memiliki kecintaan terhadap benda-benda ini, mencintai Allah lebih dari segalanya.
Kasus mereka adalah seperti seseorang yang, meskipun mempunyai sebuah tempat tinggal yang ia cintai di suatu kota, ketika diminta oleh sang raja untuk mengisi suatu pos kekuasaan di kota lain, ia melakukannya dengan senang hati, karena pos kekuasaan itu lebih berharga baginya daripada tempat tinggalnya terdahulu. Para nabi dan banyak di antara para wali adalah orang-orang seperti itu.
Dalam jumlah besar, ada pula orang-orang lain yang memiliki kecintaan pada Allah, tetapi kecintaannya terhadap dunia ini demikian berlebihan dalam diri mereka sehingga mereka akan harus menderita siksaan yang cukup besar setelah kematian sebelum mereka sama sekali terbebaskan daripadanya.
Menurut Al-Ghazali, banyak yang memiliki kecintaan kepada Allah, tapi seseorang bisa dengan mudah menguji dirinya dengan melihat ke mana cenderungnya lengan timbangan cintanya ketika perintah-perintah Allah datang berbenturan dengan beberapa keinginannya. Pemilikan akan cinta kepada Allah yang tidak cukup menahan seseorang dari pembangkangan kepada Allah adalah suatu kebohongan.
Pemisahan Secara Paksa
Telah kita lihat di atas bahwa salah satu jenis neraka rohani itu berbentuk pemisahan secara paksa dari benda-benda duniawi yang kepadanya hati terikat terlalu erat. Al-Ghazali mengatakan banyak orang yang tanpa sadar membawa dalam dirinya kuman-kuman neraka seperti itu. Mereka akan merasa seperti seorang raja yang setelah menjalani hidup mewah, dicampakkan dari singgasananya dan menjadi bahan tertawaan.
Jenis kedua neraka rohani adalah malu, yaitu ketika seseorang dibangunkan untuk melihat sifat tindakan-tindakan yang dulu dilakukannya dalam hakikat telanjangnya.
Orang yang mengumpat akan melihat dirinya dalam bentuk seorang kanibal yang makan daging saudaranya yang telah mati. Orang yang mempunyai sifat iri hati akan tampak sebagai seseorang yang melemparkan batu-batu ke dinding, kemudian batu-batu itu memantul kembali dan mengenai mata anaknya sendiri.
Neraka jenis ini, yaitu malu, bisa disimpulkan dengan perumpamaan ringkas berikut ini:
Misalkan seorang raja baru selesai merayakan perkawinan anak laki-lakinya. Pada malam harinya, laki-laki muda itu pergi keluar dengan beberapa orang sahabat dan kemudian kembali ke istana dalam keadaan mabuk. Ia memasuki sebuah kamar yang terang dan kemudian berbaring di samping tubuh yang diduganya sebagai mempelai wanitanya.
Pagi harinya, ketika kesadarannya pulih, ia terperanjat ketika mendapati dirinya berada di dalam sebuah kamar mayat para penyembah-api. Sofanya adalah tandu jenazah, dan bentuk yang disalah-mengertikannya sebagai mempelai perempuannya adalah mayat seorang wanita tua yang mulai membusuk.
Ketika keluar dari kamar mayat dengan pakaian kumuh, betapa malunya ia ketika ayahnya, sang raja, menghampirinya dengan serombongan tentara. Itu gambaran perumpamaan tentang rasa malu yang akan dirasakan di akhirat oleh orang-orang yang dengan serakah telah memasrahkan diri mereka pada hal-hal yang mereka anggap sebagai kebahagiaan.
Kekecewaan dan Kegagalan
Selanjutnya Al-Ghazali mengatakan neraka rohaniah ketiga berbentuk kekecewaan dan kegagalan untuk mencapai obyek kemaujudan yang sesungguhnya. Manusia diciptakan dengan maksud untuk mencermini cahaya pengetahuan akan Tuhan. Tapi jika ia sampai di akhirat dengan jiwa yang tersaput tebal oleh karat pengumbaran nafsu inderawi, ia akan sama sekali gagal untuk memperoleh tujuan penciptaannya.
Kekecewaannya bisa digambarkan dengan cara berikut:
Misalkan seseorang sedang melewati sebuah hutan gelap bersama beberapa orang sahabat. Di sana-sini berkelap-kelip di atas tanah, bertebaran batu-batu berwarna.
Para sahabatnya mengumpulkan dan membawa benda-benda itu seraya menasehatinya agar ia turut melakukan hal yang sama. "Karena," kata mereka, "kami dengar batu-batu itu akan memperoleh harga tinggi di tempat yang akan kita datangi."
Akan tapi orang ini malah menertawakan mereka dan menyebut mereka sebagai orang-orang pandir karena menyimpan harapan sia-sia untuk memperoleh sesuatu, sementara ia sendiri bisa berjalan bebas tak berbebani.
Kemudian mereka pun menjelang terang tanah dan mendapati bahwa batu-batu yang berwarna-warni itu ternyata batu-batu delima, zamrud dan permata-permata lain yang tak terkira harganya.
Kekecewaan dan penyesalan orang itu, karena tidak mengumpulkan benda-benda yang sudah berada dalam jangkauannya itu, lebih mudah dibayangkan daripada diperikan. Seperti itulah jadinya penyesalan orang-orang yang ketika melalui dunia ini tidak berusaha memperoleh permata-permata kebajikan dan perbendaharaan-perbendaharaan agama.
Empat Tahap
Menurut Al-Ghazali, perjalanan manusia di dunia ini bisa dikelompokkan dalam empat tahap - yang inderawi, eksperimental, instingtif dan rasional.
Dalam tahap yang pertama ia seperti seekor rayap yang, meskipun memiliki penglihatan, tak punya kemampuan mengingat dan akan menghapuskan dirinya terus-menerus pada lilin yang sama.
Tahap kedua, ia seperti seekor anjing yang, setelah sekali digigit, akan lari ketika melihat sebatang rotan pemukul.
Pada tahap ketiga, ia seperti seekor kuda atau domba yang, secara instingtif, terbang seketika tatkala melihat seekor macan atau srigala - musuh-musuh alaminya - sementara mereka tak akan lari jika melihat seekor onta atau kerbau, meskipun kedua binatang ini lebih besar ukurannya.
Di dalam tahap yang keempat manusia sama sekali mengatasi batas-batas binatang itu sehingga mampu, sampai batas tertentu, meramalkan dan mempersiapkan diri bagi masa depan.
Gerakan-gerakannya pada mulanya bisa dibandingkan dengan berjalan biasa di atas tanah, kemudian menyeberangi laut dengan sebuah kapal, kemudian pada pendaratan keempat - ketika ia sudah akrab dengan hakikat-hakikat - berjalan di atas air.
Sementara itu, di balik dataran ini masih ada dataran kelima yang dikenal oleh para nabi dan wali yang bisa dibandingkan dengan terbang mengarungi udara.
Jadi manusia punya kemampuan untuk dada pada berbagai dataran yang berbeda, mulai dari dataran hewaniah sampai dataran malaikat. Dan persis dalam hal inilah terletak bahayanya, yaitu dari kemungkinan jatuh ke dataran yang paling rendah.
Di dalam al-Qur'an tertulis, "Telah Kami tawarkan (yaitu tanggung jawab atau kehendak bebas) kepada lelangit dan bumi serta gunung-gunung; mereka menolak untuk menanggungnya. Tetapi manusia mau mananggungnya. Sesungguhnya manusia itu bodoh."
Al-Ghazali menjelaskan tidak hewan tidak pula malaikat bisa mengubah tingkat dan tempat ia ditempatkan. Tetapi seseorang bisa tenggelam ke dataran hewaniah atau terbang ke dataran malaikat, dan inilah arti dari "penanggungan beban" sebagaimana disebutkan di atas oleh al-Qur'an.
"Sebagian besar manusia memilih untuk berada di dua tahap terndah tersebut di atas, dan yang tetap tinggal biasanya selalu bersikap bermusuhan dengan orang yang bepergian atau musafir yang jumlahnya jauh lebih sedikit," ujarnya.
Banyak orang dari kelas yang disebut terdahulu, karena tidak memiliki keyakinan yang teguh tentang dunia yang akan datang, ketika dikuasai oleh nafsu-nafsu inderawi, menolaknya sama sekali.
Mereka berkata bahwa neraka adalah suatu temuan para ahli ilmu kalam belaka untuk menakut-nakuti orang. Mereka memandang para ahli ilmu kalam dengan penghinaan terbuka.
Berdebat dengan orang-orang seperti ini sedikit sekali manfaatnya. Meskipun demikian, ada yang bisa dikatakan pada orang yang seperti ini yang mungkin bisa membuatnya berhenti dan merenung.
"Benarkah anda sungguh-sungguh berpikir bahwa 124.000 nabi dan wali yang percaya pada kehidupan masa akan datang semuanya salah dan anda, yang menolaknya, benar?"
Jika ia menjawab, "Ya," saya sedemikian yakin - sebagaimana saya yakin bahwa dua lebih besar daripada satu - bahwasanya jiwa dan kehidupan masa depan dalam bentuk kebahagiaan maupun hukuman itu tidak ada, maka manusia seperti itu sudah tidak mempunyai harapan lagi. Yang bisa diperbuat hanyalah meninggalkannya sendiri sembari mengingat kata-kata al-Qur'an, "Meskipun kau peringatkan mereka, mereka tak akan ingat."
Tetapi jika ia berkata bahwa kehidupan masa depan adalah suatu kebolehjadian, hanya bahwa doktrin itu penuh mengandung keraguan dan misteri, sehingga tidak mungkin untuk bisa memutuskan benarkah hal itu atau tidak, maka seseorang bisa berkata kepadanya, "Jika demikian, sebaiknya anda selesaikan baik-baik keraguan itu."
Al-Ghazali mencontohkan, misalkan anda sedang akan makan makanan, kemudian seseorang berkata kepada anda bahwa seekor ular telah meludahkan bisa ke dalamnya, maka mungkin sekali anda akan menahan diri dan lebih baik menahan kepedihan rasa lapar daripada memakannya, meskipun orang yang memberi informasi pada anda mungkin hanya bercanda atau berbohong belaka.
Atau misalkan anda sedang sakit dan seorang penulis syair berkata, "Beri saya satu dirham dan saya akan menulis sebuah puisi yang bisa kauikatkan di lehermu, yang akan menyembuhkannya dari sakit."
Anda boleh jadi akan memberikan dirham yang dimintanya dengan harapan bisa mendapatkan manfaat jimat itu.
Atau jika seorang peramal berkata, "Pada saat bulan telah sampai ke suatu bentuk tertentu, minumlah obat ini dan itu dan engkau pun akan sembuh."
Meskipun mungkin anda sedikir sekali percaya pada astrologi, kemungkinan besar anda akan mencoba juga pengalaman itu dengan harapan bahwa orang itu benar. Tidakkah anda berpikir bahwa kebenaran yang bisa dipercaya juga terdapat dalam kata-kata nabi, para wali dan orang-orang suci, yang menyakinkan orang akan adanya kehidupan mendatang, sebagaimana janji seorang penulis jampi-jampi atau seorang peramal.
Orang berani melakukan perjalanan lewat laut yang penuh risiko demi mengharap suatu keuntungan, maka tidak maukah anda menanggung sedikir penderitaan di masa sekarang demi kebahagiaan abadi di akhirat?
Sayyidina Ali Zainal Abidin (Putra Husain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW) ketika berdebat dengan seorang kafir pernah berkata, "Jika anda benar, maka tidak seorang pun di antara kita yang akan menderita keadaan yang lebih buruk di masa depan. Tetapi jika kami yang benar, maka kami akan terhindar dan anda akan menderita."
Menurut Al-Ghazali, hal ini dikatakannya bukan karena ia sendiri berada dalam keraguan, tetapi hanya demi menciptakan suatu kesan bagi orang kafir itu.
Berdasar semua pembahasan di atas, kata Al-Ghazali, dapat disimpulkan bahwa urusan utama manusia di dunia ini adalah untuk mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang. Sekalipun jika ia ragu-ragu tentang kemaujudan masa depan, nalar mengajarkan bahwa ia harus bertindak seakan-akan hal itu ada dengan mempertimbangkan akibat luar biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan atas orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran Allah.
(mhy)