Bantahan Rasulullah SAW Terhadap Mitos Sial Bulan Safar
Kamis, 01 September 2022 - 13:10 WIB
Masyarakat Arab jahiliyyah dulu mempercayai Safar sebagai bulan sial, penuh kemalangan dan hal-hal buruk lainnya. Mereka percaya bahwa bulan tersebut mendatangkan kemalangan yang dapat menimpa siapa saja.
Kepercayaan ini bahkan tetap ada sampai masa Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam. Untuk diketahui, bulan kedua setelah Muharram ini artinya kosong. Kata Safar merupakan satu suku kata dengan Shifr (صفر) yang berarti kosong.
Makna ini merujuk pada kebiasaan masyarakat Arab dulu yang berpergian meninggalkan rumah untuk mengumpulkan makanan ataupun untuk keperluan perang. Dalam Islam, Safar dikenal sebagai bulan yang memiliki banyak peristiwa bersejarah.
Mengutip laman MUI, sebagian orang Arab dulu mengartikan Safar juga sebagai sejenis penyakit dalam perut, berbentuk ulat besar yang mematikan. Karena kepercayaan itu pulalah orang Arab dulu menganggap Safar sebagai bulan sial atau bulan nahas.
Dalam buku Pokok-Pokok Akidah yang Benar karya H A Zahri disebutkan, kepercayaan bahwa Safar mendatangkan kesialan disebut juga sebagai jenis Khurafat. Istilah khurafat berarti cerita rekaan atau khayalan.
Rasulullah SAW pun membantah kepercayaan tersebut dalam satu hadis yang berbunyi:
لا عدوى ولا طيرة ولا هامَة ولا صَفَر
Artinya: "Tidak ada kesialan karena 'Adwa (keyakinan adanya penularan penyakit), tidak ada thiyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), tidak ada hammah (keyakinan jahiliyah tentang rengkarnasi) dan tidak pula Safar (menganggap bulan Safar sebagai bulan haram atau keramat)." (HR Al-Bukhari)
Muhammad Khoirul Huda dalam bukunya Ilmu Matan Hadis menyitir keterangan Abu 'Ubaid bahwa Rasulullah SAW sedang berupaya mengkritik keyakinan khurafat kaum jahiliyyah.
Yaitu keyakinan bahwa kesialan, keburukan nasib, dan mara bahaya disebabkan sesuatu di luar takdir Allah seperti karena pengaruh hama/wabah ('adwa), maupun musim atau waktu tertentu seperti Safar.
Kepercayaan semacam itu bukanlah bagian dari ciri orang beriman. Bukanlah keyakinan seorang mukmin pula untuk membenci bulan Safar, ataupun enggan menyambutnya. Ataupun menahan diri dari urusan hidup seperti pada hari-hari dan bulan lain biasanya.
Seorang mukmin meyakini bahwa segala rahasia dari peristiwa-peristiwa hanya ada dalam genggaman Allah. Tidaklah suatu peristiwa itu terjadi melainkan kehendak dan rencana-Nya.
Wallahu A'lam
Kepercayaan ini bahkan tetap ada sampai masa Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam. Untuk diketahui, bulan kedua setelah Muharram ini artinya kosong. Kata Safar merupakan satu suku kata dengan Shifr (صفر) yang berarti kosong.
Makna ini merujuk pada kebiasaan masyarakat Arab dulu yang berpergian meninggalkan rumah untuk mengumpulkan makanan ataupun untuk keperluan perang. Dalam Islam, Safar dikenal sebagai bulan yang memiliki banyak peristiwa bersejarah.
Mengutip laman MUI, sebagian orang Arab dulu mengartikan Safar juga sebagai sejenis penyakit dalam perut, berbentuk ulat besar yang mematikan. Karena kepercayaan itu pulalah orang Arab dulu menganggap Safar sebagai bulan sial atau bulan nahas.
Dalam buku Pokok-Pokok Akidah yang Benar karya H A Zahri disebutkan, kepercayaan bahwa Safar mendatangkan kesialan disebut juga sebagai jenis Khurafat. Istilah khurafat berarti cerita rekaan atau khayalan.
Rasulullah SAW pun membantah kepercayaan tersebut dalam satu hadis yang berbunyi:
لا عدوى ولا طيرة ولا هامَة ولا صَفَر
Artinya: "Tidak ada kesialan karena 'Adwa (keyakinan adanya penularan penyakit), tidak ada thiyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), tidak ada hammah (keyakinan jahiliyah tentang rengkarnasi) dan tidak pula Safar (menganggap bulan Safar sebagai bulan haram atau keramat)." (HR Al-Bukhari)
Muhammad Khoirul Huda dalam bukunya Ilmu Matan Hadis menyitir keterangan Abu 'Ubaid bahwa Rasulullah SAW sedang berupaya mengkritik keyakinan khurafat kaum jahiliyyah.
Yaitu keyakinan bahwa kesialan, keburukan nasib, dan mara bahaya disebabkan sesuatu di luar takdir Allah seperti karena pengaruh hama/wabah ('adwa), maupun musim atau waktu tertentu seperti Safar.
Kepercayaan semacam itu bukanlah bagian dari ciri orang beriman. Bukanlah keyakinan seorang mukmin pula untuk membenci bulan Safar, ataupun enggan menyambutnya. Ataupun menahan diri dari urusan hidup seperti pada hari-hari dan bulan lain biasanya.
Seorang mukmin meyakini bahwa segala rahasia dari peristiwa-peristiwa hanya ada dalam genggaman Allah. Tidaklah suatu peristiwa itu terjadi melainkan kehendak dan rencana-Nya.
Wallahu A'lam
(rhs)