Implikasi Nabi Muhammad Penutup Segala Nabi Menurut Nurcholish Madjid
Rabu, 26 Oktober 2022 - 14:12 WIB
Salah satu implikasi Nabi Muhammad penutup segala nabi adalah manusia terbebas dari keharusan tunduk tidak semestinya kepada sesamanya, dan terbebas pula dari godaan cultic dan mitologi.
Jalan lurus terbentang di hadapannya, dan tinggallah ia harus menempuhnya sesuai dengan kemampuannya. "Maka konsep Nabi Muhammad sebagai penutup segala Nabi terkait erat dengan semangat ajaran Tauhid ," ujar Nurcholish Madjid dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".
Nurcholish Madjid mengatakan keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi dan Rasul diberikan dalam al-Qur'an dalam rangkaian firman Allah dan ajaran-Nya tentang pembatalan praktik tabanni.
Tabanni adalah mengangkat anak, kemudian anak itu diakui seperti anak sendiri, seolah benar-benar mempunyai pertalian darah dengan orang tua angkat bersangkutan, dengan segala konsekuensi kehukuman atau legalnya.
Praktik tabanni itu dibatalkan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang lebih mendalam dan asasi, yaitu ajaran tentang fitrah yang antara lain menghendaki segala sesuatu dinilai, dipandang dan dilakukan berdasarkan kenyataan intrinsiknya, bukan fakta formalnya.
Oleh karena tabanni memberi hak kehukuman kepada seseorang anak angkat hanya karena ia dinyatakan sebagai anak sendiri secara lisan (yakni, secara formal), maka praktik itu dianggap tidak fitri.
Dalam sangkutannya dengan Nabi, kata Nurcholish Madjid, praktik tabanni (yang beliau lakukan untuk bekas budaknya yang dimerdekakan oleh beliau sendiri, Zayd ibn Haritsah) mengakibatkan sebutan Nabi sebagai "bapak" seseorang di antara kaum beriman, yaitu Zayd. Maka beliau disebut Zayd ibn Muhammad, dengan mengesampingkan kaum beriman yang lain.
Maka firman Allah mengenai hal ini terbaca: "Muhammad itu bukanlah bapak seseorang dari antara kaum lelakimu, melainkan Rasul Allah dan penutup para Nabi." ( QS al-Ahzab/33 :40).
Kemudian, mendahului firman itu terbaca firman: "Nabi lebih berhak atas kaum beriman daripada diri mereka sendiri, dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka..." ( QS. al-Ahzab/33 :6).
Nurcholish Madjid menjelaskan sudah tentu yang dimaksud bahwa isteri-isteri Nabi itu adalah ibu-ibu kaum beriman ialah dalam pengertian spiritual. Maka Nabi sendiri, sementara dinyatakan sebagai bukan bapak salah seorang di antara kaum beriman, adalah bapak (spiritual) seluruh kaum beriman, yakni, panutan mereka semua.
"Inilah yang dapat kita simpulkan dari rangkaian firman-firman yang relevan," ujar Nurcholish Madjid.
Muhammad Asad dalam bunya berjudul "The Message of the Qur'an" (London: E.J. Brill, 1980) menjabarkan bahwa penegasan itu mengandung arti penolakan kepada pandangan bahwa adanya hubungan fisik (keturunan) dengan Nabi mempunyai makna spiritual tersendiri; sebaliknya, karena hubungan kebapakan kepada Nabi dan keibuan kepada para isteri beliau itu harus dipahami hanya sebagai hubungan spiritual (dan mustahil sebagai hubungan fisikal), maka kedudukan seluruh kaum beriman dalam hal ini di hadapan beliau adalah mutlak sama.
"Pengertian ini lebih-lebih lagi sangat logis karena Nabi Muhammad SAW adalah Utusan Allah yang terakhir," jelas Nurcholish Madjid.
Pengertian Penutup
Menurut Nurcholish Madjid, untuk pengertian "penutup" itu al-Qur'an menggunakan istilah "khatam," yang secara harfiah berarti "cincin," yaitu cincin pengesah dokumen (seal, stempel), sebagaimana Nabi Muhammad sendiri juga memilikinya (antara lain beliau pergunakan mereka yang sahkan surat-surat yang beliau kirim ke para penguasa sekitar Jazirah Arabia saat itu).
Jadi fungsi Nabi Muhammad SAW terhadap para Nabi dan Rasul sebelum beliau ialah untuk memberi pengesahan kepada kebesaran, kitab-kitab suci, dan ajaran mereka.
Hal ini tersimpul dari penjelasan tentang kedudukan al-Qur'an terhadap kitab-kitab suci yang lalu, yaitu sebagai pembenar (mushaddiq) dan penentu atau penguji (mahaymin), di samping sebagai pengoreksi (furqan) atas penyimpangan yang terjadi oleh para pengikut kitab-kitab itu.
Penegasan itu, kata Nurcholish Madjid, kita dapatkan dalam al-Qur'an dalam deretan keterangan tentang kaum Yahudi dan Kristen, disertai harapan agar mereka benar-benar menjalankan ajaran agama mereka masing-masing dengan baik, dan dirangkaikan dengan penegasan pluralitas kenyataan hidup manusia, termasuk dan terutama hidup keagamaannya.
Jalan lurus terbentang di hadapannya, dan tinggallah ia harus menempuhnya sesuai dengan kemampuannya. "Maka konsep Nabi Muhammad sebagai penutup segala Nabi terkait erat dengan semangat ajaran Tauhid ," ujar Nurcholish Madjid dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".
Baca Juga
Nurcholish Madjid mengatakan keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi dan Rasul diberikan dalam al-Qur'an dalam rangkaian firman Allah dan ajaran-Nya tentang pembatalan praktik tabanni.
Tabanni adalah mengangkat anak, kemudian anak itu diakui seperti anak sendiri, seolah benar-benar mempunyai pertalian darah dengan orang tua angkat bersangkutan, dengan segala konsekuensi kehukuman atau legalnya.
Praktik tabanni itu dibatalkan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang lebih mendalam dan asasi, yaitu ajaran tentang fitrah yang antara lain menghendaki segala sesuatu dinilai, dipandang dan dilakukan berdasarkan kenyataan intrinsiknya, bukan fakta formalnya.
Oleh karena tabanni memberi hak kehukuman kepada seseorang anak angkat hanya karena ia dinyatakan sebagai anak sendiri secara lisan (yakni, secara formal), maka praktik itu dianggap tidak fitri.
Dalam sangkutannya dengan Nabi, kata Nurcholish Madjid, praktik tabanni (yang beliau lakukan untuk bekas budaknya yang dimerdekakan oleh beliau sendiri, Zayd ibn Haritsah) mengakibatkan sebutan Nabi sebagai "bapak" seseorang di antara kaum beriman, yaitu Zayd. Maka beliau disebut Zayd ibn Muhammad, dengan mengesampingkan kaum beriman yang lain.
Maka firman Allah mengenai hal ini terbaca: "Muhammad itu bukanlah bapak seseorang dari antara kaum lelakimu, melainkan Rasul Allah dan penutup para Nabi." ( QS al-Ahzab/33 :40).
Kemudian, mendahului firman itu terbaca firman: "Nabi lebih berhak atas kaum beriman daripada diri mereka sendiri, dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka..." ( QS. al-Ahzab/33 :6).
Nurcholish Madjid menjelaskan sudah tentu yang dimaksud bahwa isteri-isteri Nabi itu adalah ibu-ibu kaum beriman ialah dalam pengertian spiritual. Maka Nabi sendiri, sementara dinyatakan sebagai bukan bapak salah seorang di antara kaum beriman, adalah bapak (spiritual) seluruh kaum beriman, yakni, panutan mereka semua.
"Inilah yang dapat kita simpulkan dari rangkaian firman-firman yang relevan," ujar Nurcholish Madjid.
Muhammad Asad dalam bunya berjudul "The Message of the Qur'an" (London: E.J. Brill, 1980) menjabarkan bahwa penegasan itu mengandung arti penolakan kepada pandangan bahwa adanya hubungan fisik (keturunan) dengan Nabi mempunyai makna spiritual tersendiri; sebaliknya, karena hubungan kebapakan kepada Nabi dan keibuan kepada para isteri beliau itu harus dipahami hanya sebagai hubungan spiritual (dan mustahil sebagai hubungan fisikal), maka kedudukan seluruh kaum beriman dalam hal ini di hadapan beliau adalah mutlak sama.
"Pengertian ini lebih-lebih lagi sangat logis karena Nabi Muhammad SAW adalah Utusan Allah yang terakhir," jelas Nurcholish Madjid.
Pengertian Penutup
Menurut Nurcholish Madjid, untuk pengertian "penutup" itu al-Qur'an menggunakan istilah "khatam," yang secara harfiah berarti "cincin," yaitu cincin pengesah dokumen (seal, stempel), sebagaimana Nabi Muhammad sendiri juga memilikinya (antara lain beliau pergunakan mereka yang sahkan surat-surat yang beliau kirim ke para penguasa sekitar Jazirah Arabia saat itu).
Jadi fungsi Nabi Muhammad SAW terhadap para Nabi dan Rasul sebelum beliau ialah untuk memberi pengesahan kepada kebesaran, kitab-kitab suci, dan ajaran mereka.
Hal ini tersimpul dari penjelasan tentang kedudukan al-Qur'an terhadap kitab-kitab suci yang lalu, yaitu sebagai pembenar (mushaddiq) dan penentu atau penguji (mahaymin), di samping sebagai pengoreksi (furqan) atas penyimpangan yang terjadi oleh para pengikut kitab-kitab itu.
Penegasan itu, kata Nurcholish Madjid, kita dapatkan dalam al-Qur'an dalam deretan keterangan tentang kaum Yahudi dan Kristen, disertai harapan agar mereka benar-benar menjalankan ajaran agama mereka masing-masing dengan baik, dan dirangkaikan dengan penegasan pluralitas kenyataan hidup manusia, termasuk dan terutama hidup keagamaannya.