Catatan Harian Mualaf Jerman Murad Wilfred Hoffman tentang Perempuan
Sabtu, 26 November 2022 - 08:44 WIB
Mualaf asal Jerman Murad Wilfred Hoffman membuat catatan harian tentang wanita menurut Islam pada 24 Desember 1984. Catatan yang dihimpun dalam buku berjudul "Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman" (Gema Insani Press, 1998) ini ditulis di Luterzbach, Jerman.
Berikut selengkapnya catatan harian tersebut:
Para pemuda muslim Jerman yang baru saja memeluk Islam berkumpul di Darul Islam, sebagai persiapan untuk menunaikan ibadah umrah. Situasi tampak tegang karena Kedutaan Arab Saudi belum memberikan visa masuk untuk beberapa wanita. Alasannya, mereka belum bersuami atau tidak di dampingi mahram, karena orang tua dan saudara-saudara mereka belum memeluk Islam.
Penolakan pemberian visa masuk mereka oleh pihak Kedutaan Arab Saudi didasari kekhawatiran pergaulan bebas antara pria dan wanita.
Juga karena manasik haji dan umrah tidak membolehkan keikutsertaan wanita lajang selama tidak di dampingi oleh mahram. Kaidah tersebut mempunyai alasannya sendiri mengingat kondisi yang sulit dalam hal transportasi, konsumsi, dan iklim sewaktu haji.
Adapun situasi zaman sekarang, kaidah dasar ini kehilangan salah satu rukun terpentingnya --para pakar fikih zaman dulu belum memprediksikan adanya seorang wanita sendirian yang akan berangkat haji dalam keluarganya.
Kementerian Luar Negeri Arab Saudi --berkat bantuan Muhammad Shiddiq al-Duubah, seorang imam yang kini berkewarganegaraan Jerman dan pernah belajar di Madinah-- berhasil menemukan jalan keluar dari krisis ini dengan memberikan izin kepada sebagian calon haji wanita yang sudah lanjut usia, setelah beberapa kali penundaan untuk bergabung dengan jemaah di Mekkah.
Orang-orang nonmuslim seperti biasa tidak yakin akan kemungkinan pemberian izin bagi wanita untuk masuk ke dalam masjid atau pergi haji. Bahkan, seseorang kadang-kadang menemui orang-orang yang mempercayai mitos tentang menurunnya gairah dan kebugaran wanita muslim.
Betapa jauhnya orang ini dari kebenaran. Aneh sekali mitos-mitos ini masih eksis, bahkan berhadapan dengan dalil-dalil yang menyingkapkan kesalahannya.
Sungguh wanita dalam Islam tidak hanya menikmati kegairahan saja. Ia berdiri berdampingan dengan pria dalam posisi yang sama menurut agama. Karenanya, wajib baginya jika mampu melaksanakan ibadah haji. Jika benar bahwa wanita tidak boleh bercampur dengan pria selama mendirikan shalat di masjid, maka situasi demikian mirip dengan posisi wanita Katolik yang duduk di barisan kiri bangku-bangku gereja.
Menurut David Lung, penyusun buku "Ibadah Haji Hari Ini" (Albania, New York, 1979), pada tahun 1972, jumlah umat Islam yang menunaikan haji mencapai 479.399 jiwa, sedangkan 170.864 jiwa, atau 34,6% diantaranya adalah wanita.
Di bidang-bidang yang lain seperti hukum --wanita telah menikmati-- menurut syariat Islam sejak 1400 tahun yang lalu, kedudukan hukum yang tidak diperoleh oleh saudari-saudari mereka dari Eropa, kecuali dengan susah payah pada abad ke-20 ini.
Sebagai contoh mengenai nikah. Nikah menurut Islam tidak mengandung pengaruh negatif apa pun terhadap hak-hak milik istri. Hal itu karena, ia sendirilah yang bertanggung jawab dalam mengatur barang miliknya sebelum nikah, dan mendayagunakan dengan cara yang ia sukai. Sungguh, perbedaan antara barang milik suami-istri -sebagai ganti dari perlindungan suami-- yang dianggap sebagai prestasi baru di Eropa telah mencerminkan kedudukan hukum dalam rentang waktu yang panjang dalam syariat Islam.
Jika benar bahwa anak lelaki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita dalam kasus waris, hal ini karena hanya suami yang dituntut untuk memberi nafkah keluarganya. Dan, jika sang istri tidak mampu menyusui bayinya, maka ia berhak memaksa suaminya untuk memakai jasa wanita pemberi susuan. Istri adalah pemilik keputusan akhir dalam pendidikan anaknya. Ia juga bisa menuntut talak dari suaminya.
Seorang wanita muslimah juga tidak terlarang --dari segi prinsip dasar-- bekerja di bidang-bidang yang sesuai dan proporsional. Para muslimah tempo dulu ikut berperang sebagai pembantu dalam Perang Uhud (tahun 627 M). Bahkan, Siti Aisyah (istri Rasul) memimpin Perang Jamal (656M).
Ada beberapa topik yang terbuka untuk didiskusikan seputar persamaan wanita dalam Islam, walaupun aku yakin wajib atas si pengkritik melihat fakta-fakta yang aku tolak sebelum secara frontal menyerang Islam dengan dalih pembebasan wanita.
Keluarga Katholik
Berikut selengkapnya catatan harian tersebut:
Para pemuda muslim Jerman yang baru saja memeluk Islam berkumpul di Darul Islam, sebagai persiapan untuk menunaikan ibadah umrah. Situasi tampak tegang karena Kedutaan Arab Saudi belum memberikan visa masuk untuk beberapa wanita. Alasannya, mereka belum bersuami atau tidak di dampingi mahram, karena orang tua dan saudara-saudara mereka belum memeluk Islam.
Penolakan pemberian visa masuk mereka oleh pihak Kedutaan Arab Saudi didasari kekhawatiran pergaulan bebas antara pria dan wanita.
Juga karena manasik haji dan umrah tidak membolehkan keikutsertaan wanita lajang selama tidak di dampingi oleh mahram. Kaidah tersebut mempunyai alasannya sendiri mengingat kondisi yang sulit dalam hal transportasi, konsumsi, dan iklim sewaktu haji.
Adapun situasi zaman sekarang, kaidah dasar ini kehilangan salah satu rukun terpentingnya --para pakar fikih zaman dulu belum memprediksikan adanya seorang wanita sendirian yang akan berangkat haji dalam keluarganya.
Kementerian Luar Negeri Arab Saudi --berkat bantuan Muhammad Shiddiq al-Duubah, seorang imam yang kini berkewarganegaraan Jerman dan pernah belajar di Madinah-- berhasil menemukan jalan keluar dari krisis ini dengan memberikan izin kepada sebagian calon haji wanita yang sudah lanjut usia, setelah beberapa kali penundaan untuk bergabung dengan jemaah di Mekkah.
Orang-orang nonmuslim seperti biasa tidak yakin akan kemungkinan pemberian izin bagi wanita untuk masuk ke dalam masjid atau pergi haji. Bahkan, seseorang kadang-kadang menemui orang-orang yang mempercayai mitos tentang menurunnya gairah dan kebugaran wanita muslim.
Betapa jauhnya orang ini dari kebenaran. Aneh sekali mitos-mitos ini masih eksis, bahkan berhadapan dengan dalil-dalil yang menyingkapkan kesalahannya.
Sungguh wanita dalam Islam tidak hanya menikmati kegairahan saja. Ia berdiri berdampingan dengan pria dalam posisi yang sama menurut agama. Karenanya, wajib baginya jika mampu melaksanakan ibadah haji. Jika benar bahwa wanita tidak boleh bercampur dengan pria selama mendirikan shalat di masjid, maka situasi demikian mirip dengan posisi wanita Katolik yang duduk di barisan kiri bangku-bangku gereja.
Menurut David Lung, penyusun buku "Ibadah Haji Hari Ini" (Albania, New York, 1979), pada tahun 1972, jumlah umat Islam yang menunaikan haji mencapai 479.399 jiwa, sedangkan 170.864 jiwa, atau 34,6% diantaranya adalah wanita.
Di bidang-bidang yang lain seperti hukum --wanita telah menikmati-- menurut syariat Islam sejak 1400 tahun yang lalu, kedudukan hukum yang tidak diperoleh oleh saudari-saudari mereka dari Eropa, kecuali dengan susah payah pada abad ke-20 ini.
Sebagai contoh mengenai nikah. Nikah menurut Islam tidak mengandung pengaruh negatif apa pun terhadap hak-hak milik istri. Hal itu karena, ia sendirilah yang bertanggung jawab dalam mengatur barang miliknya sebelum nikah, dan mendayagunakan dengan cara yang ia sukai. Sungguh, perbedaan antara barang milik suami-istri -sebagai ganti dari perlindungan suami-- yang dianggap sebagai prestasi baru di Eropa telah mencerminkan kedudukan hukum dalam rentang waktu yang panjang dalam syariat Islam.
Jika benar bahwa anak lelaki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita dalam kasus waris, hal ini karena hanya suami yang dituntut untuk memberi nafkah keluarganya. Dan, jika sang istri tidak mampu menyusui bayinya, maka ia berhak memaksa suaminya untuk memakai jasa wanita pemberi susuan. Istri adalah pemilik keputusan akhir dalam pendidikan anaknya. Ia juga bisa menuntut talak dari suaminya.
Seorang wanita muslimah juga tidak terlarang --dari segi prinsip dasar-- bekerja di bidang-bidang yang sesuai dan proporsional. Para muslimah tempo dulu ikut berperang sebagai pembantu dalam Perang Uhud (tahun 627 M). Bahkan, Siti Aisyah (istri Rasul) memimpin Perang Jamal (656M).
Ada beberapa topik yang terbuka untuk didiskusikan seputar persamaan wanita dalam Islam, walaupun aku yakin wajib atas si pengkritik melihat fakta-fakta yang aku tolak sebelum secara frontal menyerang Islam dengan dalih pembebasan wanita.
Keluarga Katholik