Sifat Muslim Seperti Ini, Dapat Jaminan Surga dari Rasulullah SAW
Rabu, 21 Desember 2022 - 08:22 WIB
Kata jujur sering diidentikkan dengan ucapan atau perkataan yang jujur dari lisan kita. Sehingga dinyatakan bahwa kejujuran pada ucapan adalah bentuk kejujuran yang dikenal oleh semua umat manusia. Seseorang dikatakan jujur apabila menyatakan kebenaran sesuai dengan fakta yang ada tanpa menambah-nambahi ataupun mengurang-ngurangi.
Dinukil dari ceramah Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary, dijelaskan bahwa jujur juga bermakna kesesuaian kata hati dengan ucapan . Jika salah satu tidak terpenuhi, maka ia belum bisa disebut sebagai kejujuran. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutamakan lisan daripada anggota tubuh lainnya di dalam mengamalkan kejujuran. Allah mengangkat derajat seorang hamba dengan menjadikannya mampu mengucapkan kalimat tauhid , syahadat Laa Ilaaha Illallah.
"Oleh karena itu tidak sepantasnya seorang muslim membiarkan indra yang dimuliakan ini melakukan kejahatan. Dan salah satu kejahatan lisan adalah berbohong. Apabila sampai terbiasa dengan kebiasaan yang merupakan salah satu sifat orang munafik ini, maka dia bisa binasa karena anggota tubuhnya ini,"ujar dai yang sering mengisi kanal dakwah sunnah ini.
Maka setiap muslim wajib menjaga lisan agar selalu berkata jujur dan menjauhi dusta, lawan dari kejujuran. Membiasakannya dengan ucapan-ucapan bermanfaat, baik dalam urusan dunia maupun urusan akhiratnya. Sebab bagaimanapun perbuatan lisan, itu bergantung pada kebiasaan sehari-hari bagaimana kita menggunakan lisan itu. Apabila dibiasakan jujur, niscaya ia akan selalu jujur. Dan apabila dibiasakan dusta, niscaya ia akan selalu dusta. Seperti yang disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadis:
“Seseorang berkata jujur dan senantiasa mengucapkan kejujuran, hingga dia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur.”
Sebaliknya,
“Seseorang berbohong lalu terus-menerus berbohong dan mencari-cari celah untuk berbohong, hingga dia ditulis di sisi Allah sebagai seorang pembohong.”
Maka perbuatan lisan itu bergantung pada pembiasaan kita sehari-hari, bagaimana kita biasakan lisan itu. Lisan yang dibiasakan berbohong, maka dia seolah-olah terlatih untuk berbohong, mudah bagi lisan itu untuk mengucapkan kebohongan. Demikian juga lisan yang terbiasa jujur, dia terlatih untuk jujur. Sehingga kelu lisannya untuk berkata bohong, selalu mengucapkan kejujuran.
Jadi apabila dibiasakan jujur, maka dia akan senantiasa jujur. Apabila dibiasakan dusta, maka dia akan senantiasa berdusta.
Oleh karena itu orang yang punya kebiasaan berbohong atau berdusta, kalau dia tidak sungguh-sungguh melenyapkan dan menghilangkan kebiasaan ini, dia tidak akan bisa meninggalkannya. Karena lisannya kadang-kadang reflek untuk berbohong. Bohong itu spontan muncul darinya, bahkan kadang-kadang tanpa dia pikirkan atau tanpa dia rekayasa, maka lisannya sudah berkata bohong.
Ada orang-orang yang seperti itu. Hal ini karena memang sudah terlatih, terbiasa, dan tidak merasa berat untuk mengucapkan kebohongan. Sehingga ada sebagian orang yang jujur dan bohongnya tidak bisa dibedakan. Manusia tidak bisa mengenali apakah dia sekarang berkata jujur atau berkata bohong.
Hal ini tergantung kepada kebiasaan, bagaimana kita membiasakan lisan kita. Karena lisan seperti anggota-anggota tubuh lainnya. Walaupun orang-orang mengatakan lidah memang tak bertulang, tapi banyak saraf-saraf di situ. Sama seperti tangan dan kaki yang kalau kita biasakan untuk mengerjakan sebuah pekerjaan, maka saraf-saraf ini akan menggerakkannya, bahkan kadang-kadang tanpa perintah otak sekalipun.
Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan motivasi kepada kita semua untuk jujur. Yaitu dengan memberikan jaminan surga. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadis:
“Jujurlah jika kamu berbicara,” itu yang pertama disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Jujurlah kamu ketika berbicara, biasakan jujur. Walaupun kadang-kadang kita terperosok dalam kebohongan karena satu dan lain hal. Dan kita ingat, kita sadar dan kita istighfar minta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena bohong itu juga tingkatan, ada bohong yang parah, ada sampai kepada bentuk kezaliman. Ada bohong-bohong ringan yang kadang-kadang itu lepas dari lisan kita begitu saja tanpa kita pikir. Walaupun Nabi menyuruh kita untuk pikir-pikir dulu sebelum berbicara.
Nabi mengatakan:
“Hendaklah dia berkata baik atau dia diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi perintahkan kita untuk memperhatikan setiap ucapan.
Demikian Allah mengabarkannya di dalam Al-Qur’an. Tapi boleh kita hitung satu hari saja, kata-kata yang kita keluarkan berapa persen yang sebelum kita ucapkan kita pikirkan dulu matang-matang. Pertama benar, jauh dari kebohongan. Yang kedua bermanfaat, jauh dari hal yang sia-sia. Mungkin hanya berapa persen dari ucapan kita yang betul-betul kita pikirkan. Sehingga kata-kata yang keluar itu benar-benar baik, yaitu betul dan bermanfaat.
Wallahu A'lam
Dinukil dari ceramah Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary, dijelaskan bahwa jujur juga bermakna kesesuaian kata hati dengan ucapan . Jika salah satu tidak terpenuhi, maka ia belum bisa disebut sebagai kejujuran. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutamakan lisan daripada anggota tubuh lainnya di dalam mengamalkan kejujuran. Allah mengangkat derajat seorang hamba dengan menjadikannya mampu mengucapkan kalimat tauhid , syahadat Laa Ilaaha Illallah.
Baca Juga
"Oleh karena itu tidak sepantasnya seorang muslim membiarkan indra yang dimuliakan ini melakukan kejahatan. Dan salah satu kejahatan lisan adalah berbohong. Apabila sampai terbiasa dengan kebiasaan yang merupakan salah satu sifat orang munafik ini, maka dia bisa binasa karena anggota tubuhnya ini,"ujar dai yang sering mengisi kanal dakwah sunnah ini.
Maka setiap muslim wajib menjaga lisan agar selalu berkata jujur dan menjauhi dusta, lawan dari kejujuran. Membiasakannya dengan ucapan-ucapan bermanfaat, baik dalam urusan dunia maupun urusan akhiratnya. Sebab bagaimanapun perbuatan lisan, itu bergantung pada kebiasaan sehari-hari bagaimana kita menggunakan lisan itu. Apabila dibiasakan jujur, niscaya ia akan selalu jujur. Dan apabila dibiasakan dusta, niscaya ia akan selalu dusta. Seperti yang disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadis:
“Seseorang berkata jujur dan senantiasa mengucapkan kejujuran, hingga dia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur.”
Sebaliknya,
“Seseorang berbohong lalu terus-menerus berbohong dan mencari-cari celah untuk berbohong, hingga dia ditulis di sisi Allah sebagai seorang pembohong.”
Maka perbuatan lisan itu bergantung pada pembiasaan kita sehari-hari, bagaimana kita biasakan lisan itu. Lisan yang dibiasakan berbohong, maka dia seolah-olah terlatih untuk berbohong, mudah bagi lisan itu untuk mengucapkan kebohongan. Demikian juga lisan yang terbiasa jujur, dia terlatih untuk jujur. Sehingga kelu lisannya untuk berkata bohong, selalu mengucapkan kejujuran.
Jadi apabila dibiasakan jujur, maka dia akan senantiasa jujur. Apabila dibiasakan dusta, maka dia akan senantiasa berdusta.
Oleh karena itu orang yang punya kebiasaan berbohong atau berdusta, kalau dia tidak sungguh-sungguh melenyapkan dan menghilangkan kebiasaan ini, dia tidak akan bisa meninggalkannya. Karena lisannya kadang-kadang reflek untuk berbohong. Bohong itu spontan muncul darinya, bahkan kadang-kadang tanpa dia pikirkan atau tanpa dia rekayasa, maka lisannya sudah berkata bohong.
Ada orang-orang yang seperti itu. Hal ini karena memang sudah terlatih, terbiasa, dan tidak merasa berat untuk mengucapkan kebohongan. Sehingga ada sebagian orang yang jujur dan bohongnya tidak bisa dibedakan. Manusia tidak bisa mengenali apakah dia sekarang berkata jujur atau berkata bohong.
Hal ini tergantung kepada kebiasaan, bagaimana kita membiasakan lisan kita. Karena lisan seperti anggota-anggota tubuh lainnya. Walaupun orang-orang mengatakan lidah memang tak bertulang, tapi banyak saraf-saraf di situ. Sama seperti tangan dan kaki yang kalau kita biasakan untuk mengerjakan sebuah pekerjaan, maka saraf-saraf ini akan menggerakkannya, bahkan kadang-kadang tanpa perintah otak sekalipun.
Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan motivasi kepada kita semua untuk jujur. Yaitu dengan memberikan jaminan surga. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadis:
“Jujurlah jika kamu berbicara,” itu yang pertama disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Jujurlah kamu ketika berbicara, biasakan jujur. Walaupun kadang-kadang kita terperosok dalam kebohongan karena satu dan lain hal. Dan kita ingat, kita sadar dan kita istighfar minta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena bohong itu juga tingkatan, ada bohong yang parah, ada sampai kepada bentuk kezaliman. Ada bohong-bohong ringan yang kadang-kadang itu lepas dari lisan kita begitu saja tanpa kita pikir. Walaupun Nabi menyuruh kita untuk pikir-pikir dulu sebelum berbicara.
Nabi mengatakan:
مَنْ كانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيصْمُتْ
“Hendaklah dia berkata baik atau dia diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi perintahkan kita untuk memperhatikan setiap ucapan.
Demikian Allah mengabarkannya di dalam Al-Qur’an. Tapi boleh kita hitung satu hari saja, kata-kata yang kita keluarkan berapa persen yang sebelum kita ucapkan kita pikirkan dulu matang-matang. Pertama benar, jauh dari kebohongan. Yang kedua bermanfaat, jauh dari hal yang sia-sia. Mungkin hanya berapa persen dari ucapan kita yang betul-betul kita pikirkan. Sehingga kata-kata yang keluar itu benar-benar baik, yaitu betul dan bermanfaat.
Wallahu A'lam
(wid)