Nasihat Kepemimpinan Anwar Ibrahim yang Sarat Hikmah dan Pelajaran
Selasa, 10 Januari 2023 - 22:34 WIB
Imam Shamsi Ali
Direktur Jamaica Muslim Center,
Presiden Nusantara Foundation
Hari Senin kemarin, 9 Januari 2023, diadakan acara dialog kepemimpinan bersama Dato' Dr Anwar Ibrahim, yang baru saja dilantik menjadi Perdana Menteri (PM) Malaysia. Acara ini dilaksanakan CT (Chairul Tanjung) Corp Leadership Forum.
Secara kebetulan saya termasuk yang mendapat undangan untuk hadir. Walau tidak sempat karena jauh di New York, saya mengikutinya dari dekat (secara virtual). Acara itu sangat prestisious (terhormat) dan luar biasa. Karena dihadiri oleh banyak tokoh-tokoh nasional, termasuk menteri dan mantan menteri, pimpinan lembaga tinggi negara, petinggi partai, ulama dan pimpinan organisasi massa lainnya.
Namun yang terpenting dari semua itu adalah sosok Anwar Ibrahim itu sendiri yang luar biasa. Kalau sekiranya saya ingin memberikan deskripsi tentang beliau dalam satu, mungkin yang tepat adalah "perfect". Tentunya sempurna yang dimaksud ada pada relevansinya sebagai manusia yang juga pastinya tidak lepas dari konotasi relatifitas.
Anwar Ibrahim sejak semasa mahasiswa telah menampilkan diri sebagai mahasiswa yang aktivis, cerdas, dan luas dalam permikiran dan pergaulan. Kecerdasan dan keluasan berpikir Anwar didukung oleh keluaasan referensi, selain tentunya pengalaman yang luar biasa.
Anwar Ibrahim dapat dikategorikan ilmuwan yang politisi dan politisi yang ilmuwan. Tapi pada kedua sisi itu (ilmuwan dan politisi) Anwar Ibrahim sangat solid dalam wawasan dan komitmen keaagamaan. Yang pada akhirnya menjadi sosok politisi yang religious dan cendekiawan.
Sosok Anwar Ibrahim memang exceptional (istimewa). Perjalanan politiknya yang penjang telah mengantarkannya kepada pengalaman hidup yang lengkap. Pernah merasakan kejayaaan dengan posisi-posisi prestigious di pemerintahan (Menteri dan Wakil Perdana Menteri). Tapi juga pernah terhempas ke dalam pengalaman pahit, dipenjara sekitar 10 tahunan.
Bukan sekadar penjara. Tapi upaya pembunuhan karakter (character assassination) dengan fitnah kejam yang dahsyat. Tapi seperti yang disampaikan dalam pidatonya, Anwar Ibrahim adalah sosok berkepribadian kuat. Yang lebih penting adalah beliau selalu memiliki pandangan optimisme di tengah goncangan gelombang kehidupan yang tidak bersahabat.
Memaknai Kepemimpinan
Satu hal yang perlu digarisbawahi juga adalah ketulusan Anwar Ibrahim dalam menyikapi perasaan kedekatan secara peibadi dengan Indonesia. Berkali-kali beliau menyebutkan bahwa beliau "is deeply sentimental" (terikat secara emosi) dengan Indonesia.
Lebih dari itu beliau menyampaikan bahwa dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaan Indonesia, bahkan mengutip pernyataan Taufik Ismail "saya malu jadi orang Indonesia", beliau tetap bangga dengan Indonesia. Bahwa Indonesia telah melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Soekarno (nasionalis), Hamka (Islam), bahkan siapa yang beliau sebut sebagai golongan kiri (Soejatmiko).
Saya tidak ingin menyebutkan semua poin-poin penting yang Anwar sampaikan dalam presentasinya yang tidak memakai bahan tertulis seperti kebiasaan para pejabat negara lainnya. Beliau berbicara dari hati dan kepala dengan penguasaan materi dan komunikasi yang dahsyat.
Penguasaan Anwar dengan ragam subyek itu terlihat misalnya ketika menyinggung Urgensi "critical thinking" para ulama/cendekiawan masa lalu. Salah satunya adalah perdebatan intelektual antara Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi. Belum lagi penguasaan teks-teks keagamaan baik Al-Qur'an, hadits, bahkan sejarah Islam.
Saya ingin membatasi diri pada tiga catatan penting dari berbagai hal yang beliau sampaikan dalam pemaparan itu.
1. Isu Kepemimpinan dan Demokrasi
Satu catatan penting yang saya simpulkan dari paparan beliau adalah bahwa sering kali demokrasi hanya disikapi pada prosesnya. Banyak orang merasa berdemokrasi karena proses pemilu yang telah selesai dilaksanakan (pilihan raya misalnya). Tapi banyak yang lupa bahwa kesuksesan demokrasi tidak sekadar pada prosesnya.
Demokrasi harus juga dilihat pada etika dari pelaksanaannya. Jika proses itu penuh dengan rekayasa dan ketidak jujuran maka demokrasi itu adalah demokrasi yang cacat. Demokrasi yang tidak perlu dibanggakan.
Tapi tidak kalah pentingnya adalah kesadaran bahwa demokrasi itu hanya akan valid dan bermakna ketika terbangun sebuah tanggung jawab (responsibility). Tanggung jawab ini tidak saja kepada rakyat. Tapi juga kepada Allah di Akhirat kelak.
Direktur Jamaica Muslim Center,
Presiden Nusantara Foundation
Hari Senin kemarin, 9 Januari 2023, diadakan acara dialog kepemimpinan bersama Dato' Dr Anwar Ibrahim, yang baru saja dilantik menjadi Perdana Menteri (PM) Malaysia. Acara ini dilaksanakan CT (Chairul Tanjung) Corp Leadership Forum.
Secara kebetulan saya termasuk yang mendapat undangan untuk hadir. Walau tidak sempat karena jauh di New York, saya mengikutinya dari dekat (secara virtual). Acara itu sangat prestisious (terhormat) dan luar biasa. Karena dihadiri oleh banyak tokoh-tokoh nasional, termasuk menteri dan mantan menteri, pimpinan lembaga tinggi negara, petinggi partai, ulama dan pimpinan organisasi massa lainnya.
Namun yang terpenting dari semua itu adalah sosok Anwar Ibrahim itu sendiri yang luar biasa. Kalau sekiranya saya ingin memberikan deskripsi tentang beliau dalam satu, mungkin yang tepat adalah "perfect". Tentunya sempurna yang dimaksud ada pada relevansinya sebagai manusia yang juga pastinya tidak lepas dari konotasi relatifitas.
Anwar Ibrahim sejak semasa mahasiswa telah menampilkan diri sebagai mahasiswa yang aktivis, cerdas, dan luas dalam permikiran dan pergaulan. Kecerdasan dan keluasan berpikir Anwar didukung oleh keluaasan referensi, selain tentunya pengalaman yang luar biasa.
Anwar Ibrahim dapat dikategorikan ilmuwan yang politisi dan politisi yang ilmuwan. Tapi pada kedua sisi itu (ilmuwan dan politisi) Anwar Ibrahim sangat solid dalam wawasan dan komitmen keaagamaan. Yang pada akhirnya menjadi sosok politisi yang religious dan cendekiawan.
Sosok Anwar Ibrahim memang exceptional (istimewa). Perjalanan politiknya yang penjang telah mengantarkannya kepada pengalaman hidup yang lengkap. Pernah merasakan kejayaaan dengan posisi-posisi prestigious di pemerintahan (Menteri dan Wakil Perdana Menteri). Tapi juga pernah terhempas ke dalam pengalaman pahit, dipenjara sekitar 10 tahunan.
Bukan sekadar penjara. Tapi upaya pembunuhan karakter (character assassination) dengan fitnah kejam yang dahsyat. Tapi seperti yang disampaikan dalam pidatonya, Anwar Ibrahim adalah sosok berkepribadian kuat. Yang lebih penting adalah beliau selalu memiliki pandangan optimisme di tengah goncangan gelombang kehidupan yang tidak bersahabat.
Memaknai Kepemimpinan
Satu hal yang perlu digarisbawahi juga adalah ketulusan Anwar Ibrahim dalam menyikapi perasaan kedekatan secara peibadi dengan Indonesia. Berkali-kali beliau menyebutkan bahwa beliau "is deeply sentimental" (terikat secara emosi) dengan Indonesia.
Lebih dari itu beliau menyampaikan bahwa dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaan Indonesia, bahkan mengutip pernyataan Taufik Ismail "saya malu jadi orang Indonesia", beliau tetap bangga dengan Indonesia. Bahwa Indonesia telah melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Soekarno (nasionalis), Hamka (Islam), bahkan siapa yang beliau sebut sebagai golongan kiri (Soejatmiko).
Saya tidak ingin menyebutkan semua poin-poin penting yang Anwar sampaikan dalam presentasinya yang tidak memakai bahan tertulis seperti kebiasaan para pejabat negara lainnya. Beliau berbicara dari hati dan kepala dengan penguasaan materi dan komunikasi yang dahsyat.
Penguasaan Anwar dengan ragam subyek itu terlihat misalnya ketika menyinggung Urgensi "critical thinking" para ulama/cendekiawan masa lalu. Salah satunya adalah perdebatan intelektual antara Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi. Belum lagi penguasaan teks-teks keagamaan baik Al-Qur'an, hadits, bahkan sejarah Islam.
Saya ingin membatasi diri pada tiga catatan penting dari berbagai hal yang beliau sampaikan dalam pemaparan itu.
1. Isu Kepemimpinan dan Demokrasi
Satu catatan penting yang saya simpulkan dari paparan beliau adalah bahwa sering kali demokrasi hanya disikapi pada prosesnya. Banyak orang merasa berdemokrasi karena proses pemilu yang telah selesai dilaksanakan (pilihan raya misalnya). Tapi banyak yang lupa bahwa kesuksesan demokrasi tidak sekadar pada prosesnya.
Demokrasi harus juga dilihat pada etika dari pelaksanaannya. Jika proses itu penuh dengan rekayasa dan ketidak jujuran maka demokrasi itu adalah demokrasi yang cacat. Demokrasi yang tidak perlu dibanggakan.
Tapi tidak kalah pentingnya adalah kesadaran bahwa demokrasi itu hanya akan valid dan bermakna ketika terbangun sebuah tanggung jawab (responsibility). Tanggung jawab ini tidak saja kepada rakyat. Tapi juga kepada Allah di Akhirat kelak.