Al-Fitnat Al-Kubra: Kisah Syahidnya Utsman bin Affan Disusul 5 Tahun Perang Saudara

Jum'at, 03 Februari 2023 - 17:27 WIB
loading...
Al-Fitnat Al-Kubra:...
Perang saudara selama lima tahun, hanya selang sekitar seperempat abad sejak wafat Nabi. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Pembunuhan terhadap khalifah ketiga, Utsman bin Affan , terjadi 24 tahun setelah wafat Nabi . Kasus ini bermula ketika sekelompok tentara (Arab Islam) dari Mesir datang ke Madinah untuk mengajukan klaim kepada Khalifah Utsman tentang apa yang menjadi hak mereka.

Akan tetapi, menurut Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939-2005) atau populer dipanggil Cak Nur , mereka segera kembali pulang ke Mesir, karena telah diberi tahu --secara palsu-- bahwa persoalan mereka telah diselesaikan dengan baik oleh Khalifah melalui perundingan dengan ketua utusan mereka.

"Namun setelah mereka mendapat berita yang benar bahwa ketua utusan mereka itu malah telah dibunuh, mereka kembali ke Madinah untuk mengajukan tuntutan," jelas Cak Nur dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".



Setelah beberapa saat perundingan dan musyawarah, yang di situ kaum bukan-Umawi di Madinah menunjukkan sikap netral, delegasi tentara itu menyerbu Utsman di rumahnya, dan membunuhnya.

Seperti halnya dengan Umar sebelumnya, juga Ali sesudahnya, Utsman memerintah hanya dengan mengandalkan reputasi dan nama baik pribadi, tanpa pengawal, sebagaimana layaknya adat kebiasaan para sesepuh (al-syaykh) suku-suku Arab menjalankan kepemimpinan mereka.

Kebiasaan itu membantu memudahkan usaha membunuhnya, sebagaimana telah terjadi pada Umar sebelumnya dan kelak terjadi pula pada Ali.

Menurut Cak Nur, banyak bahan rujuknya dari literatur klasik untuk pembahasan sekitar perkembangan dini sejarah Islam yang menyangkut fitnah besar ini. Salah satunya ialah Tarikh at-Thabari yang terkenal, yang meskipun ditulis di bawah bayangan kuat idiologi Sunni namun sampai batas yang cukup jauh tidak kehilangan sifat ilmiahnya.

Caj Nur mengatakan tentang mengapa delegasi tentara itu tidak puas terhadap Utsman dalam menjalankan tugas kekhalifahannya, tersedia tidak hanya satu keterangan, melainkan banyak dan cukup kompleks.

Pertama ialah, bahwa meskipun Utsman termasuk perintis pertama orang-orang Arab Makkah masuk Islam, namun dia adalah seorang anggota klan Umayyah yang berkuasa di kota itu, yang klan itu menjadi musuh utama Nabi, bahkan sikap permusuhan mereka itu berlangsung terus sampai boleh dikata detik-detik terakhir sebelum Nabi wafat.

Abu Sufyan, misalnya, adalah seorang penguasa Mekkah yang mengorganisasi dan memobilisasi orang-orang Quraisy melawan Nabi di Mekkah, sampai dengan saat Nabi menaklukkan Makkah.

Meskipun akhirnya Abu Sufyan masuk Islam, juga anaknya Mu'awiyah yang sedikit terlebih dahulu berbuat serupa, namun hal itu terjadi lebih banyak hanya berkat kebijaksanaan diplomatik Nabi yang memberi dan mengakui hak istimewa dan kehormatan mereka.



Sebagai klan dengan tradisi kekuasaan yang mapan, kaum Umawi segera melihat pada kekhalifahan Utsman suatu kesempatan untuk mengembalikan kedudukan mereka yang baru saja hilang. Mereka mengelilingi Utsman dengan penasihat-penasihat dan tenaga-tenaga ahli, seperti seorang "aktivis" Umawi, Marwan ibn al-Hakam.

Sebagian dari hadirnya para penasihat dan tenaga ahli Umawi itu sebenarnya merupakan lanjutan kebijaksanaan Umar sebelumnya, karena Umar melihat pada kaum Umawi itu kecakapan pemerintahan yang bisa dimanfaatkan. Tetapi tanpa keteguhan kepribadian Umar, Utsman menjadi tidak banyak berdaya menghadapi klannya sendiri, dan ia pun terjerumus kedalam praktik-praktik nepotistik yang mengundang berbagai reaksi keras banyak kalangan.

Cak Nur mengatakan sebenarnya Utsman melanjutkan kebijakan Umar, tapi tanpa mempunyai wibawa hebat seorang Umar. Para tentara suku Arab (al-muqatilah) yang oleh Umar ditempatkan di berbagai kota garnizun di daerah-daerah taklukan dipertahankan oleh Utsman seperti keadaan mereka semasa Umar, sementara perang sendiri, yang menjadi alasan penempatan itu, telah menjadi peristiwa sesekali saja.

Para tentara ini hidup menetap di tempat-tempat tersebut, seperti Kufah, dalam suasana terpisah dari penduduk bukan-Arab sekelilingnya. Bertindak sebagai penguasa pada kota-kota perbatasan itu ialah para gubernur (bekas) pedagang kaya yang cakap memerintah dari keluarga-keluarga Quraisy dan sekutu mereka dari Taif (klan Tsaqif), yang kebanyakan mereka itu terdiri dari kaum Umawi.

Mereka memegang pemerintahan menghadapi kecenderungan kesukuan dan semangat kedaerahan orang-orang Arab, dan kekuasaan mereka itu diawasi oleh semangat ajaran umum Islam yang saat itu Islam telah menjadi ciri utama sifat ke-Arab-an mereka.



Menurut Cak Nur, sudah sejak masa Umar banyak orang Arab Quraisy yang kaya, yakni para pedagang Mekkah, yang pergi ke daerah-daerah taklukan, terutama Mesopotamia di Irak, dan meneruskan usaha perdagangan mereka di sana.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1736 seconds (0.1#10.140)