Rumitnya Membangun Masjid di Prancis: Arsitek Harus Ikut Membuat Islam Tidak Terlihat

Sabtu, 17 Juni 2023 - 04:02 WIB
loading...
Rumitnya Membangun Masjid di Prancis: Arsitek Harus Ikut Membuat Islam Tidak Terlihat
Meriem Chabani: Arsitek, pengajar pada Ecole Nationale Supérieure dArchitecture Paris-Malaquais. Foto/Ilustrasi: YouTube
A A A
Lebih dari sekadar membangun sebuah bangunan, calon arsitek masjid di Prancis memiliki tanggung jawab menemukan cara pragmatis untuk mengatasi ketegangan antara masalah kekurangan kapasitas masjid, dampak masjid di daerah setempat, dan kecenderungan politik untuk mencoba membuat Islam tidak terlihat oleh publik.

"Setiap masjid baru juga harus berusaha, setelah selesai, untuk bertindak sebagai alat bantu komunikasi dan representasi positif Islam oleh dan untuk Muslim Prancis, baik dalam hubungannya dengan komunitas di dalamnya maupun di tingkat nasional yang lebih luas," tulis Meriem Chabani, pengajar pada Ecole Nationale Supérieure d'Architecture Paris-Malaquais, dalam artikelnya berjudul "Hidden Mosques, Quiet Atrophy" yang dilansir laman E-flux.

Menurutnya, ini mengingat posisi Islam yang rumit di Prancis. Setiap proposal untuk masjid baru pertama-tama harus mengatasi lingkungan politik yang secara alami merupakan kutukan bagi keberadaannya.



Sering Tidak Nyaman
Invasi Bani Umayyah ke Gaul (719–759 M), dan 800 tahun kemudian aliansi Prancis-Ottoman dalam pengepungan Nice (1543), menjadi saksi keterlibatan Prancis dalam sejarah Mediterania , dan dengan demikian penyebaran Islam itu sendiri.

"Proyek kolonial Prancis melanjutkan hubungan yang dekat ini, meski sering tidak nyaman, antara Prancis dan Islam," .

Sementara di daratan Prancis, laicité (sekularitas) dikukuhkan melalui Undang-undang tahun 1905 tentang Pemisahan Gereja dan Negara. Hal itu tidak berlaku di Aljazair , di mana bentuk Islam 'resmi' yang setia kepada negara kolonial dibudidayakan.

Setelah Perang Dunia II, Prancis mendorong dan memfasilitasi migrasi orang-orang dari koloninya untuk membangun kembali negaranya. Dan dalam upaya untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi pemeliharaan angkatan kerja ini, negara menerapkan kebijakan umum untuk penyatuan kembali keluarga.

Periode ini tidak hanya melihat peningkatan kehadiran populasi Muslim, tetapi juga menempatkan hubungan bermasalah antara negara kolonial dan Islam di ambang pintu Prancis.

"Dalam konteks inilah musala pertama kali didirikan di pabrik-pabrik dan di tempat-tempat penampungan pekerja migran."



Menurutnya, Undang-undang tahun 1905 tentang Pemisahan Gereja dan Negara juga memberikan kebebasan menjalankan agama dan hak untuk mendirikan tempat ibadah.

Namun dalam praktiknya, UU 1905 secara umum dimunculkan sebagai kendala visibilitas agama, paling sering menargetkan Islam sebagai agama terbesar kedua dan paling 'terlihat berbeda' di Prancis.

Di luar populasinya yang didominasi Arab dan kulit hitam, Islam di Prancis lebih jauh ditandai sebagai 'yang lain' melalui penampilan fisik Muslim—laki-laki berjanggut mengenakan jillaba, wanita berkerudung—dan konsentrasinya di daerah yang relatif terbatas, karena sejarah migrasi komunitasnya dan tatanan sosial ekonomi.



Masjid menyediakan satu objek pertikaian berulang dalam kontroversi politik saat ini seputar visibilitas Islam dalam ruang fisik Prancis dan perdebatan seputar komunitarianisme, dugaan radikalisasi, dan pelanggaran nilai republik laicité.

Debat publik di Prancis sering mencampuradukkan kontroversi seputar visibilitas Islam—dari burqa dan tukang jagal halal hingga contoh kekerasan yang dilakukan atas nama Islam.

Hal ini mengarah pada situasi di mana manifestasi keimanan Islam yang terlihat—atau terdengar—atau aktivitas dan estetika yang diasosiasikan secara lebih luas dengan budaya “Arab”—telah dilihat sebagai indikator ancaman keamanan secara umum.

Seperti pada masa kolonial, perdebatan seputar 'manifestasi nyata' Islam cenderung menutupi ketidaksetaraan sosial-ekonomi yang mencolok yang memisahkan populasi migran dari mayoritas 'Prancis'. Namun faktor-faktor ini dengan mudah ditolak sebagai tambahan dari dugaan ancaman terhadap identitas nasional Prancis dan keamanan publik.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4193 seconds (0.1#10.140)