4 Kriteria Seorang Muslim Berkualitas, Paling Utama Bersungguh-sungguh Menghasilkan Hal yang Bermanfaat
loading...
A
A
A
Ulama besar asal Mesir Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi sangat menyoroti kualitas keislaman kaum muslimin hari ini yang masih jauh di bawah standar. Beliau juga menekankan adanya perbedaan antara muslim dan mukmin. Sebab nash-nash syariat, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah, memang membedakan antara keduanya.
Mengutip pernyataannya, dijelaskan bahwa meskipun istilah iman dan Islam bisa saling mewakili ketika disebutkan sendiri-sendiri, akan tetapi, ketika disebutkan secara bersamaan dalam satu konteks pembahasan, masing-masing mempunyai arti tersendiri. Inilah yang dimaksud dengan kaidah idzaa ijtama’ iftaraqa, wa idzaa iftaraqa ijtama’a.
Untuk lebih mudah memahami perbedaan antara mukmin dan muslim , cobalah simak dan renungi perkataan sederhana berikut ini, “Jika engkau ingin melihat mukmin, lihatlah ketika shalat Subuh. Jika ingin melihat muslim, lihatlah ketika salat Id.”
Simpelnya, dapat dijelaskan bahwa, mukmin identik dengan kualitas, sedangkan muslim identik dengan kuantitas. Bisa disimpulkan bahwa mukmin adalah next level dari muslim yang terus berbenah dan meningkatkan kualitas dirinya. Baik dari aspek ruhiyah, ilmiyah, maupun jasadiyahnya.
Pertanyaannya kemudian, “Seperti apa sifat-sifat muslim yang berkualitas mukmin?”
Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan sifat-sifat tersebut dalam sebuah hadits yang cukup panjang,
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu), serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah.
Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata,‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan terjadi begini dan begitu.’ Tetapi, katakanlah,‘Qaddarallahu wa maa sya’a fa’ala (Ini telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki). Karena ucapan ‘seandainya’ akan membuka pintu setan.”(HR. Muslim no. 2664).
Para ulama menjelaskan, al-mukmin al-qawiy, orang beriman yang kuat dalam sabda ini bukan hanya sebatas fisik. Tetapi mencakup banyak hal: akidah, ibadah, akhlak, ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.
Sabda mulia yang satu ini, mengisyaratkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,sangat memerhatikan peningkatan kualitas SDM (sumber daya manusia). Nabi berharap agar umatnya menjadi pribadi-pribadi yang berkualitas tinggi. Karena kualitas manusia adalah syarat mutlak kejayaan sebuah peradaban.
Maka sangat disayangkan jika kita masih terlena dengan kuantitas, tapi mengabaikan kualitas. Seumpama buih di lautan: banyak jumlahnya, sedikit kekuatannya.
Dari hadis di atas, setidaknya, ada empat hal yang diwasiatkan oleh Nabi. Dan empat hal ini, bisa dijadikan acuan untuk meningkatkan kualitas. Dikutip dari laman dakwah.id, berikut kriterianya:
Aplikasinya, diawali dengan memupuk semangat dalam belajar, melawan kebiasaan menunda-nunda pekerjaan, meninggalkan budaya malas, mengurangi rebahan untuk sekedar bermain game atau hiburan lainnya, dan tidak membuang-buang waktu untuk hal yang sia-sia.
Dikutip dari sabda, Wasta’in billah. Lafal “isti’anah”ini tercantum dalam Surah al-Fatihah; Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in.
Maknanya: sebagai hamba Allah, setelah menunaikan ibadah, kita memohon pertolongan kepada-Nya. Maka, jangan lewatkan kesempatan ini.
Karena sejatinya doa adalah senjata paling ampuh yang Allah subhanahu wata’ala sediakan bagi seorang mukmin.
Jika poin pertama lebih tertuju pada aspek zahir, poin kedua ini lebih menekankan aspek batin. Meminjam dawuh almarhum KH. Hasyim Muzadi, “Ikhtiar itu doa lahir, dan doa itu ikhtiar batin.”
Inilah fungsi doa dalam konteks peningkatan kualitas. Bahwa orang yang merutinkan zikir dan doa, bukan hanya mendapatkan banyak pahala dan keutamaan. Tetapi, juga memiliki spirit yang kuat.
Disimpulkan dari sabda, wa laa ta’jaz. Nabi berpesan, jangan merasa lemah. Sebuah pesan yang sangat berkait erat dengan dua poin sebelumnya. Bahwa orang yang selalu bersungguh-sungguh dan rajin berdoa, tentunya tidak mudah putus asa. Ia selalu mencari kemudahan di tengah kesulitan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menginginkan umat Islam bermental tahan banting dan tidak mudah menyerah, tidak banyak mengeluh. Keterbatasan bukan menjadi alasan untuk tidak berkembang. Gangguan dan halangan dari luar, tidak menyurutkan semangat.
Almarhum KH. Syuhada Bahri rahimahullah pernah berpesan, “Semakin berat ujian dakwah, semakin wajib hukumnya (berdakwah). Dan jika bersabar, semakin besar pahalanya.”
Faidah dari sabda, “fa laa taqul law annii fa’altu kadzaa wa kadzaa, wa laakin qul qaddarallaahu wa maa syaa’a fa’ala.”
Di dalamnya terdapat larangan berandai-andai dan menyesali ikhtiar di masa lalu. Walau bagaimana pun, di balik setiap usaha, entah itu sukses atau gagal, akan selalu ada pelajaran berharga untuk langkah selanjutnya.
Hadits ini sangat relate dengan kehidupan. Ada kalanya, segenap ikhtiar telah ditempuh, tetapi cita-cita mulia yang dituju, belum juga terwujud. Bahkan tampaknya semakin menjauh dan sulit untuk digapai. Saat itulah, sikap terbaik adalah pasrah tawakal.
Jadi, tak perlu menyesali usaha baik yang pernah diperjuangkan, meskipun hasilnya tidak sesuai harapan.
Wallahu A'lam
Mengutip pernyataannya, dijelaskan bahwa meskipun istilah iman dan Islam bisa saling mewakili ketika disebutkan sendiri-sendiri, akan tetapi, ketika disebutkan secara bersamaan dalam satu konteks pembahasan, masing-masing mempunyai arti tersendiri. Inilah yang dimaksud dengan kaidah idzaa ijtama’ iftaraqa, wa idzaa iftaraqa ijtama’a.
Untuk lebih mudah memahami perbedaan antara mukmin dan muslim , cobalah simak dan renungi perkataan sederhana berikut ini, “Jika engkau ingin melihat mukmin, lihatlah ketika shalat Subuh. Jika ingin melihat muslim, lihatlah ketika salat Id.”
Simpelnya, dapat dijelaskan bahwa, mukmin identik dengan kualitas, sedangkan muslim identik dengan kuantitas. Bisa disimpulkan bahwa mukmin adalah next level dari muslim yang terus berbenah dan meningkatkan kualitas dirinya. Baik dari aspek ruhiyah, ilmiyah, maupun jasadiyahnya.
Pertanyaannya kemudian, “Seperti apa sifat-sifat muslim yang berkualitas mukmin?”
Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan sifat-sifat tersebut dalam sebuah hadits yang cukup panjang,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ. احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ. وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu), serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah.
Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata,‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan terjadi begini dan begitu.’ Tetapi, katakanlah,‘Qaddarallahu wa maa sya’a fa’ala (Ini telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki). Karena ucapan ‘seandainya’ akan membuka pintu setan.”(HR. Muslim no. 2664).
Para ulama menjelaskan, al-mukmin al-qawiy, orang beriman yang kuat dalam sabda ini bukan hanya sebatas fisik. Tetapi mencakup banyak hal: akidah, ibadah, akhlak, ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.
Sabda mulia yang satu ini, mengisyaratkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,sangat memerhatikan peningkatan kualitas SDM (sumber daya manusia). Nabi berharap agar umatnya menjadi pribadi-pribadi yang berkualitas tinggi. Karena kualitas manusia adalah syarat mutlak kejayaan sebuah peradaban.
Maka sangat disayangkan jika kita masih terlena dengan kuantitas, tapi mengabaikan kualitas. Seumpama buih di lautan: banyak jumlahnya, sedikit kekuatannya.
Dari hadis di atas, setidaknya, ada empat hal yang diwasiatkan oleh Nabi. Dan empat hal ini, bisa dijadikan acuan untuk meningkatkan kualitas. Dikutip dari laman dakwah.id, berikut kriterianya:
Empat Kriteria Muslim Berkualitas Tinggi
1. Bersungguh-sungguh dalam menghasilkan hal-hal yang bermanfaat
Kriteria muslim berkualitas tinggi yang pertama adalah bersungguh-sungguh dalam menghasilkan hal-hal yang bermanfaat. Diambil dari sabda, Ihsrish ‘alaa maa yanfa’uka.Aplikasinya, diawali dengan memupuk semangat dalam belajar, melawan kebiasaan menunda-nunda pekerjaan, meninggalkan budaya malas, mengurangi rebahan untuk sekedar bermain game atau hiburan lainnya, dan tidak membuang-buang waktu untuk hal yang sia-sia.
2. Banyak berdoa
Kriteria muslim berkualitas tinggi yang kedua adalah banyak berdoa.Dikutip dari sabda, Wasta’in billah. Lafal “isti’anah”ini tercantum dalam Surah al-Fatihah; Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in.
Maknanya: sebagai hamba Allah, setelah menunaikan ibadah, kita memohon pertolongan kepada-Nya. Maka, jangan lewatkan kesempatan ini.
Karena sejatinya doa adalah senjata paling ampuh yang Allah subhanahu wata’ala sediakan bagi seorang mukmin.
Jika poin pertama lebih tertuju pada aspek zahir, poin kedua ini lebih menekankan aspek batin. Meminjam dawuh almarhum KH. Hasyim Muzadi, “Ikhtiar itu doa lahir, dan doa itu ikhtiar batin.”
Inilah fungsi doa dalam konteks peningkatan kualitas. Bahwa orang yang merutinkan zikir dan doa, bukan hanya mendapatkan banyak pahala dan keutamaan. Tetapi, juga memiliki spirit yang kuat.
3. Selalu optimistis
Kriteria muslim berkualitas tinggi yang ketiga adalah adalah selalu optimistis.Disimpulkan dari sabda, wa laa ta’jaz. Nabi berpesan, jangan merasa lemah. Sebuah pesan yang sangat berkait erat dengan dua poin sebelumnya. Bahwa orang yang selalu bersungguh-sungguh dan rajin berdoa, tentunya tidak mudah putus asa. Ia selalu mencari kemudahan di tengah kesulitan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menginginkan umat Islam bermental tahan banting dan tidak mudah menyerah, tidak banyak mengeluh. Keterbatasan bukan menjadi alasan untuk tidak berkembang. Gangguan dan halangan dari luar, tidak menyurutkan semangat.
Almarhum KH. Syuhada Bahri rahimahullah pernah berpesan, “Semakin berat ujian dakwah, semakin wajib hukumnya (berdakwah). Dan jika bersabar, semakin besar pahalanya.”
4. Pasrah dan tawakal
Kriteria muslim berkualitas tinggi yang keempat adalah pasrah dan tawakal.Faidah dari sabda, “fa laa taqul law annii fa’altu kadzaa wa kadzaa, wa laakin qul qaddarallaahu wa maa syaa’a fa’ala.”
Di dalamnya terdapat larangan berandai-andai dan menyesali ikhtiar di masa lalu. Walau bagaimana pun, di balik setiap usaha, entah itu sukses atau gagal, akan selalu ada pelajaran berharga untuk langkah selanjutnya.
Hadits ini sangat relate dengan kehidupan. Ada kalanya, segenap ikhtiar telah ditempuh, tetapi cita-cita mulia yang dituju, belum juga terwujud. Bahkan tampaknya semakin menjauh dan sulit untuk digapai. Saat itulah, sikap terbaik adalah pasrah tawakal.
Jadi, tak perlu menyesali usaha baik yang pernah diperjuangkan, meskipun hasilnya tidak sesuai harapan.
Wallahu A'lam
(wid)