Maulid Nabi, Peringatan Keteladanan Rasulullah dalam Menyempurnakan Akhlak Manusia

Sabtu, 30 September 2023 - 10:00 WIB
loading...
Maulid Nabi, Peringatan...
Guru Besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya, Prof Khairil Anwar. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dinilai merupakan bentuk kecintaan umat Islam terhadap Rasulullah yang menjadi penanda berakhirnya zaman jahiliyah karena membawa risalah penuntun umat manusia. Tuntunan utamanya, Nabi Muhammad diutus ke muka bumi untuk menyempurnakan akhlak manusia.

"Rasulullah pernah bersabda, aku ini diutus adalah sebagai penyempurna akhlak. Tidak hanya memperbaiki tapi juga menyempurnakan. Melihat situasi dan kondisi masyarakat kita sekarang, masih bahkan mungkin semakin terdegradasi akhlaknya, khususnya terjadi pada akhlak anak-anak muda kita. Inilah yang saya kira perlunya banyak keteladanan dari generasi sebelumnya," kata Guru Besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya, Prof Khairil Anwar dalam keterangan tertulis dikutip, Sabtu (30/9/2023).

Menurut Prof Khairil, Nabi Muhammad menyempurnakan akhlak umat manusia dengan menjadi teladan yang baik atau uswatun hasanah. Mengikuti jejak Rasulullah tersebut, maka sejatinya setiap orang tua merupakan teladan bagi anak-anaknya. Sebab, secara teori, keteladanan dapat mempengaruhi jiwa anak-anak dan masyarakat hingga 80%, sedangkan 20% sisanya adalah melalui nasihat.



"Jadi nasihat atau ceramah itu tidak akan berarti tanpa adanya keteladanan, baik dari para pemimpin, pejabat, dan orang tua kita. Melalui keteladanan mereka semua itulah yang nanti akan dicontoh dan diikuti oleh masyarakatnya, khususnya generasi muda. Jadi perlunya kita sama-sama menyempurnakan akhlak masyarakat dengan memberikan teladan yang baik," kata Prof Khairil.

Selanjutnya yang perlu diingatkan adalah Nabi Muhammad diutus dengan agama yang lurus, ikhlas, dan penuh toleransi. Rasulullah bersabda, "Aku diutus dengan agama yang penuh keikhlasan, ketulusan, dan rasa toleransi". Ajaran ini tepat diterapkan di Indonesia yang masyarakatnya memiliki perbedaan budaya. Keberagaman disikapi dengan rasa ikhlas, terutama ikhlas beragama semata-mata karena Allah.

"Jika seseorang bisa memiliki rasa ikhlas ketika beribadah pada Allah, maka ia pun akan bisa ikhlas dengan sesama manusia walaupun berbeda budayanya atau kepercayaannya," ujar Prof Khairil.

Ia menekankan manusia harus bisa menjadi pribadi toleran terhadap perbedaan, baik sesama umat Islam, antarumat beragama, dan termasuk juga antarumat beragama dengan pemerintah.

"Jadi itulah hikmah kita mengadakan Maulid untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selain membawa risalah Islam yang rahmatan al-alamin, Rasulullah juga ditugaskan untuk menyempurnakan akhlak manusia, serta mencontohkan rasa ikhlas dan toleransi dalam beribadah kepada Allah serta umat manusia secara keseluruhan," katanya.

Prof Khairil menyinggung pandangan bahwa perayaan Maulid Nabi adalah bid'ah. Menurutnya, sejatinya perayaan Maulid Nabi dan Isra Mi'raj bukanlah bid'ah karena tidak ada prinsip beragama yang dilanggar.

"Yang namanya bid'ah itu kalau salat dua rakaat pada waktu subuh, lalu dijadikan empat rakaat atau tiga rakaat. Jadi masalah-masalah yang menyangkut ibadah mahdoh. Kalau ibadahnya yang ghoiru mahdoh, seperti muamalah dan yang sejenisnya, maka itu boleh dikreasikan umat Islam dalam mempraktikkan nilai-nilai agama itu ke dalam tradisinya dan masyarakatnya agar ajaran Islam bisa dikenal," ujarnya.

Rektor IAIN Palangka Raya periode 2019-2023 ini berpesan kepada umat beragama harus memiliki karakter toleran terhadap perbedaan. Konsep moderasi beragama bisa dijalankan jika umat manusia itu bisa menerima segala perbedaan yang ada.

"Tentu toleransi yang dimaksud di sini adalah toleransi yang aktif. Maksudnya, walaupun kita berbeda agama atau suku, tidak hanya kita menghormati, namun juga kita harus bisa bekerja sama sepanjang tidak melanggar prinsip agama atau peraturan pemerintah yang sah," kata Prof Khairil.

Dia memberikan perumpamaan dengan perbedaan antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Perbedaan dua kelompok ormas Islam ini bisa disikapi dengan mengatakan ‘lanaa a’maluna wa lakum a’malukum’, yang artinya ‘bagi kami amalan kami dan bagi kalian amalan kalian’. Intinya, silakan kerjakan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.

"Begitu juga jika terjadi perbedaan dalam pilihan politik, bisa disikapi dengan mengatakan ‘bagi kami partai kami, bagimu partai kamu.’ Banyak perbedaan lain yang juga bisa disikapi dengan cara yang sama. Jadi di suasana yang begitu banyak perbedaan, baik dari sisi politik, praktik ibadah, atau agama, saya kira itu harus bisa disikapi dengan saling menghormati, menghargai, dan bisa bekerja sama," katanya.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1393 seconds (0.1#10.140)