Ini Mengapa Resolusi PBB tentang Palestina Tak Bergigi
loading...
A
A
A
Mantan anggota Kongres AS , Paul Findley (1921 – 2019) mengatakan Israel telah berjuang keras selama bertahun-tahun untuk mendiskreditkan Perserikatan Bangsa-Bangsa terutama karena PBB telah menjadi pihak pertama yang memaklumi hakikat konflik Israel- Palestina .
Pada 1969 Majelis Umum PBB mengambil langkah besar dengan mengubah persepsi dunia atas konflik tersebut. Ia mengeluarkan sebuah resolusi yang mengakui bangsa Palestina sebagai suatu bangsa tersendiri dan menegaskan "hak-hak mereka yang tak dapat dicabut."
Resolusi 2535 mencatat bahwa majelis mengakui "bahwa para pengungsi Arab Palestina muncul akibat penolakan atas hak-hak mereka yang tak dapat dicabut di bawah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia Universal."
"Amerika Serikat ada di antara dua puluh dua negara yang memberikan suara menentang resolusi itu," tulis tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).
Dikeluarkannya resolusi itu menandai awal pengakuan dunia atas bangsa Palestina sebagai bangsa yang dicabut hak-hak dasarnya menurut hukum internasional. Sebelumnya Majelis dan sebagian besar pemerintahan non-Arab memusatkan perhatian pada bangsa Palestina sebagai individu-individu pengungsi dan korban perang.
Menurut Paul Findley, inilah sikap yang dengan gencar didukung Israel, yang telah lama berketetapan untuk memperlakukan orang-orang Palestina sebagai individu-individu dan bukan sebagai bagian dari suatu komunitas --sebagaimana orang-orang Yahudi tidak diakui sebagai suatu komunitas di Eropa Timur pada peralihan abad yang lalu.
Resolusi-resolusi Majelis selanjutnya antara 1970 dan 1974 menetapkan hak-hak mendasar bangsa Palestina. Majelis mengakui bahwa "rakyat Palestina mempunyai hak yang sama dan boleh menentukan nasibnya sendiri, sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa" (Resolusi 2672); menegaskan "keabsahan perjuangan bangsa yang berada di bawah kekuasaan penjajah dan pihak asing, [yang] mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri untuk merebut kembali hak itu dengan segala sarana yang mereka miliki" (Resolusi 2649); dan menyatakan bahwa hak-hak yang tidak dapat dicabut dari bangsa Palestina itu mencakup pertalian antara hak mereka untuk menentukan nasib sendiri dan hak kaum pengungsi untuk kembali (Resolusi 3089).
Dikeluarkannya resolusi-resolusi ini menjadi landasan hukum dan moral bagi perjuangan Palestina sebagaimana yang kita kenal sekarang. Dalam kata-kata ilmuwan Palestina Ghayth Armanazi: "Bangsa Palestina kini sepenuhnya didukung oleh masyarakat dunia dengan empat hak utama: hak untuk kembali, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk berjuang dan menerima bantuan dalam perjuangan mereka."
Amerika Serikat bersatu dengan Israel dalam memberikan suara melawan semua resolusi sebelumnya. Namun, Washington seraca rutin mendukung resolusi-resolusi yang menawarkan kepada orang-orang Palestina untuk kembali atau menerima kompensasi, seperti yang mula-mula dirumuskan dalam Resolusi Majelis Umum 194 pada 1948.
Resolusi itu menetapkan bahwa "para pengungsi yang ingin kembali ke rumah-rumah mereka dan hidup damai dengan tetangga-tetangga mereka akan diizinkan untuk kembali secepatnya, dan bahwa kompensasi harus dibayarkan atas rumah dari orang-orang yang memilih untuk tidak kembali dan atas kehilangan atau kerusakan rumah itu."
Amerika Serikat menegaskan kembali dukungannya pada rumusan kembali-atau-kompensasi sampai 12 Mei 1992. Perbedaan antara rumusan itu dan rumusan yang digunakan dalam Resolusi 3089 adalah bahwa yang terakhir ini menegaskan bahwa bangsa Palestina mempunyai "hak" untuk kembali.
Penunjang terakhir dalam posisi Palestina adalah pengakuan Majelis Umum atas Organisasi Pembebasan Palestina sebagai "wakil bangsa Palestina" pada 1974. Amerika Serikat juga menentang resolusi ini. Dua minggu kemudian, pertemuan negara-negara Arab di Rabat, Maroko, menetapkan Organisasi Pembebasan Palestina sebagai "satu-satunya wakil sah" dan suara bangsa Palestina.
Kementerian Luar Negeri AS akhirnya berselisih dengan Israel pada 12 November 1975, dengan menyatakan secara terbuka bahwa "dalam banyak hal, dimensi Palestina mengenai konflik Arab-Israel merupakan inti konflik itu.
Resolusi terakhir... tidak akan mungkin kecuali jika persetujuan yang menentukan status yang adil dan permanen bagi orang-orang Arab yang mengganggap diri mereka sebagai bangsa Palestina disepakati.18 Deklarasi Wakil Asisten Menteri Luar Negeri untuk Masalah Timur Dekat, Harold H. Saunders, ini merupakan pernyataan resmi AS pertama yang panjang mengenai Palestina.
Kabinet Israel mengemukakan "kritik tajam" pada pernyataan Saunders, dengan menuduh bahwa pernyataan tersebut mengandung "banyak ketidaktelitian dan distorsi."
Kegemparan di Israel akibat pernyataan itu demikian hebatnya sehingga Menteri Luar Negeri Henry Kissinger menyatakan Dokumen Saunders, sebagaimana dokumen itu kemudian dikenal, sebagai "latihan akademis dan teoretis" --meskipun Kissinger sendiri telah secara cermat meninjaunya.
Orang-orang Arab untuk sementara terlambung semangatnya oleh pernyataan itu namun segera menyadari bahwa pernyataan tersebut tidak membuktikan adanya pergeseran dalam posisi AS.
Dokumen Saunders menjadi patokan penting dalam konflik Arab-Israel. Setelah ini, untuk pertama kalinya para analis AS mulai menganggap orang-orang Palestina sebagai suatu bangsa, bukan melalui fungsi mereka atau situasi mereka sebagai pengungsi, teroris, atau penduduk Arab yang dijajah.
Pada 1969 Majelis Umum PBB mengambil langkah besar dengan mengubah persepsi dunia atas konflik tersebut. Ia mengeluarkan sebuah resolusi yang mengakui bangsa Palestina sebagai suatu bangsa tersendiri dan menegaskan "hak-hak mereka yang tak dapat dicabut."
Resolusi 2535 mencatat bahwa majelis mengakui "bahwa para pengungsi Arab Palestina muncul akibat penolakan atas hak-hak mereka yang tak dapat dicabut di bawah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia Universal."
"Amerika Serikat ada di antara dua puluh dua negara yang memberikan suara menentang resolusi itu," tulis tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).
Dikeluarkannya resolusi itu menandai awal pengakuan dunia atas bangsa Palestina sebagai bangsa yang dicabut hak-hak dasarnya menurut hukum internasional. Sebelumnya Majelis dan sebagian besar pemerintahan non-Arab memusatkan perhatian pada bangsa Palestina sebagai individu-individu pengungsi dan korban perang.
Menurut Paul Findley, inilah sikap yang dengan gencar didukung Israel, yang telah lama berketetapan untuk memperlakukan orang-orang Palestina sebagai individu-individu dan bukan sebagai bagian dari suatu komunitas --sebagaimana orang-orang Yahudi tidak diakui sebagai suatu komunitas di Eropa Timur pada peralihan abad yang lalu.
Resolusi-resolusi Majelis selanjutnya antara 1970 dan 1974 menetapkan hak-hak mendasar bangsa Palestina. Majelis mengakui bahwa "rakyat Palestina mempunyai hak yang sama dan boleh menentukan nasibnya sendiri, sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa" (Resolusi 2672); menegaskan "keabsahan perjuangan bangsa yang berada di bawah kekuasaan penjajah dan pihak asing, [yang] mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri untuk merebut kembali hak itu dengan segala sarana yang mereka miliki" (Resolusi 2649); dan menyatakan bahwa hak-hak yang tidak dapat dicabut dari bangsa Palestina itu mencakup pertalian antara hak mereka untuk menentukan nasib sendiri dan hak kaum pengungsi untuk kembali (Resolusi 3089).
Dikeluarkannya resolusi-resolusi ini menjadi landasan hukum dan moral bagi perjuangan Palestina sebagaimana yang kita kenal sekarang. Dalam kata-kata ilmuwan Palestina Ghayth Armanazi: "Bangsa Palestina kini sepenuhnya didukung oleh masyarakat dunia dengan empat hak utama: hak untuk kembali, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk berjuang dan menerima bantuan dalam perjuangan mereka."
Amerika Serikat bersatu dengan Israel dalam memberikan suara melawan semua resolusi sebelumnya. Namun, Washington seraca rutin mendukung resolusi-resolusi yang menawarkan kepada orang-orang Palestina untuk kembali atau menerima kompensasi, seperti yang mula-mula dirumuskan dalam Resolusi Majelis Umum 194 pada 1948.
Resolusi itu menetapkan bahwa "para pengungsi yang ingin kembali ke rumah-rumah mereka dan hidup damai dengan tetangga-tetangga mereka akan diizinkan untuk kembali secepatnya, dan bahwa kompensasi harus dibayarkan atas rumah dari orang-orang yang memilih untuk tidak kembali dan atas kehilangan atau kerusakan rumah itu."
Amerika Serikat menegaskan kembali dukungannya pada rumusan kembali-atau-kompensasi sampai 12 Mei 1992. Perbedaan antara rumusan itu dan rumusan yang digunakan dalam Resolusi 3089 adalah bahwa yang terakhir ini menegaskan bahwa bangsa Palestina mempunyai "hak" untuk kembali.
Penunjang terakhir dalam posisi Palestina adalah pengakuan Majelis Umum atas Organisasi Pembebasan Palestina sebagai "wakil bangsa Palestina" pada 1974. Amerika Serikat juga menentang resolusi ini. Dua minggu kemudian, pertemuan negara-negara Arab di Rabat, Maroko, menetapkan Organisasi Pembebasan Palestina sebagai "satu-satunya wakil sah" dan suara bangsa Palestina.
Kementerian Luar Negeri AS akhirnya berselisih dengan Israel pada 12 November 1975, dengan menyatakan secara terbuka bahwa "dalam banyak hal, dimensi Palestina mengenai konflik Arab-Israel merupakan inti konflik itu.
Resolusi terakhir... tidak akan mungkin kecuali jika persetujuan yang menentukan status yang adil dan permanen bagi orang-orang Arab yang mengganggap diri mereka sebagai bangsa Palestina disepakati.18 Deklarasi Wakil Asisten Menteri Luar Negeri untuk Masalah Timur Dekat, Harold H. Saunders, ini merupakan pernyataan resmi AS pertama yang panjang mengenai Palestina.
Kabinet Israel mengemukakan "kritik tajam" pada pernyataan Saunders, dengan menuduh bahwa pernyataan tersebut mengandung "banyak ketidaktelitian dan distorsi."
Kegemparan di Israel akibat pernyataan itu demikian hebatnya sehingga Menteri Luar Negeri Henry Kissinger menyatakan Dokumen Saunders, sebagaimana dokumen itu kemudian dikenal, sebagai "latihan akademis dan teoretis" --meskipun Kissinger sendiri telah secara cermat meninjaunya.
Orang-orang Arab untuk sementara terlambung semangatnya oleh pernyataan itu namun segera menyadari bahwa pernyataan tersebut tidak membuktikan adanya pergeseran dalam posisi AS.
Dokumen Saunders menjadi patokan penting dalam konflik Arab-Israel. Setelah ini, untuk pertama kalinya para analis AS mulai menganggap orang-orang Palestina sebagai suatu bangsa, bukan melalui fungsi mereka atau situasi mereka sebagai pengungsi, teroris, atau penduduk Arab yang dijajah.
(mhy)