Profil dan Biografi Habib Salim bin Jindan : Pejuang dan Ulama yang Haus Ilmu

Jum'at, 05 Januari 2024 - 14:46 WIB
loading...
Profil dan Biografi...
Habib Salim bin Ahmad bin Jindan. Foto dok Jakartaislamiccenter
A A A
Profil dan biografi Habib Salim bin Jindan penting diketahui oleh generasi Islam Indonesia saat ini. Selain karena salah satu dari habib keturunan langsung Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, Habib Salim bin Jindan ini juga seorang ulama besar yang memiliki banyak keilmuannya, serta seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.

Habib Salim bin Jindan, lahir di Surabaya pada 7 September 1906 M atau 18 Rajab 1324, wafat di Jakarta pada 1 Juni 1969 atau 16 Rabiulawal 1389.

Nasabnya langsung terhubung dengan Nabi Muhammad Shallallahu alihi wa salam. Nasabnnya yakni, Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Jindan bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Syaikhan bin Asy Syaikh Abu Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurahman bin Abdullah bin Asy Syeikh Abdurahman As Seggaf bin muhammad Maula Ad Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghuyyur bin Al Faqih Al Muqoddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Murbath bin Ali Khala’ Qosam bin Alwi bin Muhammad Shahib Shawma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin Al Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al ‘Uraidhi bin Ja’far Ash Shadiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib, Al Husain Putra As Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah Muhammad SAW.

Habib Salim bin Jindan memiliki nama asli Habib Salim bin Ahmad bin Jindan. Beliau dijuluki sebagai ulama yang haus ilmu sehingga disapa sebagai ulama 'Gudang Ilmu' pada zamannya. Beliau memiliki banyak guru, tak kurang dari 400 guru, baik dari kalangan sayid maupun yang bukan sayid. Semuanya ia catat dalam banyak karyanya yang menjelaskan sanad dan silsilah keilmuan.

Di antara gurunya ialah Syaikhuna Kholil bin Abdul Mutolib yang masyhur dengan sebutan Mbah Kholil Bangkalan. Al-Habib Salim pun berguru dan mengambil sanad ilmu kepada Imam Ahmad bin Zaini Dahlan, Habib Alwi dan Muhammad Al Haddad dan Habib Abu Bakar bin Muahmmad Assegaf. Kedua habib terakhir ini adalah guru yang paling berkesan di hati beliau.

Salah satu guru beliau yang lain adalah Al Habib Idrus bin Umar Al Habsyi yang di hadapannya lebih dari 200 kitab beliau baca dan kaji. Masih banyak lagu guru lainnya baik ulama dunia maupun di wilayah ulama Nusantara.
Kesungguhan dan kecintaan Habib Salim dan Jindan terhadap ilmu dibuktikan juga dengan koleksi kitabnya dalam perpustakaan pribadi yang berjumlah sekitar 15.000 kitab, terdiri dari kitab mu’tabaroh maupun kitab kitab langka.

Habib Salim juga mengarang sekitar 100 kitab dalam berbagai bidang, misalnya dalam bidang sejarah dengan judul Kitab I’laam Ahli Ar Rusukh Bi Anbaa’I A’laam Asy Syuyukh sejumlah 4 jilid; Kitab Ithaaf An Nabiil Bi Akhbaar Man Bi Jazair Al Arakhbiil 2 Jilid, I’laam Al Baraaya Bi A’laam Indunusia 3 jilid; Muluk Al Alawiyyin Fi Asy Syarqil Aqsha 2 jilid; Tarikh Dukhul Islam Ila Jazair Indunusia membahas tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara dan tentang kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, serta tentang sejarah dan biografi tokoh-tokoh Nusantara.

Seperti dilansir NU online, siapa pun yang membaca kitab-kitab Habib Salim bin Jindad akan tumbuh rasa nasionalis dan cinta Tanah Air yang luar biasa. Ia pun menulis lebih dari 50 judul kitab besar, salah satunya adalah Kitab Raudhah Al Wildan terdiri dari 8 jilid besar yang berisi hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.

Beliau juga terkenal sebagai ulama ahli nasab. Beliau menulis puluhan kitab tentang nasab. Antara lain Kitab Mu’jam Al Awadim 16 jilid, yang mana jilid 1 saja sudah 1200 halaman; dan Kitab Ad Durr wa Al Yaquut 7 Jilid. Kealiman beliau tidak hanya masyhur di Indonesia, tapi juga terkenal di seluruh dunia. Bahkan ulama dunia yang juga guru beliau Muhaddits Al Hijaaz Al 'Allamah Asy Syeikh Umar bin Hamdan Al Mahrasi Al Jazairi.

Dalam naskah ijazah beliau kepada Al Habib Salim bin Ahmad bin Jindan Asy Syeikh Umar bin Hamdan Al Mahrasi Al Jazairi menulis, "Sesungguhnya aku telah memberikan ijazahku untuk As Sayyid yang sempurna Salim bin Ahmad bin Jindan." ad Kemudian, guru beliau yang lain Al 'Allamah Mufti Johor Al Habib Alwi bin Thohir Al Haddad. Dalam naskah ijazah kepada Al Habib Salim beliau menulis, "Sesungguhnya telah meminta kepadaku Ijazah As Sayyid yang terhormat, teguh dalam berprinsip, yang ditalqinkan baginya ilmu, yang diberi ilham yang agung dari Allah, seorang yang memiliki hafalan yang sangat kuat, yang selalu meneliti danmengkritisi ilmu, yang setiap hari selalu datang dan memenuhi hidupnya untuk memikirkan ilmu yaitu As Sayyid Salim bin Ahmad bin Jindan."

Maka dalam dunia ilmu beliau dijuluki Al Muhaddist (Ahli Hadist), Al Musnid (Ahli Sanad), dan Al Muarrikh (Ahli Sejarah).

Pejuang Kemerdekaan dan Dakwah Cinta Tanah Air

Kecintaannya pada ilmu, tidak melupakannya untuk memikirkan negara dan berjuang untuk kemerdekaan negaranya. Pada 1940 beliau hijrah ke Jakarta . Beliau membuka beberapa majelis ilmu di beberapa daerah. Selain berdakwah, Habib Salim juga menjadi pejuang terdepan untuk kemerdekaan Indonesia. Habib Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda, dengan tenaga, fatwa dan pidatonya yang berapi-api.

Karena kepiawaiannnya berdebat dan orator di medan juang, Beliau pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda. Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa, dipukul, ditendang dan bahkan disetrum. Namun, itu semua tidak melunturkan semangatnya dalam berjuang dan berdakwah, demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran ia tetap tabah, pantang menyerah.

Salah satu prinsip utama yang diteguhkan dalam hati adalah 'hubbul wathan minal iman', cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman. Ketulusan beliau dalam berjuang untuk kemerdekaan sama sekali tanpa pamrih. Tidak ada sedikit pun keinginan untuk dikenang atau dihargai, beliau tidak pernah memikirkan apakah akan dijadikan Pahlawan Nasional atau tidak. Karena beliau melakukan itu semata-mata karena lillahi Ta’ala dan kecintaanya pada negerinya.

Dikutip dari buku '45 Habaib Nusantara' dijelaskan bahwa setelah Indonesia benar-benar merdeka dan aman, Habib Salin bin Jindan kembali membuka majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia pun kembali sibuk berdakwah di seluruh pelosok Nusantara, bahkan majelis dakwahnya meluas ke mancanegara seperti Singapura, Malaysia, Kamboja, dan negara lainnya.

Selain berdakwah, dalam perjalanannya selalu cermat dan tekun mengumpulkan sejarah perkembangan Islam di daerah, misalnya di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Catatan itu kemudian ditulis dalam kitab-kitabnya. Siapa pun yang membaca akan semakin mengetahui sejarah perjuangan dan islam, sehingga akan membuat pembacanya semakin cinta Tanah Air.

Bukti nasionalisme lain dari beliau adalah dapat dilihat dari berbagai karyanya yang selalu menambahkan 'Al-Indunisiy' di akhir namanya. Nama beliau selalu tertulis dengan kalimat Allamah Al-Muhaddits As-Sayyid Salim bin Ahmad bin Jindan Al-Alawiy Al-Husainiy Al-Indunisiy. Dengan kepiawaian beliau dalam berdakwah, Islam kelihatan sangat sejuk dan damai. Karena itu banyak orang non-Islam yang akhirnya memeluk Islam dengan wasilah setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim Habib Salim dan mendegarkan ceramahnya.

Selain mendakwahkan Cinta Tanah Air, ada dua hal lain juga yang paling beliau dakwahkan, yaitu tentang pentingnya meninggalkannya yaitu pornografi dan kemaksiatan. Beliau wafat di Jakarta pada 16 Rabiul Awal 1389 H atau 1 Juni 1969 M. Ketika itu ratusan ribu kaum Muslimin dari berbagai pelosok negeri dan dunia. Jasadnya dimakamkan di dalam kubah di kompleks pemakaman Al-Hawi, Cililitan, Jakarta Timur .

(wid)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2071 seconds (0.1#10.140)