Parenting: Islam Melarang Mencela Anak
loading...
A
A
A
Penting diperhatikan bagi para orang tua, bahwa Islam sangat melarang perbuatan mencela anak. Mengapa demikian? Karena celaan atau umpatan yang diucapkan orang tua akan sangat membekas di alam bawah sadar anak-anak.
Sering tanpa kita sadari, ketika marah dan emosi memuncak, orang tua suka lepas kontrol bahkan hingga mengeluarkan ucapan-ucapan yang tidak pantas pada anak.
Akibatnya ucapan yang keluar itu adalah ucapan yang kasar dan mencela . "Bisa jadi, kita merasa semakin kasar semakin puas. Hal ini gara-gara terpancing emosi. Padahal sadarkah kita, bahwa kata-kata yang kasar itu bisa melukai perasaan anak. Dan ketika perasaan anak terluka, bisa jadi itu akan terus teringat, bahkan sampai anak kita nanti tua dan menjadi orang tua,"ungkap Ustadz Abdullah Zaen Hafidzhullah dalam kajian Islam ilmiah 'Fiqih Pendidikan Anak' di Jakarta baru-baru ini.
Melupakan kata-kata kasar yang pernah diucapkan, lebih sulit dibanding melupakan hukuman fisik.
Misalnya dulu sama orang tua, mungkin kita pernah dicubit atau dijewer, atau bahkan mungkin dipukul. Dari sekian cubitan dan pukulan yang kita alami, mungkin tidak banyak yang kita ingat. Tapi kata-kata kasar yang menyakitkan itu bisa teringat bertahun-tahun, bahkan mungkin sampai kita mati tidak terlupakan. Itulah efek mengerikan dari kata-kata kasar dan cacian.
"Sebagian orang tua biasa mengatakan anaknya nakal, bahkan –maaf– mengatakan anaknya goblok, bodoh, dan kata-kata kasar lainnya. Karena itu sering terucap, dalam sehari bisa berkali-kali. Sehingga dalam setahun, kata-kata kasar tadi didengar oleh anak ratusan kali,"paparnya.
Lantas apa yang terjadi? Yang terjadi adalah terpatri di bawah sadar anak bahwa dia memang nakal, bodoh, dan seperti kata-kata kasar yang diucapkan oleh orang tuanya, dan yang lebih mengerikan bisa jadi kata-kata kasar dan cacian itu menjadi doa yang dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Perkembangan perilaku anak yang tidak ideal tadi ternyata adalah akibat dari perilaku orang tuanya. Maka, apabila kita bermaksud bersikap keras kepada anak, jaga dan kendalikan lisan. Jangan sampai saat kita terpancing emosi itu mengeluarkan kata-kata kasar dan cacian yang akhirnya di kemudian hari kita akan menyesal.
Dalam Islam, suri tauladan adalah akhlak dan perilaku Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau adalah orang yang paling lembut dan beliau menghindari cacian, celaan, makian, dan kata-kata kasar kepada anak-anak yang beliau didik.
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan pengalamannya saat masih kecil:
“Aku telah menjadi pembantu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selama sepuluh tahun. Demi Allah, beliau tidak pernah sekalipun mengucapkan padaku, “Hus!”. Juga tidak pernah berkata padaku, “Mengapa kau kerjakan ini? Seharusnya kamu lakukan itu!”. (HR. Bukhari no. 6038 dan Muslim no. 2309).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah mencela Anas atas sesuatu yang terlanjur tidak dikerjakan. Sebab masih ada kesempatan untuk dilakukan, jika memang diperlukan. Sehingga lisan Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa terjaga dari kata-kata kasar dan bentakan. Selain itu perasaan dan psikis Anas juga terjaga. Tentunya hal ini berlaku pada urusan dan kepentingan pribadi. Adapun bila terkait kewajiban agama, maka harus dilakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Itupun perlu dilakukan secara bijaksana.
Jawabannya: “Mengapa hal yang dikhawatirkan tersebut tidak terjadi pada anak-anak yang dibimbing Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Buktinya: Anas, Ibnu Abbas, Zaid bin Haritsah, Usamah bin Zaid, putra-putra Ja’far, maupun anak-anak lainnya yang dididik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam justru malah menjadi tokoh dan panutan kebaikan”.
“Tapi kan kondisi anak-anak hari ini berbeda dengan zaman itu!” kilah sebagian orang.
Jawabannya: “Tidak semua orang yang dihadapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu berperilaku baik. Ada juga yang pemabuk, ahli maksiat, bahkan kafir. Namun berkat taufik Allah, lalu kelembutan sikap beliau; akhirnya mereka tersadar dan kembali ke jalan yang benar”.
Sebenarnya problem besar kita hari ini adalah sikap ketergesa-gesaan. Orang tua selalu ingin cepat melihat hasil, tanpa mau bersabar dan telaten menjalani proses. Serba instan.
Pendidikan anak itu diawali dengan perbaikan perilaku orang tua. Orang tua harus menjadi pribadi yang mengagumkan bagi anak. Jika selama ini selalu marah-marah, sering mengabaikan anak, atau berakhlak buruk, niscaya hasil tidak akan seperti yang diharapkan. Orang tua perlu mengubah citra mereka di mata anak. Ketahuilah bahwa kekuatan kata-kata itu bukan muncul dari kata-kata itu sendiri, namun juga muncul dari siapa yang mengucapkannya. Sebab pribadi yang mengucapkannya akan menambah bobot ucapan itu.
Wallahu A'lam
Lihat Juga: Mengenal Meita Irianty, Influencer Parenting yang Jadi Tersangka Penganiayaan Balita di Depok
Sering tanpa kita sadari, ketika marah dan emosi memuncak, orang tua suka lepas kontrol bahkan hingga mengeluarkan ucapan-ucapan yang tidak pantas pada anak.
Akibatnya ucapan yang keluar itu adalah ucapan yang kasar dan mencela . "Bisa jadi, kita merasa semakin kasar semakin puas. Hal ini gara-gara terpancing emosi. Padahal sadarkah kita, bahwa kata-kata yang kasar itu bisa melukai perasaan anak. Dan ketika perasaan anak terluka, bisa jadi itu akan terus teringat, bahkan sampai anak kita nanti tua dan menjadi orang tua,"ungkap Ustadz Abdullah Zaen Hafidzhullah dalam kajian Islam ilmiah 'Fiqih Pendidikan Anak' di Jakarta baru-baru ini.
Melupakan kata-kata kasar yang pernah diucapkan, lebih sulit dibanding melupakan hukuman fisik.
Misalnya dulu sama orang tua, mungkin kita pernah dicubit atau dijewer, atau bahkan mungkin dipukul. Dari sekian cubitan dan pukulan yang kita alami, mungkin tidak banyak yang kita ingat. Tapi kata-kata kasar yang menyakitkan itu bisa teringat bertahun-tahun, bahkan mungkin sampai kita mati tidak terlupakan. Itulah efek mengerikan dari kata-kata kasar dan cacian.
"Sebagian orang tua biasa mengatakan anaknya nakal, bahkan –maaf– mengatakan anaknya goblok, bodoh, dan kata-kata kasar lainnya. Karena itu sering terucap, dalam sehari bisa berkali-kali. Sehingga dalam setahun, kata-kata kasar tadi didengar oleh anak ratusan kali,"paparnya.
Lantas apa yang terjadi? Yang terjadi adalah terpatri di bawah sadar anak bahwa dia memang nakal, bodoh, dan seperti kata-kata kasar yang diucapkan oleh orang tuanya, dan yang lebih mengerikan bisa jadi kata-kata kasar dan cacian itu menjadi doa yang dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Perkembangan perilaku anak yang tidak ideal tadi ternyata adalah akibat dari perilaku orang tuanya. Maka, apabila kita bermaksud bersikap keras kepada anak, jaga dan kendalikan lisan. Jangan sampai saat kita terpancing emosi itu mengeluarkan kata-kata kasar dan cacian yang akhirnya di kemudian hari kita akan menyesal.
Dalam Islam, suri tauladan adalah akhlak dan perilaku Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau adalah orang yang paling lembut dan beliau menghindari cacian, celaan, makian, dan kata-kata kasar kepada anak-anak yang beliau didik.
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan pengalamannya saat masih kecil:
“خَدَمْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِينَ، وَاللهِ مَا قَالَ لِي: أُفًّا قَطُّ، وَلَا قَالَ لِي لِشَيْءٍ: لِمَ فَعَلْتَ كَذَا؟ وَهَلَّا فَعَلْتَ كَذَا؟
“Aku telah menjadi pembantu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selama sepuluh tahun. Demi Allah, beliau tidak pernah sekalipun mengucapkan padaku, “Hus!”. Juga tidak pernah berkata padaku, “Mengapa kau kerjakan ini? Seharusnya kamu lakukan itu!”. (HR. Bukhari no. 6038 dan Muslim no. 2309).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah mencela Anas atas sesuatu yang terlanjur tidak dikerjakan. Sebab masih ada kesempatan untuk dilakukan, jika memang diperlukan. Sehingga lisan Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa terjaga dari kata-kata kasar dan bentakan. Selain itu perasaan dan psikis Anas juga terjaga. Tentunya hal ini berlaku pada urusan dan kepentingan pribadi. Adapun bila terkait kewajiban agama, maka harus dilakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Itupun perlu dilakukan secara bijaksana.
Harus Lemah Lembut
Ustadz Abdullah Zaen menjelaskan, mungkin akan ada yang berkomentar, “Jika kita selalu bersikap lemah lembut dan banyak toleran, nanti anak bakal semakin berani melakukan pelanggaran. Khawatirnya malah kita tidak bisa mengarahkannya!”.Jawabannya: “Mengapa hal yang dikhawatirkan tersebut tidak terjadi pada anak-anak yang dibimbing Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Buktinya: Anas, Ibnu Abbas, Zaid bin Haritsah, Usamah bin Zaid, putra-putra Ja’far, maupun anak-anak lainnya yang dididik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam justru malah menjadi tokoh dan panutan kebaikan”.
“Tapi kan kondisi anak-anak hari ini berbeda dengan zaman itu!” kilah sebagian orang.
Jawabannya: “Tidak semua orang yang dihadapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu berperilaku baik. Ada juga yang pemabuk, ahli maksiat, bahkan kafir. Namun berkat taufik Allah, lalu kelembutan sikap beliau; akhirnya mereka tersadar dan kembali ke jalan yang benar”.
Sebenarnya problem besar kita hari ini adalah sikap ketergesa-gesaan. Orang tua selalu ingin cepat melihat hasil, tanpa mau bersabar dan telaten menjalani proses. Serba instan.
Pendidikan anak itu diawali dengan perbaikan perilaku orang tua. Orang tua harus menjadi pribadi yang mengagumkan bagi anak. Jika selama ini selalu marah-marah, sering mengabaikan anak, atau berakhlak buruk, niscaya hasil tidak akan seperti yang diharapkan. Orang tua perlu mengubah citra mereka di mata anak. Ketahuilah bahwa kekuatan kata-kata itu bukan muncul dari kata-kata itu sendiri, namun juga muncul dari siapa yang mengucapkannya. Sebab pribadi yang mengucapkannya akan menambah bobot ucapan itu.
Wallahu A'lam
Lihat Juga: Mengenal Meita Irianty, Influencer Parenting yang Jadi Tersangka Penganiayaan Balita di Depok
(wid)