Ini Mengapa Iran Menjadi Negara Islam Kuat yang Mandiri
loading...
A
A
A
Iran berada di wilayah Timur Tengah , bersama Turki , Libanon, Irak, Yordania , Syria, Mesir dan kerajaan-kerajaan yang ada di kawasan Teluk Persia.
Ali Mufrodi dalam buku berjuduk "Islam di Kawasan Kebudayaan Arab" (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999) menyebut Turki dan Iran yang berbudaya Persia tidak dimasukkan ke kawasan berkebudayaan Arab , karena kedua wilayah tersebut memiliki ciri-ciri khas kebudayaan sendiri.
Berikut ini sepintas tentang sejarah Islam di Iran.
Pada tahun 634 M, dalam perang Qadisiyyah, Persia dikalahkan Arab Muslim, bahkan tahun 641 M, setelah perang Nahawand, seluruh Persia pimpinan Yazdajird jatuh ke Arab Muslim ini.
Penduduk Persia yang beragama Zoroaster segera beralih menjadi Muslim.
Persia di bawah kekuasaan Abbasiyah berpusat di Baghdad pada tahun 820, tetapi di masa Khalifah al-Mustakfi (944-946) dan al-Muthi’ (946-974), khalifah hanya simbol kultural muslim Sunni.
Kekuasaan ada di tangan keluarga Buwayhi (Buyid), penganut Syi’ah. Pada 945, Ahmad keturunan Buwayhi, menduduki Baghdad dan menyebut diri Amir al-Umara.
Setelah Tughril Beg dari Dinasti Saljuk (Suni), berhasil menduduki Baghdad tahun 1055, keluarga Buwayhi melarikan diri ke wilayah Dailam (utara Iran). Saljuk menjadikan Khalifah
Abbasiyah sebagai boneka juga, karena kekuasaan sesungguhnya ada di tangan Tughril Beg dengan gelar Sulthan.
Dinasti Saljuk berpusat di Kota Isfahan, kota tua yang awalnya gabungan dari dua kota, yaitu Jayy (Ibu kota Provinsi Persia) dan Yahudiyyah, kota koloni Yahudi yang berkembang di masa Kisra Yazdajird I memerintah (339-420).
Pada masa penjarahan Kota Baghdad tahun 1258-1500-an, ditandai
dengan runtuhnya Tamerlane (Timurid) pada 1507, Persia/Iran dikuasai banyak penguasa lokal yang merupakan anak cucu keturunan Tamerlane.
Pada tahun 1501, muncul kekuatan politik baru di Samarqand pimpinan Shah Ismail I, yang mendirikan Dinasti Safawi, yang didukung kelompok tarekat Safawiyah (Sunni) yang didirikan Shafi al-Din Ardabili (1252-1334).
Dengan dukungan pengikut tarekat Qizilbash (Kepala Merah), Ismail menaklukkan semua penguasa lokal itu, dan menyatakan diri sebagai Syi’ah bahkan menjadikan Syi’ah Itsna’asyariyah sebagai agama negara dengan ibukota Isfahan.
Dinasti Safawi menjadi elemen penting dalam pembentukan identitas bangsa Iran, dan perluasan Syi’ah hingga sekarang.
Sejak 11 Februari 1979, melalui revolusi Islam yang dipimpin Ayatullah Khomeini, sistem kerajaan diganti sistem Republik Islam lewat referendum yang didukung 98% rakyatnya.
Dalam jangka waktu hampir tiga dekade, Iran termasuk di antara negara yang paling sering mendapatkan tekanan dari negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat.
Selain dipaksa berperang selama delapan tahun melawan rezim diktator Saddam Husain, perekonomian Iran turut diembargo. Tetapi, tekanan dan embargo tidak membuat Iran menyerah, melainkan membuat Negeri Para Mullah tersebut lebih mandiri di segala bidang.
Kemandirian ini pula yang menjadi landasan kemajuan pesat Iran dalam meniti masa depan bangsanya. Telah diketahui, indenpendensi dan kemajuan sebuah bangsa sangat bergantung kepada keberhasilan dalam meraih kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Selama Iran diperintah oleh penguasa yang diktator dan ketergantungan kepada negara-negara Barat dalam segala hal, dapat dikatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan di Iran mengalami stagnasi yang sangat parah selama hampir dua abad.
Setelah berhasil meraih kemenangan dalam revolusi, bangsa Iran kemudian bertekad kuat meraih keberhasilan lain di bidang ilmu pengetahuan dan mengejar berbagai ketertinggalan.
Prestasi para pemuda Iran di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi juga dapat dilihat dari berbagai kemenangan yang selalu diraih para pelajar Iran dalam olimpiade berbagai bidang, seperti olimpiade fisika, matematika dan kimia.
Demikian pula keberhasilan yang diraih oleh para penemu dan peneliti muda Iran, menunjukkan keberhasilan sistem pendidikan di Republik Islam Iran. Hal ini sangat jelas bahwa pengetahuan, teknologi dan kekuatan komunikasi, merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh sebuah negara yang ingin maju.
Kemajuan yang dicapai Iran dalam bidang ilmu dan teknologi sebenarnya sejalan dengan pandangan Islam yang sangat menekankan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat penting dalam kehidupan.
Itulah sebabnya, meskipun terus menerus mendapat serangan dari luar, baik berupa embargo, propaganda negatif maupun serangan budaya, Iran tetap teguh berusaha mengembangkan keilmuan anak-anak bangsanya.
Hasilnya, rakyat Iran yang semula sangat bergantung pada negara asing, akhirnya mampu memproduksi sendiri sebagian besar kebutuhan senjata, mesin dan barang-barang produksi lainnya.
Ali Mufrodi dalam buku berjuduk "Islam di Kawasan Kebudayaan Arab" (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999) menyebut Turki dan Iran yang berbudaya Persia tidak dimasukkan ke kawasan berkebudayaan Arab , karena kedua wilayah tersebut memiliki ciri-ciri khas kebudayaan sendiri.
Berikut ini sepintas tentang sejarah Islam di Iran.
Pada tahun 634 M, dalam perang Qadisiyyah, Persia dikalahkan Arab Muslim, bahkan tahun 641 M, setelah perang Nahawand, seluruh Persia pimpinan Yazdajird jatuh ke Arab Muslim ini.
Penduduk Persia yang beragama Zoroaster segera beralih menjadi Muslim.
Persia di bawah kekuasaan Abbasiyah berpusat di Baghdad pada tahun 820, tetapi di masa Khalifah al-Mustakfi (944-946) dan al-Muthi’ (946-974), khalifah hanya simbol kultural muslim Sunni.
Kekuasaan ada di tangan keluarga Buwayhi (Buyid), penganut Syi’ah. Pada 945, Ahmad keturunan Buwayhi, menduduki Baghdad dan menyebut diri Amir al-Umara.
Setelah Tughril Beg dari Dinasti Saljuk (Suni), berhasil menduduki Baghdad tahun 1055, keluarga Buwayhi melarikan diri ke wilayah Dailam (utara Iran). Saljuk menjadikan Khalifah
Abbasiyah sebagai boneka juga, karena kekuasaan sesungguhnya ada di tangan Tughril Beg dengan gelar Sulthan.
Dinasti Saljuk berpusat di Kota Isfahan, kota tua yang awalnya gabungan dari dua kota, yaitu Jayy (Ibu kota Provinsi Persia) dan Yahudiyyah, kota koloni Yahudi yang berkembang di masa Kisra Yazdajird I memerintah (339-420).
Pada masa penjarahan Kota Baghdad tahun 1258-1500-an, ditandai
dengan runtuhnya Tamerlane (Timurid) pada 1507, Persia/Iran dikuasai banyak penguasa lokal yang merupakan anak cucu keturunan Tamerlane.
Pada tahun 1501, muncul kekuatan politik baru di Samarqand pimpinan Shah Ismail I, yang mendirikan Dinasti Safawi, yang didukung kelompok tarekat Safawiyah (Sunni) yang didirikan Shafi al-Din Ardabili (1252-1334).
Dengan dukungan pengikut tarekat Qizilbash (Kepala Merah), Ismail menaklukkan semua penguasa lokal itu, dan menyatakan diri sebagai Syi’ah bahkan menjadikan Syi’ah Itsna’asyariyah sebagai agama negara dengan ibukota Isfahan.
Dinasti Safawi menjadi elemen penting dalam pembentukan identitas bangsa Iran, dan perluasan Syi’ah hingga sekarang.
Sejak 11 Februari 1979, melalui revolusi Islam yang dipimpin Ayatullah Khomeini, sistem kerajaan diganti sistem Republik Islam lewat referendum yang didukung 98% rakyatnya.
Dalam jangka waktu hampir tiga dekade, Iran termasuk di antara negara yang paling sering mendapatkan tekanan dari negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat.
Selain dipaksa berperang selama delapan tahun melawan rezim diktator Saddam Husain, perekonomian Iran turut diembargo. Tetapi, tekanan dan embargo tidak membuat Iran menyerah, melainkan membuat Negeri Para Mullah tersebut lebih mandiri di segala bidang.
Kemandirian ini pula yang menjadi landasan kemajuan pesat Iran dalam meniti masa depan bangsanya. Telah diketahui, indenpendensi dan kemajuan sebuah bangsa sangat bergantung kepada keberhasilan dalam meraih kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Selama Iran diperintah oleh penguasa yang diktator dan ketergantungan kepada negara-negara Barat dalam segala hal, dapat dikatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan di Iran mengalami stagnasi yang sangat parah selama hampir dua abad.
Setelah berhasil meraih kemenangan dalam revolusi, bangsa Iran kemudian bertekad kuat meraih keberhasilan lain di bidang ilmu pengetahuan dan mengejar berbagai ketertinggalan.
Prestasi para pemuda Iran di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi juga dapat dilihat dari berbagai kemenangan yang selalu diraih para pelajar Iran dalam olimpiade berbagai bidang, seperti olimpiade fisika, matematika dan kimia.
Demikian pula keberhasilan yang diraih oleh para penemu dan peneliti muda Iran, menunjukkan keberhasilan sistem pendidikan di Republik Islam Iran. Hal ini sangat jelas bahwa pengetahuan, teknologi dan kekuatan komunikasi, merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh sebuah negara yang ingin maju.
Kemajuan yang dicapai Iran dalam bidang ilmu dan teknologi sebenarnya sejalan dengan pandangan Islam yang sangat menekankan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat penting dalam kehidupan.
Itulah sebabnya, meskipun terus menerus mendapat serangan dari luar, baik berupa embargo, propaganda negatif maupun serangan budaya, Iran tetap teguh berusaha mengembangkan keilmuan anak-anak bangsanya.
Hasilnya, rakyat Iran yang semula sangat bergantung pada negara asing, akhirnya mampu memproduksi sendiri sebagian besar kebutuhan senjata, mesin dan barang-barang produksi lainnya.
(mhy)